Tetaplah Seperti Ketika Engkau Dipanggil

0
4896

Oleh: Pdt. Pinehas Djendjengi

 

 

 

1 Korintus 7:17-24

(17) Selanjutnya hendaklah tiap-tiap orang tetap hidup seperti yang telah ditentukan Tuhan baginya dan dalam keadaan seperti waktu ia dipanggil Allah. Inilah ketetapan yang kuberikan kepada semua jemaat. (18) Kalau seorang dipanggil dalam keadaan bersunat, janganlah ia berusaha meniadakan tanda-tanda sunat itu. Dan kalau seorang dipanggil dalam keadaan tidak bersunat, janganlah ia mau bersunat. (19) Sebab bersunat atau tidak bersunat tidak penting. Yang penting ialah mentaati hukum-hukum Allah. (20) Baiklah tiap-tiap orang tinggal dalam keadaan, seperti waktu ia dipanggil Allah. (21) Adakah engkau hamba waktu engkau dipanggil? Itu tidak apa-apa! Tetapi jikalau engkau mendapat kesempatan untuk dibebaskan, pergunakanlah kesempatan itu. (22) Sebab seorang hamba yang dipanggil oleh Tuhan dalam pelayanan-Nya, adalah orang bebas, milik Tuhan. Demikian pula orang bebas yang dipanggil Kristus, adalah hamba-Nya. (23) Kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar. Karena itu janganlah kamu menjadi hamba manusia. (24) Saudara-saudara, hendaklah tiap-tiap orang tinggal di hadapan Allah dalam keadaan seperti pada waktu ia dipanggil.

 

Hari ini adalah hari terakhir untuk tahun 2017. Sebentar lagi kita akan memasuki tahun yang baru, tahun 2018. Bahkan, pada malam harinya kita semua akan menaikkan ibadah dan doa penutupan tahun. Refleksi apa yang paling penting untuk ditandaskan sehubungan dengan saat-saat perpisahan tahun ini? Semoga kita semua setuju untuk menandaskan bahwa: “Yang lama akan berlalu berlalu, dan yang baru akan tiba.” Kita tidak mungkin lagi mengulangi kejadian-kejadian yang kemarin, karena semuanya sudah lewat. Kita segera berhadapan dengan sesuatu yang baru.

Jika perjalanan waktu saja ditandai dengan pengakhiran yang lama dan penyambutan yang baru, apa lagi hidup kita. Kita harus mampu menanggalkan yang lama dan memulaikan yang baru juga. Kalau itu belum kita lakukan, maka momen perpisahan tahun tidak akan memberikan makna apa-apa. Jadi hari ini, sungguhlah tepat bagi kita untuk segera melakukannya.

Setiap kali menyambut tahun baru, kita menyebutnya sebagai datangnya tahun anugerah Tuhan. Memang, tahun-tahun yang kita terima dan jalani selalu merupakan anugerah, karena seluruh masa dan waktu di dunia ini adalah milik Tuhan. Tuhanlah sumbernya. Bila kita menerima waktu Tuhan, berarti kita menerima anugerah-Nya. Dan jika kita hidup di dalamnya, berarti kita hidup dalam anugerah Tuhan. Setiap hal yang menjadi anugerah Tuhan selalu baik dan mencitrakan sikap positif Allah kepada yang menerimanya. Dari dulu sampai sekarang, bahkan dari sekarang sampai nanti, anugerah Tuhan selalu baik dan positif.

Tapi mengapa anugerah yang baik dan positif dari Allah sering menjadi negatif dan kadang terkesan amat buruk? Yang membuatnya negatif dan terkesan buruk bukan Allah, melainkan manusia. Tentu kita masih ingat bagaimana kita merayakan datangnya tahun 2017 di penghujung 2016 yang lalu, bukan? Kitapun menyambutnya sebagai tahun anugerah Tuhan. Tapi apa yang terjadi di sepanjang tahun 2017 yang hampir berakhir ini? Banyak sekali kejadian-kejadian buruk di dalamnya. Konflik dan kerusuhan terjadi di mana-mana, bencana alam dan kejahatan sosial datang silih berganti, mengakibatkan kerugian dan kesedihan yang tak tertahankan.

Wajah buruk itu muncul dalam kehidupan sosial, politik, hukum, dalam keluarga, dan bahkan muncul dalam kehidupan agama.Wajah buruk itu bukan karena Tuhan. Semua itu dikarenakan oleh sikap dan watak manusia yang cenderung negatif terhadap anugerah Tuhan. Allah bersikap positif tetapi manusia bersikap negatif. Allah ingin berbuat baik, tapi manusia ingin berbuat jahat. Dibalik anugerah Tuhan, terjadi pertarungan menegangkan antara kebaikan dan kejahatan. Pihak kebaikan adalah Tuhan dan sekutu-Nya sedangkan pihak kejahatan adalah Iblis dan sekutu-Nya. Siapakah sekutu dari kedua bela pihak itu? Sekutu Tuhan adalah malaikat dan orang-orang beriman (beragama). Sekutu si Iblis adalah roh-roh jahat dan manusia yang keinginannya adalah berbuat jahat. Saudara-saudara dan saya ada di pihak mana? Masing-masing boleh merenungkan dan menerkanya sendiri. Seharusnya posisi kita jelas, yakni sebagai orang yang telah dipersekutukan dengan Allah melalui penderitaan dan pengorbanan Yesus Kristus. Inilah juga makna utama dari kata “persekutuan” yang selalu dilekatkan pada gereja. Tetapi apa yang terjadi? Kita sering menjadi “musuh dalam selimut”. Mulut kita memuji Tuhan, tapi tindakan kita memuja kejahatan.

