Oleh: Pdt. Pinehas Djendjengi
1 Petrus 3:14-15
(14) Tetapi sekalipun kamu harus menderita juga karena kebenaran, kamu akan berbahagia. Sebab itu janganlah kamu takuti apa yang mereka takuti dan janganlah gentar. (15) Tetapi kuduskanlah Kristus di dalam hatimu sebagai Tuhan! Dan siap sedialah pada segala waktu untuk memberi pertanggungan jawab kepada tiap-tiap orang yang meminta pertanggungan jawab dari kamu tentang pengharapan yang ada padamu, tetapi haruslah dengan lemah lembut dan hormat.
Tinggal sehari lagi kita akan “berpisah” dengan tahun yang lama (2017) dan menyambut tahun baru (2018). Sudah siapkan kita menyambut tahun anugerah Tuhan itu? Kiranya kita semua akan berkata, “Ya, dalam perkenan Tuhan, saya siap”. Termasuk siap menghadapi segala tantangannya.
Tantangan itu selalu ada dan nyata. Kata ‘tantangan’ kedengaran sedikit klise dan mengawang. Sedikit klise, karena orang selalu mengutip frasa ini dalam nasihat-nasihatnya sebelum seseorang memasuki fase baru. Juga, agak mengawang, karena belum tersaji apa ‘isi’ tantangan yang akan dihadapi itu.
Lepas dari klise atau mengawang, pokok ini akan direnungkan di sini sebagai bagian dari sajian rohani di penghujung tahun. Ada dua hal yang perlu ditekankan terkait pokok ini.
Pertama, tantangan pasti selalu ada dan muncul dalam setiap masa baru yang akan kita jalani. Datangnya masa baru adalah indikasi bahwa manusia mengalami perkembangan dari hidup sebelumnya. Kita semua setuju bahwa apa yang disebut ‘perkembangan’ adalah proses yang diwarnai perubahan. Singkatnya, perkembangan adalah proses berubah. Perubahannya bisa positif dan bisa negatif atau bisa kedua-duanya dalam waktu bersamaan. Entah kita kehendaki atau tidak, kita selalu berada dalam ‘proses berubah’ itu. Lalu, secara langsung atau tidak, proses yang berubah itu, karena ia memberi pengaruh, akan mengubah hidup kita. Termasuk juga mengubah keimanan kita (menjadi lebih kuat atau sebaliknya).
Kedua, kita telah diberikan kemampuan (berperasaan dan bernalar) untuk menyikapi suatu perubahan. Masa depan (sebagai masa baru) tidak terlepas dari masa lalu. Hidup kita kini dan nanti adalah perkembangan dari masa lalu. Demikian juga keadaan di sekitar kita, adalah perkembangan dari keadaan yang lalu. Namun harus diingat bahwa faktor terbesar yang mempengaruhi keadaan di sekitar manusia adalah manusia itu sendiri. Buruk-baiknya suatu keadaan tidak terlepas dari peranan manusia, mulai dari tingkat pemimpinnya sampai kepada tingkat masyarakatnya, mulai dari kehidupannya secara kolektif maupun secara pribadi. Karena itu, kalau ditanyakan kepada kita apakah tantangan yang akan kita hadapi nanti, lihatlah kebijakan yang dianut dalam suatu masyarakat. Selain itu, lihatlah juga pilihan hidup dan kebijakan yang dicetuskan dalam wilayah-wilayah lain di luar masyarakat kita (termasuk kebijakan internasional). Sebab kebijakan di suatu wilayah (masyarakat) tertentu jika itu berdampak bagi wilayah (masyarakat) lain, tentu akan menimbulkan reaksi yang akhirnya menciptakan ‘kebijakan responsif’ atau malah ‘kebijakan tandingan’.
Mungkin terlalu jauh kalau kita berbicara mengenai wilayah lain. Coba kita kita pusatkan perhatian di wilayah (masyarakat) kita sendiri, kebijakan apa yang cenderung kita ambil? Dan, lihat juga, keinginan apa yang sedang digandrungi oleh kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat kita? Sangat beragam! Tanpa kita sadari kita sedang berada dalam masa di mana banyak kelompok berlomba-lomba merebut ‘ruang publik’ untuk diisi dengan idiom-idiom dan ideology kelompoknya. Bagaimana sikap kita? Apakah kita lalu menjadi kecut hati dan berdiam diri?
Sebagai pengikut Kristus kita tetap dipanggil untuk merenda hidup kita dengan kesaksian yang tidak memudar. Kita harus tetap bersaksi dalam kondisi apa pun! Kata-kata Paulus dalam 2 Timotius 4:2-3 harus membuka pikiran kita: “Beritakanlah firman, siap sedialah baik atau tidak baik waktunya, nyatakanlah apa yang salah, tegorlah dan nasihatilah dengan segala kesabaran dan pengajaran. Karena akan datang waktunya, orang tidak dapat lagi menerima ajaran sehat, tetapi mereka akan mengumpulkan guru-guru menurut kehendaknya untuk memuaskan keinginan telinganya.” Kata-kata Paulus ini harus menjadi bara bagi iman kita.
