Pdt. Weinata Sairin: Kebajikan Melampaui Kematian

0
1862

 

 

 

“Manet post funera virtus. Sesudah pemakamannya kebajikannya tetap masih ada”.

 

Kita seluruh umat manusia, tanpa memandang ‘sara’, bangsa, afiliasi politik, denominasi, bertuhan atau tidak bertuhan, ya siapapun kita, tidak terkecuali sedang berjalan ke satu titik yaitu kematian. Kematian datang merenggut siapapun. Kita tidak tahu persis jadwal kedatangannnya, jadwal itu sangat konfidensial tak pernah bisa dilacak pembocorannya. Manusia selalu dalam kondisi _tension_ dalam menanti kedatangan sang maut. Sebuah ketegangan kreatif, _a creative tension_ memang bagian dari kedirian manusia. Ketegangan kreatif, ketegangan dalam menapaki zaman ini dan dalam menanti keakanan.

 

Maut tak pernah memandang usia : tua, muda, remaja, tunas remaja, lanjut usia semua didatanginya. Ukuran kelompok usia yang terbaru? Sang Maut tetap tidak peduli pada kriteria apapun dan yang disusun oleh lembaga level manapun. Sang Maut tak peduli dengan kriteria dan pengelompokan usia yang baru yang disusun oleh lembaga internasional PBB yaitu World Health Organizations (WHO)

 

Bagaimanakah manusia fana itu menantikan maut? Menanti maut tidak sama dengan cerita dalam drama terkenal “Menunggu Godot”. Maut pasti datang, cuma kapan waktu dan saatnya itu yang misteri. Itu hanya Sang Khalik yang tahu.

 

Samuel Becket yang lahir 13 April di Irlandia dan meninggal di Paris 22 Desember 1989 menulis drama Menunggu Godot 1952 dan menerbitkannya tahun 1953. Di Taman Ismail Marzuki Jakarta pernah dipentaskan drama ini dan di berbagai kota/komunitas. Di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta drama ini dipentaskan sekitar tahun 1970-an yang digarap oleh Th Sumartana, Julius Siaranamual dkk yang memang sangat concern pada sastra waktu mereka studi teologi.

 

Drama ini mengisahkan kondisi psikologis Vladimir dan Estragon dalam menanti datangnya Godot. Memang tak jelas sebenarnya “binatang” apa si Godot. Vladimir dan Estragon sepakat menanti Godot walau mereka tak kenal siapa Godot itu. Mereka berdebat bermacam soal teknis sementara menunggu Godot; mereka rencana mau tidur dulu karena terasa lelah namun tak jadi takut Godot datang. Bahkan mereka sempat frustrasi karena Godot tak juga datang. Mereka ingin gantung diri namun mereka bertengkar siapa yang harus mati duluan. Hingga berakhir drama itu Godot tak datang. Banyak penafsir memaknai drama ini sebagai cara Becket menyindir orang-orang yang berharap tentang sesuatu, tetapi sesuatu itu hanya mimpi karena tidak pernah datang.

 

Kematian bukan Godot. Godot bisa jadi idealisasi dari harapan-harapan. Godot bukan fakta dan realitas. Godot mungkin ada dalam frame Platonis. Tetapi kematian bukan dunia ide, bukan sindrom Platonis. Bukan mimpi. Kematian adalah realitas. Kitab Suci agama-agama menyatakan itu walau _wordingnya_ berbeda. Kematian adalah fakta. Kematian adslah bagian dari kefanaan. Kita semua sedang menuju titik itu. Kita semua akan didatangi. Fransiskus Asisi menurut seorang teman memahami kematian itu sebagai “saudara” sebab itu harus disambut dengan sukacita.

 

Pepatah kita menyatakan bahwa “sesudah pemakaman, kebajikan tetap masih ada”. Kebajikan yang kita lakukan tidak pernah berakhir. Kebajikan tidak akan ikut terkubur dengan mereka yang meninggal. Kebajikan tetap harum ditaman kehidupan keluarga besar kita. Jangan berfikir tentang kematian, berfikir dan lakukanlah kebajikan sebab kebajikan itu melampaui kematian. Bertobatlah dari perbuatan yang negatif!

 

Selamat berjuang. God bless.

 

Weinata Sairin

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here