Tegaknya Keadilan adalah Buah Pertobatan

0
1968

Oleh: Pdt. Pinehas Djendjengi

 

Lukas 3:7-18

(7) Lalu ia berkata kepada orang banyak yang datang kepadanya untuk dibaptis, katanya: “Hai kamu keturunan ular beludak! Siapakah yang mengatakan kepada kamu supaya melarikan diri dari murka yang akan datang? (8) Jadi hasilkanlah buah-buah yang sesuai dengan pertobatan. Dan janganlah berpikir dalam hatimu: Abraham adalah bapa kami! Karena aku berkata kepadamu: Allah dapat menjadikan anak-anak bagi Abraham dari batu-batu ini! (9) Kapak sudah tersedia pada akar pohon dan setiap pohon yang tidak menghasilkan buah yang baik, akan ditebang dan dibuang ke dalam api.” (10) Orang banyak bertanya kepadanya: “Jika demikian, apakah yang harus kami perbuat?” (11) Jawabnya: “Barangsiapa mempunyai dua helai baju, hendaklah ia membaginya dengan yang tidak punya, dan barangsiapa mempunyai makanan, hendaklah ia berbuat juga demikian.” (12) Ada datang juga pemungut-pemungut cukai untuk dibaptis dan mereka bertanya kepadanya: “Guru, apakah yang harus kami perbuat?” (13) Jawabnya: “Jangan menagih lebih banyak dari pada yang telah ditentukan bagimu.” (14) Dan prajurit-prajurit bertanya juga kepadanya: “Dan kami, apakah yang harus kami perbuat?” Jawab Yohanes kepada mereka: “Jangan merampas dan jangan memeras dan cukupkanlah dirimu dengan gajimu.” (15) Tetapi karena orang banyak sedang menanti dan berharap, dan semuanya bertanya dalam hatinya tentang Yohanes, kalau-kalau ia adalah Mesias, (16) Yohanes menjawab dan berkata kepada semua orang itu: “Aku membaptis kamu dengan air, tetapi Ia yang lebih berkuasa dari padaku akan datang dan membuka tali kasut-Nya pun aku tidak layak. Ia akan membaptis kamu dengan Roh Kudus dan dengan api. (17) Alat penampi sudah di tangan-Nya untuk membersihkan tempat pengirikan-Nya dan untuk mengumpulkan gandum-Nya ke dalam lumbung-Nya, tetapi debu jerami itu akan dibakar-Nya dalam api yang tidak terpadamkan.” (18) Dengan banyak nasihat lain Yohanes memberitakan Injil kepada orang banyak.

 

Frans dan Yosef adalah dua orang bersaudara. Walaupun bersaudara keduanya mempunyai perbedaan sifat yang sangat mencolok. Frans, sebagai kakak, suka berbicara banyak. Kalau ada pertemuan keluarga dia selalu terlibat aktif dalam pembicaraan. Idenya banyak. Memang dia pandai sekali berbicara dan bahan pembicaraannya selalu menarik. Sebaliknya Yosef adalah seorang pendiam. Dia lebih banyak mendengar dan tidak suka bebicara banyak. Namun kalau bekerja, dia sangat ulet.

 

Setelah masing-masing medapat jodoh, Frans dan Yosef menikah dan hidup sebagai keluarga. Masing-masing keluarga ini dikarunia tiga anak. Frans mempunyai tiga orang anak. Tapi sayang, semuanya putus sekolah. Alasan utamanya ialah tidak bisa membiayai sekolah mereka. Padahal dia mempunyai sawah dan ladang yang luas, tetapi tidak mendatangkan hasil karena tidak diolah dengan baik dan tekun. Jangankan untuk membiayai sekoalah anak-anaknya, untuk makan saja tidak cukup. Tetapi kalau ada pembicaraan tentang tanah, tentang tanaman ini atau itu, tentang cara memberi pupuk, Frans berbicara banyak. Seolah-olah dia tahu semua. Tapi dalam pelaksanaannya? Nol, dia tidak berbuat apa-apa.

 

Sebaliknya Yosef, dia tidak berbicara banyak tentang tanaman ini atau itu, tentang cara memberi pupuk dan lain sebagainya. Tetapi dia tekun bekerja. Hasil sawah dan ladangnya selalu melimpah. Dia juga mempunyai anak tiga orang. Semuanya bersekolah dengan baik. Bahkan anak sulungnya sebentar lagi akan diwisuda sebagai sarjana. Anaknya yang kedua baru masuk Perguruan Tinggi dan anak yang ketiga baru saja selesai di SPK dan sedang ikut program mahir kebidanan.

 

Frans mementingkan omongan, sedangkan adiknya, Yosef lebih mementingkan perbuatan.

Dalam perikop ini diceritakan bagaimana hati orang-orang yang mendengarkan khotbah Yohanes tersentuh. Mereka tergerak lalu bertanya, “Apa yang harus kami perbuat?” Yohanes menyuruh mereka melakukan tindakan nyata dan bermanfaat bagi orang lain. Kepada orang banyak, Yohanes meminta mereka membagikan bajunya kepada orang yang membutuhkan. Kepada para penagih pajak, Yohanes meminta supaya mereka jangan menagih lebih banyak dari ketentuan yang berlaku. Kepada para prajurit, mereka diminta supaya tidak bertindak sewenang-wenang. Jangan merampas dan memeras. Cukupkanlah dirimu dengan gajimu.

 

Yohanes meminta mereka melakukan semua itu sebagai wujud pertobatan mereka. Sebagai sikap mereka menyambut Yesus. Orang yang bertobat harus melakukan kebaikan secara nyata! Pertobatan tidak hanya ditandai oleh doa yang sungguh-sungguh, puasa yang dilakukan dengan tekun, pujian yang bersemangat. Doa, puasa dan pujian tetap penting. Tapi semuanya itu menjadi tiada artinya kalau tidak disertai dengan perbuatan nyata.

 

Hari Natal semakin mendekat. Mari menata hidup, bukan saja dengan doa, puasa dan pujian, tapi juga dengan perbuatan. Inilah yang pertama-tama ditekankan Yohanes. Kita harus berbuat baik bagi orang lain dalam bidang kehidupan dan profesi kita masing-masing. Kita harus bertobat dan hidup dalam nilai-nilai pertobatan itu. Inilah landasan hidup berkeadilan. Gereja dipanggil bukan saja untuk menegakkan keadilan, tapi juga memekarkannya sehingga makin banyak orang yang merasakannya. Anehnya, gereja seringkali diam ketika ketidakdilan terjadi. Suara kenabiannya tidak kedengaran karena takut kepada pihak yang lebih kuat. Takut terhadap ancaman-ancaman yang datang.

 

Natal, adalah ditabuhnya kembali genderang penegakkan keadilan di tengah-tengah kehidupan kita. Kehadiran Yesus ke dunia adalah merintis pergerakkan menuju kehidupan yang berkeadilan. Dalam seluruh hidup-Nya, Yesus berjuang untuk keadilan. Ia mengorbankan diri-Nya, demi tegak dan mekarnya keadilan di antara manusia. Mari kita lanjutkan misi-Nya itu. Syaratnya adalah, memulai kehidupan kita dalam pertobatan. Kapan itu dimulai? Sekarang!

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here