Untuk itu saya akan menstimulasi hasrat beragama kita dengan mengutip suatu kesaksian iman yang terjadi pada tahun 156 di Roma. Kesaksian iman ini terjadi pada diri seorang pemimpin jemaat bernama Ptolomeus. Kisah yang dialaminya direkam dan ditulis oleh Yustinus Martirus (yang mati syahid karena imannya tahun 165). Berikut ini kisah yang diuraikan oleh Yustinus.
Seorang suami di Roma mengamuk karena istrinya telah bertobat dan berubah tingka-lakunya. Si suami mau menindak Ptolomeus, pemimpin jemaat yang telah menginjili dan mengajar istrinya. Ia membujuk seorang perwira yang akrab dengan dia untuk memenjarakan Ptolomeus, dan memberi saran sebagai berikut ini, “Waktu pengusutan nanti janganlah ia ditanyai apa-apa selain dari, “Apakah engkau kristen?” Tentu Ptolomeus yang mencintai kebenaran, yang bukan seorang penipu atau pendusta, mengaku diri Kristen. Maka ia dibelenggu dan lama dipenjarakan. Alhirnya pada waktu ia dihadapkan kepada Gubernur Urbicus, hal yang sama diulangi: ia hanya ditanyai satu pertanyaan saja – apakah engkau Kristen. Dan sekali lagi mengingat semua berkat yang telah dialaminya melalui ajaran Kristus, ia mengaku sebagai murid Tuhan Yesus…
Pada waktu Urbicus mewnjatuhkan hukuman atas Ptolomeus, seorang yang bernama Lukis, juga Kristen, merasa kurang senang dengan hukuman yang tidak adil itu. Maka Lukius menyapa Gubernur, “Apa alasan untuk hukuman ini? Mengapa bapak menghukum orang yang bukan pezina, bukan pembunuh, atau pencuri atau penyamun? Sebenarnya ia tidak dinyatakan bersalah karena kejahatan apa-apa, tetapi sekedar karena mengaku bahwa ia dijuluki dengan nama Kristen saja. Vonnis yang dijatuhkan ini, hai Bapak Urbicus, tidak mengharumkan nama Kaisar Pius, atau nama anak kaisar, sang Filsuf, ataupun nama dewan Sebat yang suci itu.”
Gubernur Urbicus hanya membalas satu kalimat saja, “Kelihatannya saudara termasuk Kristen juga.” Lukis menjawab, “Tentu saja!” Maka urbicus menyuruh supaya ia turut dihukum… Lalu seorang Kristen yang ketiga mengajukan protesnya pula, dan ia pun tureut kena hukuman… (kisah ini dikutip dari Ira C., Semakin Dibabat Semakin Merambat; Riwayat Penganiyaan yang Diderita oleh Umat Kristen Sepanjang Abad, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991, hlm. 27-28).
Perhatikan baik-baik, bagaimana Ptolomeus dan kawan-kawannya teguh pada imannya. Situasi pada waktu itu tidak terlalu ‘menguntungkan’ bagi kekristenan. Keadaan seseorang sebagai Kristen dapat menjadi alasan untuk menyeretnya ke pengadilan dan dihukum. Situasi kita mungkin sedikit lebih baik dari situasi Ptolomeus. Tetapi tetap saja ditemukan bahwa ‘beriman kepada Kristus’ membawa seseorang pada situasi-situasi tak menguntungkan. Bahkan karena iman itu kita sepertinya dimarginalkan. Akibatnya tak jarang orang Kristen menjadi takut dan gentar. Banyak juga yang mengeluh, “Kita hanya mau beribadah kog dihancurin. Kita kan tidak mengajarkan kejahatan, kog kita dibenci.” Sering orang menjadi frustrasi dengan keadaan seperti ini. “Hidup dalam kebenaran kog susah,” kalimat-kalimat seperti ini tidak hanya sekali-dua terlontar dari mulut orang Kristen.
Saya harap kita tidak ikut menjadi frustrasi. Ingat bacaan kita tadi: “Tetapi sekalipun kamu harus menderita juga karena kebenaran, kamu akan berbahagia. Sebab itu janganlah kamu takuti apa yang mereka takuti dan janganlah gentar.” Paulus sungguh sangat sadar bahwa menjalankan kebenaran di bawah terang iman Kristen akan menghadapi banyak tantangan dan penderitaan. Karena itulah ia memberikan nasihat tersebut. Supaya kita jangan goyah, ia menasihatkan lagi: “Tetapi kuduskanlah Kristus di dalam hatimu sebagai Tuhan! Dan siap sedialah pada segala waktu untuk memberi pertanggungan jawab kepada tiap-tiap orang yang meminta pertanggungan jawab dari kamu tentang pengharapan yang ada padamu, tetapi haruslah dengan lemah lembut dan hormat.” Hanya jika Kristus ada di dalam hati kita, maka kita akan tahu memberikan jawaban (tentu juga dengan tindakan) yang tepat. Kejahatan tidak akan dilawan dengan kebencian tapi akan dihadapi dengan sikap lemah lembut dan hormat. Kalimat terakhir ini telah banyak memberi bukti bahwa sekalipun situasi tidak menguntungkan kita, akan tetapi jika kita tampil ramah dan penuh hormat, kita akan diterima.