Pdt. Weinata Sairin:”We can draw lessons from the past, but we can not live in it” (Lyndon Jhonson)

0
1131

Proses pembelajaran yang dilakukan oleh sosok seorang manusia sebenarnya tidak mengenal waktu, walaupun itu terjadi dalam ruang waktu. Belajar memang terjadi di sepanjang hayat, dan tidak untuk mengejar surat tanda tamat belajar, sertifikat, ijazah atau apapun namanya. Belajar diperlukan untuk mempertajam kecerdasan manusia, memperdalam tingkat pemahaman dan persepsi seseorang terhadap sesuatu, melatih cara berfikir agar makin berhikmat untuk merespons berbagai turbulensi dan kegaduhan yang menerpa kehidupan.

Memang harus diakui bahwa “sekolah formal” itu juga penting, mulai tingkat dasar hingga menengah. Sesudah itu bisa dilanjutkan ke pendidikan tinggi, jika kemudian memang diperlukan. Sekolah-sekolah formal seperti itu sesuai dengan ketentuan perundang-undangan memang memberikan ijazah bagi mereka yang menyelesaikan program pendidikannya.

Dalam pengalaman praktis, ijazah ternyata bukan segala-galanya. Ijazah yang berhasil kita peroleh tidak bisa dimaknai bahwa proses pembelajaran sudah selesai. Kita masih harus terus dalam proses pembelajaran demi memperkaya pemahaman kita untuk menuju masa depan. Sumber belajar begitu banyak yang tersedia : buku-buku, bahan dari internet, interaksi dengan komunitas dan masyarakat dan pengalaman masa lampau.

Pengalaman masa lampau bisa menjadi sumber dan referensi bagi proses pembelajaran yang dilakukan seseorang. Pengalaman zaman baheula baik positif maupun negatif tetap memiliki makna untuk menjadi bahan dalam sebuah proses pembelajaran. Bedanya adalah pengalaman yang negatif terkadang menyimpan potensi traumatik di dalam diri yang tak begitu mudah untuk melupakannya. Peristiwa bencana alam yang pernah menerpa Pulau Nias atau Tsunami yang meluluhlantakkan Aceh misalnya telah menjadi memori kolektif bagi masyarakat di kedua wilayah itu bahkan masyarakat Indonesia pada umumnya.

Peristiwa Tsunami Aceh yang menerpa Aceh 26 Desember 2004 dan menimbulkan empati dari masyarakat Internasional tentu menyimpan energi traumatik masyarakat Aceh. Betapa tidak, ada banyak orang yang kehilangan anak, istri, suami, orangtua secara tiba-tiba digulung ombak besar yang sebelumnya tak pernah dibayangkan. Dalam buku antologi puisi “Ziarah Ombak” yang dihimpun D. Kemalawati dan Sulaiman Trips, Penerbit Lapena, Banda Aceh, 2005 sekitar 49 orang penyair melukiskan dahsyatnya Tsunami, yang membuat airmata berderai, harapan yang punah tanpa arah dan duka luka menganga. Tapi pengalaman traumatik yang dipenuhi airmata membanjir itu, melahirkan juga _credo_, pengakuan iman bahwa Tuhan itu tetap ada dan dipercaya umat.

Penyair Sukran Daudy, seniman Takengon melantunkan hal itu dalam puisinya berjudul *”Aku tidak kehilangan Tuhan”.*

“Ibuku hilang
Bapakku hilang
Anakku hilang
Kakek nenekku hilang
Keluargaku hilang
Aku mencari dari gelimpangan manusia telah hilang
Air mata juga hilang
Alamat rumahku hilang
Aku tinggal di kehilangan
Tangisku hilang

Aku kehilangan kata-kata
Aku melangkahi kehilangan
Tetapi aku tidak kehilangan Tuhan

Takengon, 4 Februari 2005

Pepatah yg dikutip diawal bagian ini mengingatkan kita bahwa kita bisa *belajar* dari masa lampau, tapi kita tak boleh *hidup* didalam masa lampau itu. Ya kita harus belajar dari sejarah. Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah, kata Bung Karno. Tetapi kita jangan terpenjara oleh sejarah, oleh romantisme sejarah. Kita harus berjalan kedepan dan menatap kedepan. Kita tidak akan pernah melupakan Tuhan, kita mohon Tuhan memapah langkah-langkah kita agar tetap tegar menyusuri jalan penuh lubang dan bahkan terjal menuju masa depan ceria di keakanan !

Selamat berjuang. God bless.

Weinata Sairin.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here