1 Yohanes 4:17-21
(17) Kata perempuan itu: “Aku tidak mempunyai suami.” Kata Yesus kepadanya: “Tepat katamu, bahwa engkau tidak mempunyai suami, (18) sebab engkau sudah mempunyai lima suami dan yang ada sekarang padamu, bukanlah suamimu. Dalam hal ini engkau berkata benar.” (19) Kata perempuan itu kepada-Nya: “Tuhan, nyata sekarang padaku, bahwa Engkau seorang nabi. (20) Nenek moyang kami menyembah di atas gunung ini, tetapi kamu katakan, bahwa Yerusalemlah tempat orang menyembah.” (21) Kata Yesus kepadanya: “Percayalah kepada-Ku, hai perempuan, saatnya akan tiba, bahwa kamu akan menyembah Bapa bukan di gunung ini dan bukan juga di Yerusalem.
Pada hari ini firman Tuhan menantang keberanian kita untuk percaya. Ayat 17 berkata: “Dalam hal inilah kasih Allah sempurna di dalam kita, yaitu kalau kita mempunyai keberanian percaya pada hari penghakiman…” Kog, pada hari penghakiman? Ya, karena hari itu adalah puncak ketakutan manusia, ia akan diadili apakah layak hidup bersama Tuhan atau tidak. Orang akan memiliki keberanian percaya pada hari penghakiman kalau selama hidupnya berusaha untuk taat kepada Tuhan. Sebaliknya, akan ketakutan pada hari itu bila selama hidupnya jauh dari Tuhan. Kadang-kadang juga ia takut menghadapi hari kematiannya. Jadi, keberanian percaya pada hari penghakiman mempunyai hubungan dengan kepercayaan kita selama hidup.
Salah satu indikasi (petunjuk) tentang hidup percaya kita dalam hidup ini ialah bagaimana kita hidup dalam kasih Allah. Orang yang hidup dalam kasih Allah tidak akan ketakutan pada hari penghakiman. Malah kasih Allah menjadi sempurna dalam dirinya. Untuk mengasihi Allah kita sudah dibukakan jalan oleh Allah sendiri. Bukankah Dia lebih dulu mengasihi kita? Bukankah ini berarti bahwa kasih Allah sudah ada dalam diri kita? Tinggal bagaimana kita mewujudkannya! Bagaimana mewujudkannya? Dengan mengasihi saudara! Barangsiapa mengasihi Allah, ia harus juga mengasihi saudaranya.”
Pertanyaan selanjutnya, “Siapakah saudara kita itu?” yang dimaksud di sini adalah sesama manusia. Mulai dari orang tua, istri/suami, anak-anak, keponakan, tetangga dan semua orang yang kita hadapi. Kalau kita hanya mengasihi salah satunya saja, berarti kasih kita kepada Allah masih kurang. Tuhan akan bertanya, “Mengapa yang lain tidak kamu kasihi?” Mengasihi Allah berlangsung seumur hidup, bukan hanya pada saat-saat menyenangkan atau pada saat-saat kita diuntungkan. Suami jangan hanya mengasihi istrinya pada waktu ia masih kuat, lalu pada saat menopause dan wajahnya mulai keriput ia mulai dijauhi. Pada saat seperti itu pun harus dikasihi. Demikian istri-istri, jangan hanya mengasihi suami pada saat mereka punya pangkat dan berduit, lalu pada saat dompetnya sudah polos dan tubuhnya sudah renta mulai dibelakangi. Berduit nggak berduit, kuat atau sudah lemah harus harus dikasihi. Anak-anak jangan hanya dikasihi pada waktu mereka memberi kebanggaan, ketika mereka tidak naik kelas, mengalami masalah karena lingkunangan dsbnya pun harus tetap dikasihi. Begitu juga kepada tetangga dan sesama lainnya harus dikasihi di mana dan kapan pun mereka kita hadapi. Pada saat mereka merugikan dan membenci kita pun harus dikasihi. Bukankah Tuhan sudah berfirman, “Kasihilah musuhmu dan doakanlah mereka?”
Bagaimana hubungan kita dengan saudara-saudara sendiri dan dengan sesama?Apakah sekarang ini kita mengasihi mereka atau tidak. Apapun alasan dan argumentasi kita di balik kebencian dan kemarahan kita, firman Tuhan hari ini menantang kita untuk berani percaya, yang berarti juga berani mengasihi mereka sekarang ini. Apakah kita berani menyatakannya?