Pdt. Weinata Sairin: “Quod avertat Deus. Kiranya Tuhan mengelakkan (kami dari malapetaka)”

0
1936

DOA DAN BERAGAMA SECARA UTUH PENUH

Kata ‘semoga’, ‘moga-moga’, ‘kiranya’ adalah kata-kata yang kita gunakan dalam konteks harapan atau permohonan yang kita tujukan kepada pihak yang lain. Kata “kiranya” secara spesifik digunakan dalam konteks relasi vertikal yaitu hubungan manusia dengan Tuhan. Dalam teks sumpah jabatan bagi warga negara yang beragama Kristen sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No 21 Tahun 1975 Tentang Sumpah/Janji Pegawai Negeri Sipil, ada rumusan yang berbunyi “Kiranya Tuhan menolong saya”. Rumusan “Kiranya….” adalah sebuah janji dan komitmen dari seseorang yang diambil sumpah kepada Tuhan bahwa ia akan melaksanakan isi janji/ sumpahnya itu dalam realitas praktis.

Semua PNS yang akan mengemban jabatan, harus melakukan sumpah jabatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan. Hal itu dimaksudkan bukan saja agar mereka menjalankan tugas dengan penuh tanggung jawab sesuai dengan tupoksi/tusi, lebih jauh dari itu untuk mengingatkan bahwa ada dimensi teologis yang sakral dalam jabatan yang mereka emban.

Kata “kiranya” lebih bernuansa vertikal, yaitu permohonan yang ditujukan kepada Kuasa Yang Diatas, Kuasa Transenden. Dalam ibadah di lingkungan Gereja misalnya kata “kiranya” sering digunakan sebagai cerminan kebergantungan manusia kepada Khalik, Sang Pencipta. Berbeda dengan kata “kiranya”, kata “semoga” lebih sering digunakan dalam konteks relasi horisontal. “Semoga anda sukses dalam mengemban jabatan baru”. “Semoga perjalanan anda lancar”. Kedua contoh kalimat itu memberi gambaran bagaimana kata “semoga” lebih dimaknai dalam relasi antar manusia.

Sebagai bangsa yang beragama, maka kosa kata keagamaan termasuk kata “kiranya” dan “semoga” besar sekali frekuensi penggunaannya dalam kenyataan praktis kehidupan kita. Kata-kata yang berasal dari vokabulari keagamaan, paling tidak dari enam agama yang sekarang dilayani pemerintah, diucapkan pada saat terjadi aktivitas keagamaan atau juga pada aktivitas lainnya. Hal itu patut disyukuri karena dengan cara itu penyadaran bahwa kita adalah manusia yang beragama terus menerus terjadi.

Problem klise yang terus menerus mendera kehidupan kita sebagai bangsa yang beragama adalah adanya gap/kesenjangan antara keberagamaan dengan praktek keberagamaan. Kita sepenuhnya adalah umat beragama tetapi tindakah kita acapkali paradoks dengan status kita sebagai orang yang beragama. OTT, tindakan kriminal, pembunuhan, begal, penipuan, korupsi, perusahaan abal-abal, proyek fiktif adalah bukti nyata bahwa keberagamaan kita rapuh bahkan nyaris tak bermakna. Banyaknya kosa kata agama, adanya hari-hari raya keagamaan, kegiatan keagamaan, ceramah agama, kotbah, tausyiah, dakwah hendaknya menyadarkan kita dan memposisikan kita makin kukuh sebagai umat beragama yang sejati.

Pepatah kita berisi Doa, kiranya Tuhan mengelakkan kami dari malapetaka. Malapetaka bisa terjadi karena bencana alam, bisa karena soal teknologi, bisa karena penggunaan obat yang salah. Tapi bisa juga karena Tuhan menegur kita akibat tindakan kita yang paradoks, atau bisa juga oleh karena kita sebagai bangsa yang beragama tidak mampu bersatu dalam sebuah NKRI yang berdasar Pancasila. Malapetaka datang dalam berjuta wajah. Kita harus berdoa ‘Kiranya Tuhan mengelakkan kami dari malapetaka”. Kita harus beragama secara utuh dan penuh!

Selamat berjuang. God bless.

Weinata Sairin.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here