Tahun anugerah akan menjadi tahun penuh karunia jika kita menyambutnya dengan sikap positif. Betul-betul menerima tahun yang baru sebagai anugerah, menyambutnya dalam pengharapan bahwa Allah mempunyai rencana baik bagi kita. Akan tetapi ketika kita mulai bersikap negatif, maka anugerah Tuhan pun ternodai, dan kita pun hidup dalam akibat-akibatnya yang negatif.

Sikap positif kita, pertama dan terutama, akan diperlihatkan melalui kesetiaan kita kepada Tuhan. Kesetiaan akan menjadi motto kita untuk bergerak lagi di tahun yang baru. Tanpa kesetiaan pada Tuhan, sudah dapat dibayangkan bagaimana jadinya kehidupan kita nanti: mungkin lebih buruk dari keadaan kemarin.

Seorang pengusaha mobil pergi pergi ke suatu kampung mencari beberapa pemuda yang akan dilatih untuk bekerja di pabriknya. Setelah menemukan tiga orang lalu dia berkata, “Kamu akan kuberikan gaji yang cukup besar. Tapi kamu harus berjanji, setelah mempunyai cukup uang kamu harus membantu orang tuamu.” Para pemuda-pemuda itu menyanggupinya.

Setahun bekerja, ketiga pemuda itu dapat mengumpulkan cukup banyak uang. Suatu hari ketika jam istrahat, mereka berkumpul di warung kopi dan saling memberitahukan keinginannya. Yang pertama berkata, “Saya ingin pindah kerja. Uang yang ada sekarang bisa saya gunakan sebagai modal untuk melamar.” Yang kedua berkata, “Saya akan menghadap juragan dan minta agar gaji saya dinaikkan. Jika ditolak, saya akan keluar, kan saya sudah punya cukup uang.” Yang ketiga tadinya tidak ingin bicara. Setelah didesak akhirnya dia mengungkapkan maksudnya. “Saya ingin minta izin untuk pulang ke kampung.” Dalam hatinya dia menyimpan kerinduan untuk membantu orang tuanya.

Maka mulailah mereka bertindak sesuai keinginannya. Pemuda yang pertama tidak datang lagi ke pabrik karena ingin mendapatkan pekerjaan di tempat lain. Yang kedua, berhenti bekerja karena gajinya tidak dinaikkan. Dan yang ketiga, setelah mendapatkan izin dari juragannya, pulang ke kampung menemui orang tuanya. Seperti janjinya dahulu, dia menyerahkan uang yang dikumpulkannya selama ini. Orang tuanya sangat berbahagia. Setelah beberapa hari dikampung, dia kembali lagi ke pabrik untuk melanjutkan pekerjaannya. Melihat hal ini juragan senang dan mengasihinya. Selang beberapa tahun, dia diberikan kedudukan yang lebih baik.

Bagaimana dengan pemuda pertama dan kedua. Mereka kembali menggeluti pekerjaannya semula di kampung, karena sulit mendapatkan pekerjaan di tempat lain. Mereka menyesali tindakannya. Bahkan mereka malu karena telah ingkar janji. Hati yang ingkar telah merugikan dirinya.

Dalam pembacaankita kali ini, 1 Korintus 7:17-24, Paulus mengajarkan kita agar tetap dalam keadaan seperti kita dipanggil. Nasihat Paulus ini tidak bermaksud agar kita berada dalam kondisi statis, melainkan agar kita menjalani panggilan Kristus dari kenyataan riil hidup kita, tanpa berlebihan. Jika kita pegawai, kita mengikuti Kristus sebagai pegawai. Jika kita militer, pengusaha, dll, kita mengikuti Kristus seperti apa adanya kita. Jika selama ini kita makan nasi atau sagu atau yang lainnya, hiduplah beriman dengan makanan seperti itu. Kita tidak perlu (atau terpaksa) mengubahnya lalu makan roti hanya karena kita disebut Kristen. Jika kita orang Sumatera, Jawa, Maluku, Kalimantan, Sulawesi, Papua atau dari mana saja, hiduplah beriman dalam kesiapaan kita tanpa harus memungkirinya. Paulus hendak menegaskan bahwa apa dan siapa pun kita hendaklah kita beriman dari realitas kita masing-masing. Realitas adalah kenyataan hidup kita masing-masing, di situlah kita membangun kehidupan beriman.

Hidup beriman atau hidup dalam panggilan Kristus pada hakekatnya bersedia mengikuti kehendak Kristus. Itulah sebabnya kekristenan dimulai dari suatu pengakuan dan janji. Siapa pun kita, pengakuan ini harus dipelihara dan dijalankan dengan konsisten. Maka jelaslah bagi kita mengapa Paulus mengatakan: ….tetaplah seperti ketika engkau dipanggil. Ungkapan ini menunjuk pada pengakuan awal dari seseorang. Pengakuan awal ini jangan dilupakan.

Hayatilah bahwa kemurahan Tuhan memberi banyak keindahan dalam hidup ini. Semuanya datang sejalan dengan keteguhan kita dalam beriman dan berpegang pada panggilan Kristus.

Selamat menyongsong Tahun Baru 2018!

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here