Pdt. Weinata Sairin: “Non refert quis sed quid dicam. Yang penting janganlah melihat aku ini siapa, tetapi hendaknya memperhatikan apa yang kukatakan.”

0
1504

*”BUKAN SIAPANYA TAPI APA YANG DIKATAKANNYA”*

 

Dalam realitas empirik, ada banyak orang yang lebih terfokus pada figur, sosok, kedirian seseorang, dan bukan pada kata-katanya, pada gagasan dan pemikirannya. Orang lebih terkesan pada penyanyinya, dan bukan pada nyanyiannya. Orang terkesima kepada ‘the singer’ dan bukan pada ‘the song’. Apapun yang dikatakan oleh figur tertentu, apapun yang disuarakan oleh sang tokoh, walaupun salah, kontradiktif, irasional, tetapi karena diucapkan oleh figur yang berkelas, berjabatan, bereselon, tetap saja publik mengangguk-angguk tanda setuju dan apresiasi. Lagu apapun yang dilantunkan penyanyi, walau suara agak sumbang, mengeja lagu baratnya kurang fasih, tetap saja sang penyanyi itu ditepuktangani dengan penuh gegap gempita.

 

Kita semua terpukau pada figur. Kita terpenjara pada orang. Kita terkesima pada sosok. Kita abai terhadap ‘konten’ dari figur dan sosok itu. Dalam bahasa yang agak berbeda, dapat dikatakan bahwa orang terpukau pada ‘kemasan’ dan bukan pada ‘produk’. Arah berfikir seperti ini tentu memiliki dampak dalam kehidupan kita pada semua level/arasy.

 

Dalam perkembangan selanjutnya, banyak fihak ternyata tidak cuma terpukau pada figur, sosok, orang, tapi fanatik, terpenjara, terikat pada keturunan orang itu. Ayah anak, suami, istri, besan dan selanjutnya berada dalam satu alur yang melahirkan sebuah dinasti yang bisa saja in the long run melahirkan sebuah imperium. Pemikiran dinasti, kultus individu memang berbasis pada pribadi, individu, *keseorangan*, yang biasanya mengabaikan sistem dan ketentuan perundangan yang berlaku.

 

Agaknya perlu ditumbuhkan keberanian untuk mengembangkan sikap obyektif dalam memandang seseorang. Tidak terlalu mudah untuk mengembangkan keberanian dalam bersikap. Keberanian dalam menetapkan sikap, menunjukkan dan mempertahankan sikap adalah sesuatu yang penting dalam perjalanan kehidupan seseorang.

 

Keberanian dalam mengungkapkan sikap, dan keberanian dalam meghadapi masalah sebenarnya keduanya punya resiko. Julius Caesar mengungkapkan sikapnya yang berani dalam menghadapi suatu masalah. Suatu saat Caesar dinasihati oleh sahabat-sahabatnya untuk lebih berhati-hati dalam menjaga diri. Bahkan ia juga dinasihati secara serius untuk tidak berjalan diantara rakyatnya tanpa pengawalan yang ketat. Namun Ceasar menjawab dengan tenang : “Siapapun yang hidup diliputi dengan ketakutan setiap saat akan merasa tersiksa. Aku akan mati tetapi aku hanya akan mati sekali saja!”

 

Sikap berani perlu ditumbuhkan dalam kehidupan kita. Peribahasa yang sejak kecil diajarkan kepada kita berbunyi “Berani karena benar takut karena salah”. Kita harus berani, jika kita merasa benar. Berani memberikan kritik, berani menyampaikan pandangan walaupun berbeda dengan arus utama, berani bersaksi tentang suatu kebenaran yang kita lihat, berani berdebat tentang isu penting dan kontoversial.

 

Sikap berani bertindak obyektif, berani mengubah paradigma berfikir, berani meninggalkan sikap primordialistik adalah keberanian yang perlu diwujudkan walau resikonya tinggi.

 

Pepatah yang dikutip dibagian awal tulisan ini menyatakan bahwa yang mesti dilihat itu adalah “apanya” bukan “siapanya”.

 

Kita harus bisa mengubah cara pandang, paradigma berfikir dalam konteks ini. Jangan terpukau pada orangnya, siapapun dia. Tapi lihat dan kaji gagasannya, idenya, pemikirannya. Siapapun yang mengatakan gagasan itu : bang Toyib, bang Oma, mas Kunto, Pingkan, Ungke ya siapapun the man in the street yang menyampaikan gagasan cerdas bernas dan orisinal, relevan dengsn konteks kita wajib menghargai dan mengapresiasinya. Bukan Siapanya, Tapi Apa yang ia katakan.

 

Selamat berjuang. God bless

 

Weinata Sairin.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here