“Deo dicatus. Deo gratias. Dipersembahkan kepada Allah. Terimakasih kepada Allah”.
Hari-hari, momen-momen tertentu dalam kehidupan seorang manusia, adalah saat-saat yang agak sentimental yang biasanya membawa seseorang menjadi lebih dekat kepada Allah. Saat-saat itu seseorang menjadi nampak lebih religius dibanding hari-hari lainnya, makin sering kosakata, terminologi agama terucap dari mulutnya. Realitas seperti itu biasanya terjadi pada hari-hari menjelang akhir tahun, pada hari raya keagamaan, dan pada saat seseorang terbaring sakit. Kondisi-kondisi seperti itu membawa seseorang pada penyadaran tentang realitas kefanaannya dan hal itu mendorong seseorang ingat akan Khalik Penciptanya. Bahkan tak jarang kita membaca seorang yang secara sadar tidak percaya kepada Tuhan pun, pada saat-saat terakhir dalam hidupnya ia mengungkapkan pernyataan yang ‘seolah’ ia adalah orang yang percaya kepada Tuhan.
Seorang bernama Mirabeau adalah pemimpin Revolusi Perancis yang tidak percaya kepada Tuhan. Sikap dan tindakannya secara sempurna merefleksikan pandangannya itu dan ia ekspose hal itu sehingga banyak orang yang tahu. Pada tanggal 2 April 1791 ia terbaring dalam kondisi yang sekarat. Tempat tidurnya berada tepat di dekat jendela sehingga ia bisa menatap pemandangan indah yang terbentang di depannya. Suatu pagi, mentari memancarkan cahayanya sedemikian cerah, sehingga pemandangan indah bisa ia nikmati dari tempat tidurnya. Melihat panorama Indah yang mencerminkan keagungan Allah, Mirabeau berseru : “Tidak mungkin semua keindahan ini terjadi tanpa diciptakan Tuhan!”.
Hari-hari terakhir dalam kehidupan, hari-hari menjelang tutup tahun rasa dekat dengan Tuhan memang amat terasa. Bahkan orang selama ini dikenal atheistis ternyata pada saat sekarat malah memuji keagungan Tuhan. Mirabeau telah menunjukkan hal itu dengan amat jelas. Sikap dekat dengan Tuhan, sikap religius tidak mempertimbangkan status sosial. Thomas More, seorang bangsawan, Penasihat Kerajaan Inggris pada suatu saat bergabung dengan Paduan Suara Gereja di kotanya untuk ikut bernyanyi. Duke Norfolk memperhatikannya dan berkata : “Sungguh memalukan, seorang penasihat kerajaan Inggris menyanyikan lagu
di grup seperti itu. Kamu mempermalukan Raja!”.
“Tidak Tuanku!” jawab Thomas. “Hal itu tidaklah mempermalukan Raja jika seorang pembantunya melayani Raja dan Juruselamatnya yang adalah Raja diatas segala Raja!”.
Kedua kisah dari zaman baheula diatas tadi menyatakan kepada kita bahwa dalam situasi-situasi tertentu kedekatan seseorang dengan Tuhan amat kuat. Secara pribadi kita pasti pernah mengalami hal-hal seperti itu . Dan hal itu bukan sesuatu yang salah, jadi sebuah realitas yang biasa. Hal yang harus terus diupayakan adalah “rasa dekat” dengan Tuhan itu harus terjadi setiap saat dan tidak melulu karena ada faktor psikologis tertentu. Tuhan harus terus menerus dilibatkan dalam hidup kita baik pada saat duka maupun suka sehingga hidup kita benar-benar terdeteksi dan terkontrol oleh kuasaNya secara penuh.
Pepatah yang dikutip dibagian awal memberi penyadaran dan sekaligus dorongan kepada kita bahwa hidup kita harus dipersembahkan bagi Allah dan juga berterima-kasih kepada Allah. Kedirian kita, talenta, semua yang ada pada kita itu mestinya kita persembahkan bagi Allah bukan kita nikmati sendiri demi kepuasan kita. Tubuh kita dengan segala keberadaannya harus dipersembahkan bagi Allah sebagai persembahan yang hidup, kudus dan berkenan kepada Allah. Bukan hanya tenaga, pikiran, waktu, tapi juga *tubuh* kita dipersembahkan kepada Allah. Kita juga harus terus berterimakasih dan bersyukur kepada Allah atas kehidupan dan segala sesuatu yang Ia anugerahkan bagi kita. Hari-hari menyongsong akhir tahun ini baiklah kita berefleksi : apakah yang sudah kita persembahkan bagi Allah, apakah kita selalu hidup dengan bersyukur kepada Allah ?
Selamat berjuang. God bless.
*Weinata Sairin*