Oleh: Pdt. Pinehas Djendjengi
Kolose 3:17, 23
(17) Dan segala sesuatu yang kamu lakukan dengan perkataan atau perbuatan, lakukanlah semuanya itu dalam nama Tuhan Yesus, sambil mengucap syukur oleh Dia kepada Allah, Bapa kita.
(23) Apa pun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.
Kita adalah Gambar Allah. Inilah dasar kualitas hidup kita. Di mana pun kita berada, kita harus “menggambarkan” Allah. Dengan cara apa? Dengan beriman teguh kepada-Nya. Kita dibentuk Tuhan dari tanah, lalu mendapat hembusan nafas-Nya dan karena itu kita hidup. Jika Allah menarik kembali ‘nafas’ itu maka kita mati. Jadi, kita bergantung pada Allah. Sikap bergantung itu kita tunjukkan melalui ibadah. Soal ibadah tidak akan dibahas panjang lebar di sini, karena kiranya kita sudah paham mengenai hal ini. Selanjutnya, kita menunjukkan kegambaran kita dengan Allah itu melalui kerja keras. Allah itu bekerjanya total dan ‘profesional’. Semua yang dikerjakan-Nya selalu baik. Kita dituntut seperti itu.
Manusia adalah homo faber (makhluk yang bekerja). Sebagai makhluk yang bekerja, kegiatannya terarah kepada dunia untuk mengubah sesuatu dalam dunia ini supaya bermanfaat bagi kehidupan manusia secara luas.
Pada awal kehadirannya di dunia ini, proses bekerja itu dilakukan dengan langkah yang sederhana: manusia memetik dan menangkap sesuatu untuk langsung dimakan dan atau diminum. Ini umum berlaku dalam dunia kuno. Kemudian terjadi perkembangan ke tahap berikutnya, yaitu bagaimana mengolah dan memasaknya. Orang mulai bekerja dengan seperangkat alat. Lama kelamaan pekerjaan manusia mulai terencana. Orang mulai memelihara ternak dan menggarap lahan. Dalam kaitan dengan tahap yang lebih maju ini, masa depan pun mulai dipikirkan sambil merancang program dan strategi.
Sampai sekarang ini, kerja mengalami perkembangan yang amat pesat. Di sana-sini muncul organisasi-organisasi kerja yang multikompleks. Disadari atau tidak, bumi pun ikut mengalami perubahan akibat maju-pesatnya kerja manusia. Bagian-bagian bumi berusaha diterobos oleh manusia dengan bantuan ilmu dan teknologinya, yang makin hari makin canggih saja.
Kerja tidak hanya mengubah alam, tetapi juga berdampak besar bagi masyarakat sendiri. Kini kita berhadapan dengan jaringan tugas dan jabatan yang semakin rumit dan spesialisasi yang sangat tinggi. Sistem produksi semakin padat alat. Dalam kondisi ini, bekerja bagi masyarakat pada umumya adalah sesuatu yang rumit dan mahal dibandingkan waktu-waktu sebelumnya.
Dampak lain dari sistem kerja yang makin maju adalah hasil kerja seringkali lama baru dirasakan karena jauhnya proses produksi menciptakan jarak yang jauh antara awal produksi dan hasil produksi.
Mengapa kita harus bekerja (keras)?
Pertama, untuk memenuhi kebutuhan hidup. Sebagai makhluk yang jasmaniah kita memerlukan materi. Dalam rangka mendapatkan materi itu, manusia perlu bekerja. Lingkungan tidak menyediakannya begitu saja keperluannya. Kita harus bekerja untuk mendapatkannya. Lagi pula dunia yang kita hadapi tidak langsung pas dengan diri kita, sehingga kita betul-betul harus berusaha.
Manusia tidak berhenti bekerja, baik untuk untuk memenuhi kebutuhan pokok atau untuk menghasilkan mutu produk yang lebih baik. Masyarakat menjadi maju jika kebutuhan pokoknya terpenuhi dan produk kerjanya bermutu.
Kedua, kita bekerja untuk mengatasi tantangan alam. Alam tidak akan menghasilkan apa-apa bagi kita kalau kita tidak bekerja. Lahan kosong tidak akan menghasilkan rejeki kalau kita tidak turun mengolahnya. Alam menawarkan “hasil’ kalua kita tertantang untuk mengolah dan mewujudkannya. Rejeki harus direbut melalui cara kita bekerja dan berusaha.
Ketiga, dengan bekerja manusia mengembangkan dirinya. Orang berkembang karena dia mau bekerja. Dalam bekerja potensinya ‘dipancing keluar’ dan lahirlah apa yang disebut kreativitas. Kreativitas menjelaskan kehidupan yang yang dinamis, di mana seseorang mengusahakan dirinya menjadi pribadi yang selalu berusaha.
