Pdt. Weinata Sairin: “Menyibukkan Diri: Untuk Apa?”

0
1263

 

 

“It is not enough to be busy. The questions is, “What are we busy about?” (Henry David Threau)

 

Hidup manusia modern memang amat sibuk sekali. Tidak seperti di zaman agraris mereka hanya menunggu datangnya musim penghujan, mereka menabur benih dan beberapa bulan, sesuai dengan jenis padi yang ditanam, mereka akan menuai. Sebagian besar waktu orang-orang zaman kini habis di tempat kerja, dan di jalan sehingga waktu untuk keluarga amat kurang; demikian juga aktivitas keagamaan pada hari kerja sebagian besar hanya bisa diikuti oleh para ibu rumah tangga. Kondisi ini memiliki dampak yang amat serius baik bagi pemantapan spiritualitas umat, maupun bagi pelaksanaan aktivitas keagamaan. Apalagi ada banyak warga dari generasi ini yang mengidap “work aholic”.

 

Dampak bagi keluarga juga cukup besar, apalagi jika seorang istri adalah seorang wanita karier yang juga banyak menghabiskan waktunya di luar rumah. Maka lengkaplah ‘kesepian’ sebuah rumah tangga dari sentuhan seorang suami dan istri. Pasangan suami dan istri yang keduanya bekerja dan amat sibuk, dalam pengalaman praktis ternyata juga mengalami kendala dalam hal kehadiran sang bayi di keluarga itu.

 

Dalam konteks seseorang sibuk karena _bekerja_ memang ada beberapa titik pandang yang cukup beragam tentang apa makna bekerja. Rabindranath Tagore misalnya menghubungkan kerja dengan *kehadiran* Tuhan. Menurut Tagore ” Tuhan berada disana bersama dengan para petani yang sedang bercocok tanam diatas tanah yang tandus. Ia bahkan berada bersama para pekerja pembuat jalan yang sedang memecah bebatuan; Ia ada bersama mereka dibawah sengatan matahari atau juga dibawah guyuran hujan yang deras”

 

Pikiran Tagore tentang Tuhan yang berada dan mengada dalam jejak karya umat manusia hampir senafas dengan puisi WS Rendra yang ia tulis lebih dari 15 tahun yang lalu. Tuhan yang hadir secara imanen dalam keseharian manusia, mencerminkan bahwa Tuhan itu solider dengan derita umat manusia.

 

Bekerja juga di pahami sebagai sebuah aktivitas manusiawi yang amat potensial yang tak boleh membuat orang lemah dan pesimis. Adalah seorang Lord Louis Mountbatten yang amat cerdas di zamannya. Ada banyak orang yang memuji Mounbatten karena kecerdasannya itu. Ia yang adalah seorang raja muda India menjelaskan:

“Sesungguhnya aku adalah _orang yang biasa saja_ andai aku berhasil itu karena aku sudah bekerja keras”.

 

Kesibukan, kerja keras sebagai sebuah gaya hidup memamg sesuatu yang positif sejauh hal itu tidak menganggu berbagai dimensi lain dari sebuah kehidupan. Penguatan keluarga, pemantapan dimensi relasional dalam sebuah “keluarga besar”, pelaksanaan kewajiban keagamaan/relasi vertikal tidak boleh direduksi apalagi ditiadakan hanya oleh karena _kerja_ dan _kesibukan_.

 

Pepatah yang dikutip diawal tulisan ini amat menolong untuk mengingatkan ulang kepada kita apakah sebenarnya maksud dan tujuan kesibukan kita itu. Apakah kesibukan itu bermakna bagi kekinian dan keakanan kita; bagi kebutuhan jasmani dan rohani kita? Apakah kita benar-benar _membutuhkan_ kesibukan ? Atau kesibukan itu hanya menghindari kita _bete_ dan _boring_ menghirup atmosfir kerutinan kita? Apakah kesibukan itu tidak mengganggu kesehatan kita ? Apakah kesibukan kita itu punya nilai tambah bagi iman dan spiritualitas kita, dan bagi Keluarga kita?

 

Mari kita mengisi kehidupan kita yang sementara ini dengan kesibukan yang berkualitas. Bagi kita yang sudah memasuki masa pensiun, kesibukan kita sudah amat berkurang dan _terukur_. Sibuklah jika memang itu tuntutan pekerjaan, wujud tanggungjawab dan bagian dari komitmen. Kesibukan yang bagaimanapun tidak berarti melupakan Tuhan dan Keluarga.

 

Selamat berjuang. God bless.

 

*Weinata Sairin.*

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here