Pdt. Weinata Sairin: Menuju Ibadah yang Membuah

0
2100

 

 

_”Jauhkanlah dari padaKu keramaian nyanyian-nyanyianmu, lagu gambusmu tidak mau Aku dengar. Tetapi biarlah keadilan bergulung-gulung seperti air dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir” (Amos 5:23,24)_

 

Dengan penuh syukur dan sukacita kita kini memasuki minggu Advent II dalam rangkaian Tahun Gereja, menyongsong perayaan Natal 2017. Natal akan tidak berubah dan tetap menjadi peringatan kelahiran Yesus Kristus Juru Selamat manusia dan dunia. Walapun selalu ada kesulitan yang dihadapi oleh umat Kristen dan Gereja-gereja dalam merayakan Natal dalam beragam wujud, namun umat Kristen dan juga banyak lapisan masyarakat yang antusias menyongsong hari raya Natal. Natal bukan saja punya makna teologis, tetapi juga punya dampak ekonomi yang amat besar. Para ekonom dan pelaku pasar selalu membuat _insert_ dalam Natal agar produk mereka juga ikut terpasarkan. Selama insert itu tidak mengerdilkan dan atau menggerus makna Natal yang hakiki secara teologis, maka upaya mereka itu sah-sah saja.

 

Harus juga kita garis bawahi bahwa kita merayakan Natal bukan basa-basi, bukan dalam roh rutinitas, bukan karena tradisi turun temurun. Kita merayakan Natal sebagai _pesta iman_ karena Allah telah rela _mengosongkan_ diri, dalam semangat _kenosis_ itu Ia turun dalam wujud Yesus Kristus yang meyelamatkan manusia dan dunia dari cengkeraman kuasa dosa. Itulah dasar sukacita Natal yang hakiki, dan sukacita itu tidak bisa dilarang oleh siapapun. Walau ada fatwa, seruan, spanduk, SE, SKB, Viral spanduk larangan hadiri Natal dan beragam jenis aturan lain atau bntuk iklan, meme, artikel di medsos, seruan di media luar ruang yang nyaris menghujat Natal, perayaan Natal tetap meriah dan penuh sukacita.

 

Istilah “basa-basi” kita amat faham dalam konteks pergaulan kita sehari-hari. “Basa-basi’ adalah ungkapan yang kita ucapkan kepada orang lain sekadar “lips service” agar kita disebut ramah dan tidak kaku. Misalnya kita sedang makan siang disebuah restoran, tiba-tiba ada dua orang teman menghampiri kita, karena mereka melihat kita. Lalu kita katakan: “Mari silakan kita makan bersama!” Pada hal secara nyata kita tak punya uang untuk membiayai makan 2 orang teman tadi, andaikata ia menyambut dan oke dengan penawaran kita untuk makan bersama! Artinya tawaran untuk ikut makan hanya sekadar basa- basi, hanya sebuah formalisme dalam sebuah pergaulan.

 

Umat Israel yang dihadapi Amos l.k. tahun 760 SM adalah mereka yang menjalankan ibadahnya secara “basa basi”, rutinitas dan tanpa penghayatan yang kuat. Formalisme keagamaan yang diwujudkan dalam Ibadah seperti itu, tidak punya dampak dalam hidup keseharian mereka. Memang mereka bernyanyi memuji Tuhan, mereka menabuh alat-alat musik dalam ibadah, mereka mempersembahkan kurban, namun semua itu hanya basa-basi, formalistik tidak didukung oleh kesepenuhan hati dan jiwa untuk menyerahkan diri kepada Allah Yang Maha Esa.

 

Ibadah formalistik dan basa-basi yang dipertontonkan umat pilihan secara sempurna dan berulang-ulang, dikritik keras oleh Allah di zaman itu. “Aku membenci, Aku menghinakan perayaanmu…; Aku tidak suka, Aku tidak mau pandang” (Amos 5:21,22). Kata-kata yang keras seperti ini diucapkan Allah untuk menegaskan bahwa sikap basa-basi dan formalistik umat Israel dalam beribadah tidak disukai oleh Allah. Allah tak mau mendengar gambus dan nyanyian mereka. Allah ingin agar “keadilan bergulung-gulung seperti air dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir” (Amos 5:24).

 

Kondisi masyarakat di zaman itu secara umum memang rusak berat. Degradasi moral, pemiskinan orang miskin, ketidakadilan, pembohongan publik dan berbagai kondisi masyarakat yang amat parah terjadi kasat mata dan setiap saat. Ibadah-ibadah Israel dengan nyanyian pujian, persembahan yang mereka berikan hanya berfungsi sebagai wujud “Show of regious activity” dan bukan ibadah yang sepenuhnya kepada Allah.

 

Ibadah yang ramai dan kontinyu berjalan seiring dengan pelecehan HAM, eksploitasi atas manusia; ibadah kepada Tuhan tidak ada kaitan dengan etik dan moral yang dilakukan ditengah kehidupan. Ada “split of personality”, ada paradoks dan ambivalensi dalam kehidupan beragama. Agama dan ibadah hanya “status” tidak punya pengaruh terhadap perilaku umat. Agama-agama, yang berbasis hukum/peraturan misalnya Yahudi, acap menghadapi realitas itu : umat terlihat hafal hukum agama, rajin ibadah tetapi tidak berdampak kepada perilaku sehari-hari.

 

Ditengah suasana Advent yang mewarnai hari-hari kita kedepan ini, kritik keras Allah kepada umat Israel di zamannya tetap memiliki relevansi bagi kita di zaman ini. Kita harus meninggalkan sikap formalistik dan basa-basi dalam menjalankan kewajiban agama. Advent, Natal dan hari-hari raya agama tak boleh kita sambut dan rayakan dengan basa-basi dan formalisme. Kita harus merayakan Natal, Advent dll dengan sepenuh hati, penghayatan penuh, tidak setengah-setengah. Tidak rutin, basa-basi dan  sarat dengan formalisme. Kita juga menyambut firman Tuhan yang mendorong agar keadilan dan kebenaran diberlakukan dalam kehidupan ini. Apa yang bisa kita lakukan secara pribadi, institusi dan Gereja ketika keadilan dan kebenaran tidak lagi mendapat ruang dan tempat yang layak dalam hidup kita. Ada baiknya dipikirkn agar baksos/diakonia Natal di arahkan untuk membantu kelompok marginal, mereka yang mengalami ketidakadilan dan mereka yang menderita dalam memperjuangkan kebenaran.

 

Selamat Merayakan Minggu Adven II. God bless.

 

*Weinata Sairin*

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here