“Orang yang hidup dalam kebenaran, yang berbicara dengan jujur, yang menolak untung hasil pemerasan, yang mengebaskan tangannya supaya jangan menerima suap, yang menutup telinganya supaya jangan mendengarkan rencana penumpahan darah, yang menutup matanya supaya jangan melihat kejahatan, dialah seperti orang yang tinggal aman ditempat-tempat tinggi, bentengnya ialah kubu diatas bukit batu; rotinya disediakan, air minumnya terjamin”. (Yesaya 23 : 15, 16)
Manusia diciptakan Allah secara khusus, spesifik dan istimewa, berbeda dengan penciptaan makhluk yang lain. “Proses dan prosedur”nya berbeda, hakikat dan “tupoksi”nya yang juga berbeda dari mahkluk ciptaan yang lain. Kitab Kejadian menampilkan narasi yang cukup detail dan “amazing” tatkala menguraikan tentang aktivitas penciptaan itu. Penggunaan kata “bara” dalam konteks penciptaan itu meneguhkan ulang bahwa Allah Khalik Semesta Alam itu adalah benar-benar Allah dan bukan allah atau ilah seperti yang sempat dan (masih) ada dalam mindset umat manusia. Kekhasan manusia sebagai makhluk ciptaan Allah terwujud dengan predikat yang khusus diberikan kepada manusia yaitu “imago dei”. Allah Pencipta mencipta secara “creatio ex nihilo”, mencipta dari ketiadaan. Creatio ex nihilo tidak memerlukan apa yang dikenal “bahan dasar”, creatio ex nihilo terjadi oleh karena divine power.
Sayang sekali bahwa manusia yang dicipta secara istimewa dan disebut “imago dei” itu ternyata tak mampu menampilkan diri sebagai sosok yang baik, yang setia kepada Allah. Hidup manusia dipenuhi oleh tindakan pemberontakan terhadap Allah. Erich Fromm dengan tegas mengemukakan bahwa kekerasan adalah bagian integral dari sejarah manusia. Kain dan Habil memberi teladan yang amat jelas dalam konteks itu sebagai pionir yang dicatat dalam Alkitab.
Manusia gagal mengemban hakikat kediriannya sebagai “imago dei”; ia juga tidak mampu mewujudkan “tupoksi”nya yaitu mengelola bumi dan seluruh ciptaan dengan penuh tanggungjawab. Alam bahkan dieksploitasi habis-habisan tanpa berfikir cerdas ke masa depan, terjadi distorsi pada alam, terjadi kerusakan lingkungan, kekacauan pada iklim yang ujungnya menyengsarakan umat manusia.
Perjalanan manusia dari abad ke abad menampilkan sebuah sosok manusia yang menolak Allah secara sadar yang mewujud dalam sikap barbar, genocide, perang, pembunuhan manusia, pengerdilan hukum, sikap amoral dan bentuk lainnya. Hingga manusia hidup di zaman modern sikapnya yang menolak dan menentang Allah tidak berubah
Berhadapan dengan kondisi umat sebagaimana tercermin dalam Kitab Yesaya menampilkan pemikiran ideal yang sejatinya menjadi gaya hidup dan karakter dari umat pilihan. Sikap hidup umat pilihan yang cerdas dalam bayangan Yesaya adalah :
*orang yang hidup dalam kebenaran;
* yang berbicara dengan jujur;
* yang menolak untung hasil pemerasan;
* yang menolak suap;
* yang tak mau mendengar info tentang penumpahan darah;
* yang menutup matanya untuk tidak melihat kejahatan.
Dalam pemikiran Yesaya jika umat memiliki sikap hidup yang positif-konstruktif seperti itu maka umat akan mengalami suatu kehidupan yang aman, *security* terjamin dan logistik juga tersedia.
Sikap hidup positif yang digambarkan Yesaya seperti itu tidaklah mudah, karena melawan arus. Kondisi obyektif umat dan masyarakat pada abad ke-8 SM zaman itu, memang sangat parah. Praktik suap, peras, pembohongan publik, pengerdilan hukum, pembunuhan dan berbagai tindak kejahatan lainnya marak terjadi. Nilai agama, moral, etik, spirutual kehilangan perannya.
Di era digital sekarang, di zaman Now, apa yang diungkap Yesaya tetap relevan. Kekristenan di Indonesia harus tampil cantik dan elegan ditengah masyarakat majemuk Indonesia. Kekristenan tak boleh terpenjara pada pergumulan internal, terpukau pada kontestasi politik, terbelenggu pada skema berfikir minoritas-mayoritas atau apapun juga yang menyekitari diri. Kekristenan harus tampil dinamik kreatif , mewujudkan karakter seperti yang dinyatakan Yesaya sehingga mampu menerangi dan menggarami NKRI.
Selamat Merayakan Hari Minggu. God bless.
*Weinata Sairin*.