Pdt. Weinata Sairin: “Menghidupi Hidup yang Benar-benar Hidup: Tugas Utama Umat Milik Tuhan”

0
1622

“Every man dies. Not every man truly lives”(Braveheart)

 

Ada orang bijak yang pernah berucap : satu-satunya kepastian yang dimiliki manusia adalah ” kematian”. Orang bijak itu tidak hendak mengatakan bahwa ia atau seorang manusia lainnya tahu “persis” kapan sang maut itu datang merenggut nyawanya. Tidak. Ia hanya ingin menegaskan bahwa semua yang ada di dunia ini adalah “relatif”, sesuatu yang belum pasti, dan bukan sesuatu yang absolut, yang definitif. Agama, dan ajaran agama tentu saja dari perspektif para penganutnya adalah sesuatu yang absolut dan definitif. Dan agama dalam konteks seperti itu tidak dihisabkan dalam kategori yang relatif, yang tidak pasti. Agama dan ajaran agama itu, utamanya dari sisi pandang para penganutnya adalah absolut, definitif.

 

Orang bijak itu ingin menegaskan bahwa kematian sudah pasti, tak ada negosiasi tentang ini, tak ada ‘amandemen’ atau ‘judicial review’ tentang diktum ‘kematian’. Bahwa tanggal, waktu kematian itu tidak diketahui oleh manusia, siapapun dia, realitas itu tak bisa di ganggu-gugat. Kematian itu adalah sesuatu yang *pasti* bukan fiksi atau angan-angan karena hal itu menunjukkan dimensi kefanaan manusia, aspek kesementaraan makhluk ciptaan Allah.

 

Kematian adalah sebuah aksioma, sesuatu yang memang sudah seharusnya. Bahwa dengan berbagai alasan ada saja orang yang berhasrat untuk “menunda” kematian, atau sebaliknya ada juga yang “memaksa” diri untuk cepat mati hal itu harus difahami dalam konteks bagaimana setiap orang merespons dinamika kehidupan yang ia hidupi. Orang sejenis Chairil Anwar yang menyatakan dalam puisinya “aku ingin hidup seribu tahun lagi” kemungkinan memiliki obsesi untuk menulis puisi lebih banyak dan berbobot menandingi penyair mancanegara yang mengilhami beberapa puisinya. Dalam sejarah sastra Indonesia diakui oleh banyak orang, termasuk oleh HB Jasin, peran besar Chairil dalam memajukan sastra Indonesia. Namun tak bisa juga disangkal bahwa ada beberapa puisi Chairil yang amat jelas merupakan “saduran” dari penyair luar negeri. Hal itu amat kentara dalam puisi : “Rumahku”, “Kepada Peminta-minta”, “Orang Berdua”, “Karawang-Bekasi”, Datang Dara Hilang Dara”, “Fragmen”.

 

Karya puisi saduran, yang oleh beberapa penulis disebut jiplakan atau plagiat memang menghadirkan “titik noda” dalam perjalanan kepenyairan seorang Chairil Anwar,namun hal itu tak pernah bisa meggantikan kepiawaian Chairil baik dalam diksi maupun konten. Chairil tetap dikenal dalam sejarah sastra Indonesia sebagai figur besar yang punya obsesi antara lain “aku ingin hidup seribu tahun lagi”.

 

Hal berbeda dengan orang seperti Mukidi atau Satiyem yang justru ingin mempercepat kematian karena tak sanggup didera derita dan hidup dibawah kuasa kemelaratan tiada henti. Kasus-kasus seperti itu masih cukup banyak kita temui dalam realitas modern dan juga dengan modus yang modern. Di zaman dulu orang mempercepat kematian dengan gantung diri (didalam kamar terkunci dan bukan di monas!), minum baygon, atau menelentangkan diri di tengah rel kereta api. Kini modus barunya adalah melompat dari lantai 10 apartemen atau menenggak obat antidepresan dalam dosis tinggi; bahkan ada juga yang menembakkan peluru ke bagian kepala. Dari perspektif agama tentu saja pikiran untuk hidup melebihi standar Usia Harapan Hidup atau tindakan bunuh diri, bertentangan dengan ajaran agama.

 

Cukup menarik pepatah yang dikutip dibagian awal tulisan ini : seseorang itu tentu akan mati tapi tidak setiap orang benar-benar hidup. Benar-benar hidup tidaklah berarti hidup yang semu, hidup yang artificial, hidup yang seolah-olah hidup, hidup yang sekadar “acting”.

Benar-benar hidup adalah hidup yang lurus, yang standar, yang tidak “neko-neko”, hidup yang melaksanakan perintah agama, hidup yang taat hukum, hidup yang bermoral dan beretika, hidup yang berkeadaban. Hidup seperti ini adalah hidup yang diliputi spirit ugahari bukan konsumtif, hidup yang menabur kebajikan, pahala, amal saleh, hidup yang dibakar oleh roh cinta kasih. Hidup seperti ini jauh dari OTT, DPO, ruang lapas yang pengap, jauh dari godaan narkoba jenis lama dan baru. Hidup yang benar-benar hidup sesuai dengan perintah agama. Dalam Tahun Politik sekarang ini yang terasa mulai hangat mari kita berjuang untuk mewujudkan hidup yang benar : hidup yang diridhoi Allah SWT, hidup yang diberkati Tuhan, hidup yang memberi berkat bagi banyak orang yang tengah merenda karya dipentas sejarah, dan bagi mereka yang terhuyung-huyung menapaki kehidupan dililit derita mendera.

 

Selamat berjuang. God bless.

 

*Weinata Sairin*.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here