“Dei gratia sum quod sum. Karena kasih karunia Allah aku adalah sebagaimana aku ada sekarang”
Hari-hari ini kita tengah diliputi sukacita yang meluap-luap. Hari-hari ini kita masih melantunkan madah syukur tiada henti. Hari-hari ini kita seolah hidup dalam sebuah dunia yang lain, dunia yang ramah, dunia yang penuh gelak tawa, dunia yang menebar senyum, dunia yang sejuk, nyaman, menggairahkan. Momen-momen akhir tahun dan tahun baru acapkali melahirkan suasana psikologis yang baru, menghadirkan iklim spiritualitas yang segar. Sejatinya iklim dan suasana seperti itulah yang mesti hadir dan mewarnai keindonesiaan kita dari saat ke saat, dari waktu ke waktu. Bahwa iklim sejuk dan nyaman itu terjadi hanya sewaktu-waktu dan pada momen-momen tertentu saja, adalah karena faktor manusia. Keberagamaan manusia belum utuh dan solid, belum “kafah” masih dikuasai spirit ambivalensi dan inkonsistensi. Sejalan dengan itu manusia lebih tampil sebagai sosok egoistik, arogan, congkak dan tidak menghargai orang lain.
Kerusuhan, konflik, bahkan peperangan yang terjadi dalam rentang sejarah sejujurnya berpangkal pada sosok manusia. Andaikata manusia taat kepada ajaran agama, taat hukum, mengembangkan sikap respek terhadap orang lain dalam berbagai keberadaannya, berakhlak mulia, tidak tamak, rakus, bersikap rendah hati, maka dunia yang kita hidupi akan hadir dalam wajah yang sama sekali lain.
Sikap rendah hati hanya lahir dari perasaan bahwa kita ini adalah makhluk ciptaan Allah yang terikat dan terbelenggu pada kefanaan, kesementaraan. Kita ini adalah “makhluk”, yang dicipta; kita sama sekali dan tidak pernah akan setara dengan Khalik, Pencipta. Betapapun hebatnya kita, berdarah biru, bergelar banyak, kaya raya, memiliki kuasa tak terbatas, makhluk terpandai dan tercantik sejagat, kita tetap manusia fana, yang sewaktu-waktu seperti rumput akan gugur dan layu tiada makna.
Kegagalan kita selama ini adalah bahwa mindset kita dan kemudian tindak-tanduk kita nyaris tidak mencerminkan bahwa kita adalah makhluk “fana”, makhluk yang berada “didalam waktu”. Kita seolah menjadi superman yang berkuasa atas segala sesuatu. Kita heboh dan gaduh bagaimana mengatur kolom agama dalam KTP, tetapi perilaku kita diluar rumah ibadah/aktivitas keagamaan adalah perilaku yang “menyimpang” bahkan “menodai” agama itu sendiri. Pada tahun yang baru, tatkala orang-orang yang memiliki marifat berkata bahwa hari-hari akhir sudah makin mendekat, kita harus makin cerdas dan berhenti “gagal faham” tentang hakikat kita sebagai makhluk fana. Kita harus makin soleh, makin beriman dan bertakwa, makin rendah hati dan “eling” bahwa kita ini manusia.
Bagi kita tahun 2018 ini tak usah digembar-gemborkan sebagai tahun politik, setiap saat kita sudah berada dalam atmosfer politik; bagi kita umat beragama, tahun ini harus menjadi Tahun Pertobatan, Tahun “Metanoia”. Kita mesti melakukan “tobat nasuha”, tobat menyeluruh, bukan tobat parsial atau tobat tempo-tempo. Bertobat artinya berubah arah seratus delapan puluh derajat, dari yang buruk kearah yang baik.
Sikap jujur, kerja keras, respek, saling membantu, ugahari, beriman, rendah hati harus menjadi bagian dari agenda kita berkehidupan dihari-hari menjelang akhir zaman. Pepatah yang dikutip dibagian awal tulisan ini menegaskan bahwa hanya atas kasih karunia Allah kita *ada* seperti kita *ada sekarang*. Bukan karena kesiapaan kita, tetapi karna kasihNya, anugerahNya. Kita manusia fana berlumur dosa tak layak menerima itu dari Allah. Tetapi Allah tidak pernah berhitung, Ia mengasihi manusia karena Ia mengasihi. Bukan karena kalkulasi. Mari menghidupi Tahun Baru dengan metanoia. Kasih Dan Kuasa Tuhan Tiada Terbandingkan!
Selamat berjuang. God bless.
*Weinata Sairin*