Pdt. Weinata Sairin: “Hidup Standar : Hidup yang Berubah Menuju Kebaikan”

0
1661

 

“They are two primary choices in life : to accept conditions as they exist, or accept the responsibility for changing then” (Denis Waitley)

 

Kita sungguh bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa; bisa hidup dan menghidupi sebuah NKRI yang majemuk, dengan panorama alam yang indah menawan, yang tak terbandingkan oleh bagian dunia manapun. Kita juga sangat bersyukur bahwa “the founding fathers” telah menetapkan bentuk negara ini *Republik*, dasar negara *Pancasila* dengan UUD Negara Republik Indonesia 1945 yang kesemuanya memberikan dasar yang “legitim” bagi semua orang dengan keragaman dan kebhinnekaannya hidup nyaman di negeri ini. Oleh karena itu kita tidak saja mesti merasa bangga memiliki dan menghidupi Indonesia, tetapi sekaligus juga berkomitmen kuat untuk menjaga dan merawat Indonesia agar ia tetap eksis dengan mempertahahankan jati dirinya yang “genuine” sebagaimana yang fondasinya sudah diletakkan oleh “the founding fathers”.

 

Indonesia adalah sebuah negeri yang amat kaya dilihat dari berbagai aspek. Prof. Djohermansyah Djohan, MA pakar Otoda, Guru Besar Fak Politik Pemerintahan IPDN memberi deskripsi tentang Indonesia sebagai berikut. NKRI memiliki 17.508 pulau, 1.349 suku bangsa, 737 bahasa daerah, 245 Aliran Kepercayaan, 6 agama, 34 provinsi, 415 kabupaten, 913 kota, (542 daerah otonom), 6.994 kecamatan, 8.309 kelurahan 74.754 desa; 253 juta penduduk. Ini potensi yang amat besar yang mesti didayagunakan secara positif dan optimal.

 

Dalam kuliah umum dengan topik “Politik Identitas dan Kebhinnekaan…”di depan para mahasiswa Fisipol UKI, UI, UNAIR di  kampus UKI Jakarta, Prof Djo mengurai dan membedah dengan jelas peta permasalahan yang dihadapi NKRI sebagai masyarakat majemuk dalam konteks pelaksanaan Pilkada serentak tahun 2018. Kuliah Umum yang sangat menarik itu memberi bahan mutakhir seputar pilkada yang amat bermakna bagi para mahasiswa Fisipol sehingga mereka mampu melihat dinamika real politik dalam perspektif akademis yang lebih legitim. Kuliah umum dihadiri oleh Wk Rektor, Dr Angel Damayanti, Dr Sidratahta Mukhtar dan para pejabat UKI lainnya, para tamu dan mahasiswa.

 

Memang harus dicatat bahwa sejak beberapa waktu terakhir ini terminologi “politik identitas” makin mengemuka dan dalam case Pilkada DKI realitas “politik identitas” diwujudkan dalam praktik. Konon “politik identitas” ini adalah sebuah perlawanan terhadap kekuatan globalisasi yang amat powerfull. Menurut seorang ahli, politik identitas adalah nama untuk menjelaskan situasi yang ditandai dengan kebangkitan kelompok-kelompok identitas sebagai tanggapan terhadap represi yang memarjinalkan mereka dimasa yang lalu. Kita berharap agar politik identitas, yang penuh sesak dengan roh primordialisme tidak mencabik-cabik tenunan kebangsaan yang dengan susah payah dirajut bahkan sejak tahun 1928.

 

Ada juga pertanyaan floor tentang apa makna demokrasi yang dihidupi bangsa ini jika ternyata menyebabkan banyak kasus negatif yang terjadi. Terhadap pertanyaan itu Prof Djo menegaskan bahwa demokrasi memang membutuhkan biaya yang mahal dan realitas yang bagaimanapun yang diakibatkan oleh demokrasi harus kita terima sambil terus menerus membarui dan atau menyusun regulasinya.

 

Hidup manusia memang membutuhkan perubahan, bukanlah manusia jika ia tidak berubah. Secara fisik ia berubah dari waktu ke waktu; mental spiritualnya juga berubah. Manusia hidup ditengah perubahan itu bahkan ia juga terbuka untuk membuat perubahan. Semuanya memang mesti berubah, yang tidak berubah adalah perubahan itu sendiri.

 

Agama-agama memberi imperatif dan dasar teologi yang kuat bahwa manusia mesti berubah, berubah kearah yang lebih baik. Manusia diingatkan untuk tidak serupa dengan dunia ini, tapi harus berubah oleh pembaruan budinya. Manusia hidup di tengah dunia, tapi manusia yang adalah imago dei dan khalifah Allah itu bukan *barang dunia”, ia bukan sosok sekuler, ada dimensi keilahian dalam diri manusia. Manusia “berbeda” dengan barang dunia. Manusia harus terus menerus berubah, membarui diri. Manusia harus hidup dalam iklim “ciptaan baru”, the new creation. Saudara-saudara Muslim memiliki istilah *hijrah*, yang secara bahasa berarti berpisah, pindah dari satu negeri ke negeri lain, berjalan di waktu tengah hari. Pada awalnya kita tahu istilah “Hijrah” itu mengacu kepada peristiwa perjalanan Nabi Muhammad SAW dan para Sahabat, dari Mekah ke Medinah untuk menyelamatkan diri dari tekanan kaum Quraisy. Dalam bahasa yang lebih padat dapat dikatakan bahwa “hijrah adalah keluar dari *darul kufur* menuju *darul Islam* ”

 

Perubahan adalah “bahasa agama”; orang-orang di komunitas agama acap disebut sebagai agen perubahan, terfokus pada pembaruan. Itulah sebabnya dalam beragam narasi komunitas agama, kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah mereka yang “keluar dari gelap dan masuk kedalam terang”.

 

Menarik pepatah yang dikutip di awal bagian ini yang mengingatkan bahwa ada dua pilihan utama dalam kehidupan : menerima kondisi yang sedang ada, atau bertanggungjawab untuk mengubah realitas itu. Sebagai pribadi yang adalah umat beragama, dan sebagai bangsa kita sudah menetapkan pilihan kedua yaitu “mengubah” (bukan *merubah, mnjadi rubah*). Mari kita terus menerus mengubah diri, mengubah keadaan yang tidak baik, berhijrah untuk menuju “jalan lurus”. Itu memang high cost, tapi itulah resiko sebuah pilihan. Tak pernah ada yang gratis dalam hidup ini!

 

Selamat berjuang. God bless.

 

*Weinata Sairin*.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here