Keempat, bekerja dengan baik dapat memberikan ‘kelebihan’ sebagai jaminan hidup di masa depan. Dengan kelebihan itu orang dapat memasuki ruang lain di mana potensi lainnya juga dapat dikembangkan. Akan tetapi manusia yang terus-menerus terdesak oleh tekanan kebutuhan sehari-hari, maka dia tidak punya waktu dan tenaga lagi untuk yang lain. Harus diingat bahwa ruang-ruang lain pun kita butuhkan untuk meningkatkan pola dan eksistensi hidup kita.
Alkitab berulang kali menekankan relasi antara kerja dan hidup manusia. Beberapa di antaranya akan disebutkan di sini.
Kita bekerja untuk mencerminkan citra diri kita sebagai “gambar Allah” (Kej. 1:26). Kata “gambar Allah” harus mendorong kita untuk memaknai kerja. Allah adalah Pekerja (lihat langkah penciptaan dan pemeliharaan yang dilakukan-Nya dengan baik). Jika diri kita dimaksudkan untuk ‘menggambarkan’ Allah, bukankah itu berarti bahwa kita juga harus menjadi pekerja? Kita harus menjadi pekerja supaya dapat menguasai bumi. Penggunaan kata ‘berkuasa’ mengindikasikan bahwa alam dapat bangkit ‘melawan’ manusia jika tidak dikelola dengan baik. Jadi, manusia bekerja untuk membuat kondisi alam ini menjadi tempat yang kondusif bagi kelangsungan hidup manusia. Maksud ini diproklamasikan lagi oleh Allah ketika menempatkan manusia di Taman Eden. Kejadian 2:15 menandaskan: “Tuhan Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu.” Jelaslah bahwa bekerja adalah cara manusia menguasai dan memelihara dunia ini.
Dalam kenyataannya, langkah manusia untuk menguasai bumi diwarnai oleh keserakahan yang tidak terhingga. Alam telah dieksploitasi demi mengejar kemewahan. Manusia lupa bahwa dia juga mempunyai tanggung jawab penting untuk memelihara bumi. Memelihara, tentu saja, bukan melihat alam sebagai objek, melainkan sebagai ‘mitra’. Manusia tidak dapat hidup tanpa alam. Jika alam rusak, hidup manusia pun ikut terganggu dan terancam. Untuk itu, manusia harus memperlihatkan sikap respeknya terhadap alam. Tugas menguasai berjalan berdampingan dengan tugas memelihara.
Ayat lain, yang cukup terkenal, yang juga menyoroti soal kerja adalah: “Jika seseorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan (2 Tes. 3:10). Kalau manusia (yang masih produktif) tidak bekerja, ia disebut malas. Tidak bekerja memberi kesempatan kepada bermacam-macam pencobaan. Rasa malas adalah bagian dari pencobaan juga.
Bekerja memungkinkan kita bertindak kasih, yakni dapat menolong dan memberi orang lain. Ini berarti pekerjaan mempunyai fungsi juga untuk melawan egoisme manusia (bnd. Kis. 20:35).
Manusia bekerja bukan tanpa persoalan dan hambatan. Persoalan utamanya adalah tanah di mana dia hidup dan bekerja adalah tanah yang telah berubah sama sekali dari taman Eden. Pemberontakannya telah berdampak pada terkutuknya tanah. Dikatakan, “Terkutuklah tanah karena engkau, dengan bersusah payah engkau akan mencari rejekimu dari tanah seumur hidupmu: semak duri dan rumput duri yang akan dihasilkan bagimu… “ (Kej. 3:17-18). Kerja manusia dihantui oleh tanah yang terkutuk. Tanah yang terkutuk membukakan tantangan baru bagi kita. Pertama, daya ‘lawan’ alam meningkat. Semak duri melambangkan tanah yang tidak bersahabat lagi dengan manusia. Bukan cuma itu, manusia sering menjadi korban alam. Banyak bencana dan penyakit muncul di muka bumi. Semua itu membayangi usaha manusia. Hal ini membuat kita sungguh-sungguh harus bekerja lebih keras lagi. Dengan demikian, kata ‘bersusah payah’ dalam Kejadian 3:17 cukup realistis, mengingat lingkungan kita yang sudah berubah sama sekali.
Selain menjadi korban alam, manusia yang bekerja juga seringkali menjadi korban sesamanya. Nilai kutuk tanah merasuki hati manusia, sehingga muncullah persengkokolan untuk saling menjatuhkan.
