Oleh: Pdt. Pinehas Djendjengi
Kejadian 11:1-9
(1) Adapun seluruh bumi, satu bahasanya dan satu logatnya. (2) Maka berangkatlah mereka ke sebelah timur dan menjumpai tanah datar di tanah Sinear, lalu menetaplah mereka di sana. (3) Mereka berkata seorang kepada yang lain: “Marilah kita membuat batu bata dan membakarnya baik-baik.” Lalu bata itulah dipakai mereka sebagai batu dan tér gala-gala sebagai tanah liat. (4) Juga kata mereka: “Marilah kita dirikan bagi kita sebuah kota dengan sebuah menara yang puncaknya sampai ke langit, dan marilah kita cari nama, supaya kita jangan terserak ke seluruh bumi.” (5) Lalu turunlah TUHAN untuk melihat kota dan menara yang didirikan oleh anak-anak manusia itu, (6) dan Ia berfirman: “Mereka ini satu bangsa dengan satu bahasa untuk semuanya. Ini barulah permulaan usaha mereka; mulai dari sekarang apa pun juga yang mereka rencanakan, tidak ada yang tidak akan dapat terlaksana. (7) Baiklah Kita turun dan mengacaubalaukan di sana bahasa mereka, sehingga mereka tidak mengerti lagi bahasa masing-masing.” (8) Demikianlah mereka diserakkan TUHAN dari situ ke seluruh bumi, dan mereka berhenti mendirikan kota itu. (9) Itulah sebabnya sampai sekarang nama kota itu disebut Babel, karena di situlah dikacaubalaukan TUHAN bahasa seluruh bumi dan dari situlah mereka diserakkan TUHAN ke seluruh bumi.
Banyak bahasa itu ada enaknya ada juga tidak enaknya. Suatu kali pemerintah pusat mengadakan lomba cerdas cermat antar warga desa. Panitia, yang notabene berasal dari Jakarta, mulai menguji ketangkasan para peserta lomba itu dengan pertanyaan-pertanyaannya. Giliran peserta yang berasal dari Manado mendapat pertanyaan. Pertanyaan panitia adalah: “Siapakah presiden pertama republik Indonesia”. Peserta dari Manado merasa sulit menjawabnya. Seorang peseta karena merasa sulit lalu menyandarkan badannya di kursi dan mengeluh: “Pe-SUKAR-NO tu soal”. Mendengar itu juri langsung berkata: “Nilai seratus!”. Pada hal peserta tadi mau mengatakan dalam bahasanya: “sukar/sulit amat itu soal”.
Cerita lainnya lagi. Seorang bapak dari pedalaman di luar Pulau Jawa datang ke Jakarta untuk menemui saudaranya. Ketika berada dalam bus tiba-tiba AC mati. Seorang ibu yang kepanasan mulai mengipasi badannya, lalu dengan nada kesal berkata: “Brengsek!”. Si bapak itu sambil mengipasi dirinya menoleh ke ibu tersebut dan berkata: “Bu, saya juga brengsek!” Pikirnya “brengsek” itu panas.
Kenyataan adanya bahasa yang bermacam-macam mau tidak mau membuat kita perlu mempelajari bahasa orang lain juga. Kalau tidak bisa jadi muncul kesalahpahaman. Misalnya, teman saya dari Poso yang sudah lama tinggal di Jakarta mengambil cuti kerja untuk kembali ke kampungnya. Ia pulang untuk memperkenalkan kekasihnya, yang adalah gadis Jawa, kepada kedua orang tuanya.
Suatu pagi gadis itu membuat roti keju dan menyajikan kepada calon mertuanya. Calon Bapak mertua senang lalu bertanya: “Rotinya pake apa?” Dengan tulus gadis itu menjawab, “Pakai keju.” Serta merta calon bapak mertua itu berdiri dan dengan nada marah berkata kepada anaknya, “Kenapa kau bawa gadis yang kurang ajar, ha?” Soalnya kata keju dalam bahasa Poso sangat tidak senonoh diucapkan di hadapan orang tua.
Kesalahpahaman seperti ini pernah terjadi pada diri saya. Dalam jemaat yang saya layani terdapat juga beberapa keluarga Batak. Sekali waktu saya bersama seorang Ibu Majelis berkunjung ke salah satu keluarga Batak. Ketika malam sudah larut saya mengajak teman majelis itu untuk pulang. Saya berusaha mengungkapkannya dalam bahasa Batak: “Mulak modom mahita.” Langsung saja keluarga itu heran karena ungkapan saya sangat tidak pantas. Pasalnya, arti ungkapan itu bernada saya mengajak Ibu Majelis itu untuk pulang tidur bersama. Sebenarnya yang ingin saya katakan adalah: “Yuk, kita pulang” (Batak: “beta mulak mahita”).
Tampaklah bahwa kita memang harus memahami juga bagaimana penggunaan bahasa daerah lain yang unsur-unsurnya seringkali tidak sama dengan bahasa indonesia.
Kisah-kisah di atas menggambarkan bahwa banyak bahasa itu ada enaknya ada juga nggak enaknya.
Mengapa Allah menghancurkan menara Babel? Alasannya terdapat dalam ayat 3 dan 4. Khusus dalam ayat 4 dikatakan: marilah kita dirikan bagi kita sebuah kota dengan sebuah menara yang puncaknya sampai ke langit, dan marilah kita cari nama, supaya kita jangan terserak ke seluruh bumi.
Ayat ini mau memperlihatkat dua kesalahan besar manusia pada waktu itu. pertama, mereka mau menembus langit, artinya mau menembus bahkan melampaui kekuasaan Tuhan. Kedua, mereka bertindak melawan amanat Tuhan pada waktu penciptaan yaitu, penuhilah bumi. artinya isilah wilayah bumi dengan suatu kehidupan yang berkenan kepada Allah.
Dua kesalahan sebagai wujud kecongkakan manusia ini membuat Allah marah dan bertindak menghancurkan rencana mereka dan membuat mereka kembali terserak ke seluruh bumi lewat penciptaan banyak bahasa. Dua kecongkakan di atas muncul karena manusia mulai melihat dirinya sebagai pusat. Sayalah segala-galanya. Buat apa kita bergantung kepada Tuhan.
Kecongkakan ini berlangsung sebagai kecongkakan kolektif. Biasanya kebanyakan kecongkakan itu bersifat pribadi atau individual. Sekarang telah menjadi keocngkakan kolektif. Setiap kecongkakan di hadapan Tuhan akan berakhir dengan kehancuran sebab Tuhan akan menghancurkannya.
Fenomena Babel harus menjadi pelajaran berarti bagi kita sekarang ini. Terutama dalam kondisi kita yang mengalami kehancuran di mana-mana. Mungkin saja itu disebabkan karena kita mulai congkak di hadapan Tuhan.