Oleh: Oka Bagas S
Banyak pemimpin agama mengajar umat mereka untuk mempersembahkan korban. Namun sering kali tidak mengajarkan alasan dan tujuan dalam mempersembahkan korban. Akhirnya, mereka menghasilkan umat yang hanya sekedar menurut saja, tanpa memahami makna perbuatan mereka sendiri.
Sesungguhnya domba korban diperlukan manusia setelah umat manusia jatuh ke dalam dosa. Allah pencipta langit dan bumi adalah Allah yang maha suci, yang tidak bisa berkompromi dengan dosa atau kejahatan, yang sekecil apapun. Ia pasti akan menjatuhkan penghukuman terhadap siapa saja yang berbuat dosa. Ia tidak akan memandang amal mereka, karena amal mereka tidak dapat menghapuskan dosa mereka, melainkan hanya membuat mereka lebih terhormat di mata manusia. Tidak ada amal yang dapat menghapuskan dosa! Manusia yang bodoh saja tahu, bahwa orang yang telah melakukan pembunuhan itu perlu dihukum, bukan disuruh berbuat amal, apa lagi Tuhan. Mungkinkah Tuhan yang sanggup menciptakan langit dan bumi tidak memakai cara yang benar, melainkan membiarkan manusia berdosa memakai amal untuk menutupi dosanya?
Semua manusia tahu bahwa hanya satu jalan untuk membereskan dosa, yaitu melalui penghukuman. Setelah seseorang menjalankan penghukuman yang ditetapkan kepadanya secara hukum, maka selesailah upah dosanya. Sebagai contoh, kalau seseorang tertangkap mencuri sesuatu, maka ia akan dijatuhkan hukuman terkurung di dalam penjara untuk suatu jangka waktu. Setelah ia menjalankan penghukumannya, maka hutang dosanya telah terlunaskan di hadapan hukum. Demikian juga prinsip hukum Tuhan berlaku. Prinsip tata-hukum manusia itu pada hakekatnya berasal dari prinsip tata-hukum Tuhan. Karena Tuhanlah yang memberikan akal budi kepada manusia. Ide tentang korban itu dihasilkan dari prinsip penjatuhan hukuman. Sama artinya dengan penjatuhan hukum denda terhadap orang yang bersalah. Artinya, karena kesalahannya, seseorang perlu membayar ganti rugi atau menerima penghukuman. Bisa berupa hukuman badan (cambuk atau penjara), atau berupa hukuman materi (denda uang atau barang). Orang-orang yang mempersembahkan sesajian itu sebenarnya bermaksud datang untuk membayar ganti rugi kesalahannya secara materi. Prinsip ini juga yang mendasari tindakan persembahan korban. Karena ada pihak yang melakukan kesalahan yang perlu dihindarkan dari penghukuman, maka diperlukan korban.
Sebenarnya, prinsip dasar dari korban dan sajian yang terjadi di berbagai bentuk penyembahan itu bersumber dari pengertian membayar ganti rugi secara materi atau menggantikan pihak yang bersalah agar ia terhindar dari penghukuman. Pengertian ini diteruskan oleh manusia pertama yang jatuh ke dalam dosa (Adam dan Hawa), dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Adam dan Hawa tahu persis, bahwa Allah tidak mungkin berkompromi terhadap dosa yang telah mereka perbuat. Karena mereka adalah orang pertama yang jatuh ke dalam dosa, maka pasti mereka mengetahui, atau setidaknya mereka mendengar tentang akibat dosa mereka, dan juga cara untuk mendapatkan pengampunan. Setelah mereka mengetahui bahwa cara untuk mendapatkan pengampunan itu ialah menjadikan seekor domba sebagai korban pengganti mereka sementara menunggu “domba Allah” yang sedang dipersiapkan, maka tentu mereka meneruskan ajaran itu kepada anak cucu mereka.
Dalam cerita Kain dan Habel, terkandung makna bahwa pada prinsipnya mereka tahu dengan jelas tentang jalan keselamatan. Tetapi rupanya Kain tidak serius dalam menanggapi makna jalan keselamatan yang diajarkan Allah. Sedangkan Habel lebih berhikmat, dan tulus, sehingga dia menuruti tata-cara yang dikehendaki Allah. Kain mempersembahkan hasil pertaniannya sedangkan Habel mempersembahkan seekor domba yang tak bercacat.
Apa yang dilakukan oleh Kain itu hampir sama dengan tindakan orang-orang yang mempersembahkan sesajian yang berupa makanan, buah-buahan, dan berbagai benda materi lain. Mereka berpikir bahwa dengan mengganti rugi secara materi maka dosa mereka akan diampuni. Atau, hanya dengan motivasi untuk sekedar mempersembahkan apa yang ada pada mereka tanpa menghiraukan kehendak Allah. Karena Kain seorang petani, ya…dipersembahkannyalah hasil pertaniannya. Prinsip dan caranya diikuti oleh kebanyakan manusia di dunia ini. Mereka hanya melakukan sesuatu tanpa memikirkan makna perbuatan mereka. Mereka seolah-olah berkata, “Tuhan seharusnya mengerti keadaan saya dan menuruti jalan dan cara saya.”
Namun Habel mempersembahkan domba yang tak bercacat. Tentu saja Tuhan berkenan kepada persembahan Habel. Ia telah melakukan tepat seperti kehendak Tuhan, yaitu seperti yang didengarnya dari orangtuanya. Mereka harus percaya kepada Penyelamat yang akan dikirim Allah, dan sebelum Penyelamat itu datang untuk menanggung dosa mereka, domba adalah gambaranNya. Kain juga pasti mendengar hal yang sama, tetapi mungkin karena dia tidak rela mematuhi perintah Tuhan, maka dipilihnya jalan yang baik menurut pendapatnya