Walaupun manusia bekerja harus melawan onak dan duri, melawan susah payah dan ancaman dari segala sudut, ia harus bersukacita. Ada sukacita dari suatu pekerjaan. Memang, kita sering “menabur dengan mencucurkan air mata”, namun kita kemudian akan “menuai dengan bersorak-sorai” (Mzm. 126:5). Sebesar-besarnya tantangan kita dalam pekerjaan, jaminan dan kuasa Tuhan jauh lebih besar. Kata Paulus: “Sebab kamu tahu bahwa dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payahmu tidak akan sia-sia” (1 Kor. 15:58b). Simak baik-baik ayat yang terakhir ini. Usaha yang tidak sia-sia disoroti dari sudut persekutuan dengan Tuhan. Artinya, jika kita bekerja di dalam dan bersama Tuhan, maka Tuhan yang setia itu akan membuat kita berhasil. Oleh karena itu, jika kita ingin bekerja (berusaha) lalu berhadapan dengan tantangan dunia yang besar, jangan langsung pesimis dan putus asa. Berharaplah bahwa Tuhan tetap setia, Dia akan menopang kita dalam persekutuan dengan diri-Nya. Hindari sikap bekerja yang dilakukan dalam persekutuan dengan dunia. Ini akan merugikan, sekalipun tampak di depan akan sangat menguntungkan.
Tuhan memang tidak menghapus kutuk dan keletihan dalam bekerja, tetapi Ia menghapus kesia-siaannya (bnd. Pengkhotbah 2:17).
Pertanyaan penting untuk semua bentuk pekerjaan kita adalah: Adakah melalui pekerjaan itu, Tuhan dimuliakan? Pekerjaan yang memuliakan Tuhan, tentu saja, dilakukan di dalam dan bersama Tuhan. Selain itu, bukan pekerjaan yang dikerjakan dengan sembrono. Tetap diperlukan disiplin kerja. Tuhan inginkan kita bekerja dengan tanggung jawab yang terus dioptimalkan. Menuju ke arah itu, maka dalam bekerja kita harus melengkapi diri kita dengan unsur-unsur berikut ini:
Giat. Lawannya adalah malas. Sudah disinggung di atas bahwa kemalasan adalah segi buruk dalam diri manusia dan harus dibuang. Ketika Paulus berkata: “…Jika seseorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan” (2 Tes. 3:10), maka tidak ada toleransi bagi kemalasan untuknya. Yesus lebih keras lagi terhadap orag malas. Ketika seorang hamba tidak berbuat apa-apa atas talenta yang diberikan kepada-Nya, maka kepadanya diserukan: “Hai kamu hamba yang jahat dan malas!” (Mat. 25:26). Atas dasar dua ayat ini cukuplah bagi kita untuk mengambil kesimpulan bahwa kita dituntut untuk bergiat dalam pekerjaan.
Semangat. “Janganlah kerajinanmu kendor, biarlah rohmu menyala-nyala… (Rm. 12:11). Banyak orang bekerja tanpa semangat yang tinggi, karena menganggap pekerjaannya tidak penting dan menguntungkan. Pada hal jika dilakukan dengan bersemangat ia akan menemukan sesuatu yang luar biasa. Kalau ditanya: siapa yang mau bekerja? Mungkin semua orang akan mengangkat tangan. Tapi jika pertanyaan yang diajukan berbunyi: Siapa yang mau bekerja dengan penuh semangat? Orang-orang pun segera menyembunyikan tangannya. Mereka berpikir, untuk apa saya bersemangat, sementara orang lain tidak. Buang jauh-jauh perasaan seperti ini. Tidak ada manfaatnya. Semangat kerja jangan tergantung pada orang lain. Juga, jangan tergantung pada situasinya.
Tulus. Bekerja bukan untuk dipuji. Bekerja hanya untuk dipuji menyulitkan kita untuk mencerminkan kemuliaan Tuhan. ‘Syarat’ kerja yang memuliakan Tuhan adalah bertindak tanpa pamrih.
Wujudkan yang terbaik. Dalam setiap pekerjaan, hendaklah kita melakukan dan mewujudkan yang terbaik. Inilah cara kerja dengan hati Kristen. Pekerjaan menjadi bagian dari dedikasi iman kita untuk memberikan yang terbaik.
Unsur-unsur di atas dapat disebut dan dimasukkan sebagai bagian dari ethos kerja kristiani (iman). Semuanya bertujuan untuk menciptakan kualitas kerja seseorang.
Hadapilah setiap tantangan yang muncul di tahun ini dengan iman teguh dan prinsip bekerja keras.