Pdt. Weinata Sairin: Kemauan Baik Menumbuhkan Perbuatan Baik

0
1086

 

“Voluntas habetur pro facto. Kemauan itu baru diperhitungkan karena (ada) perbuatan”.

 

Di zaman baheula ketika peribahasa masih populer dan selalu dijadikan bahan pembelajaran oleh para guru kita mengenal ungkapan “Dimana ada kemauan, disitu ada jalan'”. Agaknya peribahasa itu berasal dari pepatah bahasa Inggris “where there is a will, there is a way’. Bapak dan Ibu Guru pada tahun-tahun 1950-an selalu mengulang-ulang pepatah itu di ruang kelas Sekolah Rakjat, terutama jika ditemui kasus ada peserta didik yang nampak tidak brrgairah untuk datang ke sekolah atau malas mengerjakan PR. Para murid tidak hanya ditugaskan untuk mencatat peribahasa itu, menghafalnya tetapi juga suatu saat siap jika diperintah guru untuk bercerita di depan kelas berdasarkan peribahasa itu.

 

Pada zaman itu ‘peribahasa’ tidak hanya menjadi materi pelajaran bahasa Indonesia. Peribahasa disinggung dalam pelajaran agama, budi pekerti juga acap dikutip dalam pidato kepala sekolah pada saat upacara hari Senin. Dengan cara seperti itu maka konten peribahasa itu menjadi sangat aplikatif dalam kehidupan praktis para murid.

 

Ratusan peribahasa yang kita miliki dan mungkin lebih sebenarnya merupakan tekstualisasi dari local wisdom yang dimiliki sejak lama oleh para pendahulu kita. Walaupun ada juga pepatah yang cukup dikenal di zaman tahun 50-an karena biasanya ditempatkan dihalaman buku bagian bawah yang isinya tidak tepat. Teksnya sejauh masih terekam berbunyi “Allah bisa karena biasa”. Allah bisa melakukan segala sesuatu bukan karena hal itu ‘biasa’ dilakukan, tetapi karena kemahakuasaanNya. Sebenarnya maksud pepatah itu ingin memotivasi seseorang agar ia tekun, rajin, kontinyu, dan terbiasa dalam mengerjakan sesuatu sehingga dengan *kebiasaan* itu seseorang *bisa* mengerjakan sesuatu. Permainan kata _bisa_ dan _biasa_ pada pepatah ini yang sebenarnya juga ingin ditonjolkan.

 

Rumusan” Allah bisa karena biasa” dalam pepatah ini berbasis konsep berfikir yang salah yang dalam perspektif tertentu bisa dimaknai sebagai penghinaan terhadap agama-agama. Syukur pada zaman ini pepatah tersebut tidak dimunculkan lagi. Jika akan dipakai maka kata “Allah” disana wajib diganti.

 

Manusia yang hidup tentu memiliki kringinan, kemauan, kehendak bahkan obsesi. Keinginan itu juga dekat dengan cita-cita; cita-cita dianggap lebih makro dan menjangkau ke masa depan, sementara keinginan, kemauan itu lebih teknis-praktis. Seorang anak kecil acap ditanya apa cita-citanya nanti; biasanya mereka menjawab dengan mata berbinar “mau jadi dokter,” atau “mau jadi hakim”, “mau jadi tentara”. Anak-anak itu dengan lugu menjawab tanpa mempertimbangkan kondisi ekonomi keluarga di waktu mendatang.

 

Suatu saat Mahatma Gandhi kecil ditanya tentang cita-citanya. Ia menjawab tegas : “Berusaha, mencari, menemukan dan tidak menyerah”. Cita-cita adalah keinginan luhur dari seorang pribadi dan atau orangtua kepada anaknya. Pada waktu ibu Ramdulari Devi yang berusia 80 tahun mendengar anaknya terpilih sebagai Perdana Menteri India, ia merespons dengan berkata : “Aku harap Lal Bahadur menjamin kemakmuran bangsa ini bahkan walaupun ia harus mengurbankan dirinya sendiri”.

 

Setiap orang masing-masing punya cita-cita yang ragamnya sesuai dengan minat dan bakatnya. Namun tidak semua orang bisa mencapai cita-cita itu oleh karena berbagai faktor. Seorang yang berbakat dan senang sastra dan bercita-cita untuk studi di Fakultas Sastra bisa saja oleh dorongan orang tua ia kemudian harus menjadi seorang teolog. Kasus-kasus seperti ini banyak ditemui dalam kehidupan praktis.

 

Agama-agama memang memberikan perintah kepada umatnya agar mereka bekerja keras mewujudkan cita-cita dan tidak hanya duduk manis bermalas-malas. Walaupun sesudah melewati perjuangan berat cita-cita itu tidak tercapai kita harus tetap optimis untuk tetap  bekerja dengan baik dibidang apapun. Hal yang paling penting adalah pekerjaan dibidang apapun yang kita lakukan, kita melakukannya dengan tanggung jawab, sukacita dan bersyukur kepada Tuhan, sehingga pekerjaan kita itu bermakna bagi masyarakat luas.

 

Pepatah yang dikutip dibagian awal tulisan ini menyatakan bahwa “kemauan itu baru diperhitungkan karena ada perbuatan”. Ya kemauan, keinginan itu baru diperhitungkan jika ada perbuatan, tindakan. Seorang pejabat misalnya menyatakan _keinginan_ agar dalam Pilkada 2018 nanti tidak dikedepankan “isu sara”. Selama hal itu baru keinginan dan belum dituangkan dalam peraturan, maka keinginan itu belum diperhitungkan. Maka isu sara terus digoreng dan bisa mengguncang nusantara.

 

Semua kemauan dan keinginan yang baik, positif, mesti terwujud dalam tindakan nyata dan konkret. Mari kita ungkapkan keinginan positif kita demi komunitas, organisasi, masyarakat dan bangsa kita dalam tindakan nyata dan konkret.

 

Selamat berjuang. God bless.

 

*Weinata Sairin.*

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here