Oleh: Pdt. Pinehas Djendjengi
1 Timotius 6:1-10
(1) Semua orang yang menanggung beban perbudakan hendaknya menganggap tuan mereka layak mendapat segala penghormatan, agar nama Allah dan ajaran kita jangan dihujat orang. (2a) Jika tuan mereka seorang percaya, janganlah ia kurang disegani karena bersaudara dalam Kristus, melainkan hendaklah ia dilayani mereka dengan lebih baik lagi, karena tuan yang menerima berkat pelayanan mereka ialah saudara yang percaya dan yang kekasih. (2b) Ajarkanlah dan nasihatkanlah semuanya ini. (3) Jika seorang mengajarkan ajaran lain dan tidak menurut perkataan sehat — yakni perkataan Tuhan kita Yesus Kristus — dan tidak menurut ajaran yang sesuai dengan ibadah kita, (4) ia adalah seorang yang berlagak tahu padahal tidak tahu apa-apa. Penyakitnya ialah mencari-cari soal dan bersilat kata, yang menyebabkan dengki, cidera, fitnah, curiga, (5) percekcokan antara orang-orang yang tidak lagi berpikiran sehat dan yang kehilangan kebenaran, yang mengira ibadah itu adalah suatu sumber keuntungan. (6) Memang ibadah itu kalau disertai rasa cukup, memberi keuntungan besar. (7) Sebab kita tidak membawa sesuatu apa ke dalam dunia dan kita pun tidak dapat membawa apa-apa ke luar. (8) Asal ada makanan dan pakaian, cukuplah. (9) Tetapi mereka yang ingin kaya terjatuh ke dalam pencobaan, ke dalam jerat dan ke dalam berbagai-bagai nafsu yang hampa dan yang mencelakakan, yang menenggelamkan manusia ke dalam keruntuhan dan kebinasaan. (10) Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka.
Manusia adalah kesatuan antara tubuh, jiwa dan roh. Masing-masing bagian itu punya kebutuhan yang harus dipenuhi. Kebutuhan fisik (tubuh) adalah sandang, pangan dan papan. Kebutuhan psikologis (jiwa) adalah makna dan tujuan hidup. Kebutuhan rohani (roh) adalah kebebasan dan kebenaran.
Semua kebutuhan itu adalah sah dan baik. Manusia merasa bahagia kalau semua kebutuhan itu terpenuhi secara seimbang. Jadi, kalau manusia berusaha untuk memiliki materi (harta kekayaan) itu tidak salah, asal dia juga memperhatikan kebutuhan psikis dan rohaninya. Yang salah adalah kalau tidak seimbang. Kebutuhan dimensi tertentu dipenuhi (sampai berlebihan) sementara kebutuhan dimensi lain diabaikan.
Tapi anehnya, dalam gereja justru berkembang pandangan bahwa mencari kekayaan itu adalah kegiatan yang kurang mulia. Yang lebih mulia adalah orang yang mengejar kehidupan rohani. Karena itu ada ungkapan: “Biar miskin tapi beriman”. Akibat pandangan ini banyak orang Kristen tenggelam dalam paham ‘dikotomi’ antara yang material dan spiritual. Maksudnya, orang Kristen selalu memisahkan dan bahkan mempertentangkan antara yang material (kekayaan) dan yang spiritual (rohani). Yang spiritual (rohani) dianggap lebih tinggi dari yang material.
Jadi jangan heran kalau ada anggota jemaat yang miskin tetap dibiarkan miskin. Iya dong, biar miskin tapi beriman, kan? Jangan heran, kalau daerah-daerah Kristen selalu merupakan daerah-daerah miskin. Ya, karena kemiskinan selalu diromantisir sebagai sesuatu yang wajar. Pandangan ini tentu saja keliru. Alkitab tidak mengajarkan orang untuk menjadi miskin!
Orang Kristen harus didorong untuk berusaha dan menjadi kaya (memiliki kecukupan dalam kebutuhan hidupnya). Moto yang harus dipakai bukan “Biar miskin tapi beriman” tapi “Berusaha menjadi cukup dan beriman”.
Allah telah menjadikan segala sesuatu baik. Yang disebut materi dan rohani semuanya baik. Kita tidak boleh berkata, yang rohani lebih baik dari materi. Semuanya harus diperjuangkan secara seimbang. Kalau imannya saja yang dipelihara tapi ia terus bergelut dalam kemiskinan, ini namanya pincang. Tidak seimbang. Demikian juga sebaliknya. Jadi kata kuncinya adalah: keseimbangan.
Kalau Paulus berkata: “Asal ada makanan dan pakaian, cukuplah”(ayat 8), ini tidak berarti bahwa kita tidak boleh berusaha untuk mempunyai lebih dari itu. Ungkapan Paulus ini hendak mengajarkan kita untuk tahu bersyukur. Jangan cuma mengeluh dan meratap kalau merasa kurang. Kita harus bersyukur atas apa yang kita miliki. Kalau untuk hal kecil saja kita tidak tahu bersyukur, bagaimana kita akan mensyukuri hal-hal besar yang akan kita peroleh? Berdasarkan hati yang tahu bersyukur, kita kemudian akan berusaha untuk memperoleh lebih banyak. Setiap hal yang diperoleh disambut dengan rasa syukur. Inilah yang disebut keseimbangan itu. Materi diperoleh, rohani (rasa syukur) meningkat. Rasa syukur akan membuat kita merasa cukup.
Orang yang tidak pernah merasa cukup adalah orang tamak. Mereka terus memburu keinginan-keinginannya. Akibatnya, seperti dikatakan Paulus dalam ayat 9, “Tetapi mereka yang ingin kaya terjatuh ke dalam pencobaan, ke dalam jerat dan ke dalam berbagai-bagai nafsu yang hampa dan yang mencelakakan, yang menenggelamkan manusia ke dalam keruntuhan dan kebinasaan.” Ketamakan dilarang dalam kekristenan.
Kalau kita ingin memiliki lebih, ingin lebih kaya dan lebih maju, silahkan. Tidak dilarang. Tetapi ingat, jangan lupakan kehidupan rohanimu. Jika kita ingin menjadi kaya, tapi kita mengabaikan dimensi kerohanian kita, maka kita akan mudah mengabaikan norma-norma moral dan etika. Kita lalu menghalalkan segala cara. Kita pun menjadikan materi sebagai tujuan. Itulah sebabnya Paulus berkata: “… akar segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka” (ayat 10).
Cari uang banyak tidak salah. Itu adalah karunia Tuhan juga. Tapi jangan hanya memikirkan uang melulu lalu lupa kebutuhan rohani, lupa keluarga dan anak-anak. Tidak ada damai dalam hidup seperti ini. Bahkan kita tidak pernah menikmati apa yang kita cari itu, sebab kita akan terbeban dengan apa yang kita cari itu.
Pada saat-saat tertentu kita harus merasa cukup supaya kita dapat memikirkan yang lain. Dengan begitu kita dapat menikmati apa yang kita punyai dan memanfaatkan secara baik untuk kemuliaan Tuhan. Teruslah berusaha sambil memelihara iman. Maka kita akan betul-betul menikmati pemberian Tuhan.