Pdt. Weinata Sairin: Pesan Utama Agama-agama adalah Cinta Kasih, Belas Kasih dan Pengampunan

0
1437

 

“All major religious traditions carry basically the same message, that is love, compassion and forgiveness the important thing is they should be part of our daily lives” (Dalai Lama)

 

Sebagai bangsa yang kemajemukannya amat multi dimensional kita patut bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa oleh karena Ia telah menganugerahi bangsa ini dengan tanah subur, bumi indah dan kaya, laut biru mempesona, hutan hijau memukau yang kesemuanya menyatu erat dalam sebuah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kemajemukan negeri ini berwajah ganda, ia bisa memperkukuh jati diri bangsa karena keberbagaian yang ada semuanya terikat pada satu roh; namun ia juga bisa menjadi akar kehancuran bangsa apabila kemajemukan yang menjadi jati diri bangsa kehilangan visi bersama dan hidup dengan mengedepankan roh primordialisme. Kemajemukan itu oleh karenanya mesti dikelola dengan sebaik-baiknya sehingga potensinya yang positif-integratif bisa terwujud dengan optimal.

 

Selain elemen kesukuan, maka agama adalah elemen yang amat sensitif dalam bingkai kemajemukan di negeri ini. Agama diasumsikan sebagai sesuatu yang berdimensi sakral-vertikalistik sehingga orang akan mati-matian dalam membela kebenaran agamanya.

 

Dalam Penjelasan Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, yang kemudian diubah menjadi UU No 1/PNPS/1965, dinyatakan “Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia = Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu (Confusius)”

 

Ketentuan peraturan perundang-undangan yang dikutip diatas bukan “dasar hukum pengakuan pemerintah” terhadap agama-agama yang ada di Indonesia. Negara dan atau Pemerintah tidak berada dalam posisi mengakui atau tidak mengakui eksistensi agama-agama. Dalam konteks itu Menteri Agama menyatakan beberapa kali bahwa Pemerintah baru dapat *melayani* 6 (enam) agama, yaitu : Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu, dengan mengacu kepada UU No. 1/PNPS/1965. Istilah yang digunakan

*melayani* bukan “me

ngakui”.

 

Kementerian agama agaknya memahami benar bahwa agama-agama yang ada di Indonesia jumlahnya lebih dari enam. Tentu tidaklah mudah dan sederhana untuk menetapkan agama mana saja yang akan “dilayani” Pemerintah selain enam agama yang ada. Bagaimana sistem dan prosedur serta mekanisme penetapan itu. Pernah draf sebuah RUU mewacanakan kriteria minimal sepuluh ribu orang anggota sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk bisa disebut agama. Namun karena masalah agama ini amat sensitif wacana itu belum berlanjut.

 

Diharapkan di masa datang Pemerintah akan lebih proaktif untuk melayani seluruh agama yang ada di negeri ini (tidak hanya enam agama seperti yang dilakukan sekarang) melalui pola dan mekanisme tertentu, sejauh komunitas keagamaan itu percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa.

 

Salahsatu hal yang spesifik dari negeri kita adalah hadirnya Kementerian Agama yang melayani agama-agama di Indonesia. Menurut BJ Boland adanya Kementerian Agama di Indonesia adalah sebagai “kompensasi” karena pemikiran bahwa agama (Islam) sebagai dasar negara RI tidak disepakati. KH Abudardiri, KH Saleh Suaidy, M.S.Wirjosaputra dari KNI Banyumas datang ke Jakarta untuk menghadiri Sidang KNI tanggal 24-28 November 1945. Tanggal 26 Nov dalam Rapat KNIP di gedung FK UI Salemba utusan KNI Banyumas itu mengusulkan pembentukan Kementerian Agama. Presiden yang hadir pada pertemuan itu menyambut usul tersebut dan di kemudian hari ditetapkan pembentukan Kementerian Agama 3 Januari 1946.

 

Dengan kondisi realistik yang dihadapi Kementerian Agama menjalankan tugasnya sesuai dengan tupoksi yang diembannya. Memang selalu saja ada kritik terhadap Kementerian Agama, misalnya mengapa di Kementerian yang mengurus hal-hal sakral masih juga terjadi korupsi (korupsi pencetakan Al Quran, dll), mengapa sektor-sektor yang dianggap umum misalnya Sekretariat Jendral, Biro Hukum, Litbang, SDMnya tidak terbuka bagi 6 agama yang ada?

 

Kita amat berharap di Kementerian Agama tidak terjadi hal-hal “lumrah” seperti yang kita dengar terjadi di kementerian lain: suap, korupsi, manipulasi, proyek fiktif, kunjungan DN/LN fiktif yang sangat mengerdilkan dan menjatuhkan hakikat agama.

 

Kesemua agama sebenarnya menyuarakan pesan utama yang sama. Dalai Lama menyebutnya dengan detil : cinta, kasih sayang dan pengampunan yang menjadi nafas utama dari semua agama. Hal penting yang mesti diingat adalah bahwa ketiga aspek tadi harus menjadi bagian integral dari kehidupan kita sehari-hari. Mari kita fungsikan agama sebagai pemandu bagi kehidupan kita, pesan-pesan luhur agama mesti kita aplikasikan dalam kehidupan kita.

 

Selamat berjuang. God bless.

 

Weinata Sairin

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here