Prof Dr JLCH Abineno seorang Teolog Indonesia asal Kupang NTT yang amat produktif dalam menulis buku mengungkapkan dalam kuliah Teologia Praktika di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta tahun 1970-an hal yang amat mendasar tentang “mendengar”. Menurutnya, salah satu kelemahan para teolog dan pendeta adalah kurang mau mendengar. Mendengar keluhan warga jemaat, mendengar penjelasan orang lain itu amat penting agar kita memahami sebuah masalah dengan lebih baik, lebih luas dan komprehensif.
“Dengarkan dengan saksama, jangan memotong atau interupsi. Jika kita mendengar dengan sabar, empati maka hal itu juga akan ikut membantu pergumulan yang dihadapi seseorang”. Demikian kata sang pakar. Pemikiran seorang Abineno yang bersumber dari pengalaman empirik sangat penting bagi para mahasiswa teologi di zaman itu dan relevansinya tetap terasa di zaman ini.
Dalam dunia yang makin cepat, sibuk, bahkan makin mengglobal dan menyatu, orang nyaris tidak lagi punya waktu yang cukup untuk ‘mendengar’. Dan itu terjadi di banyak tempat dalam berbagai level. Dalam Keluarga, anak-anak, suami/istri kehilangan waktu yang cukup untuk saling mendengar. Untuk Keluarga yang suami dan istrinya sedang berangkat uzu ada masalah yang berkaitan dengan kemampuan mendengar. Suami atau isteri tak mampu lagi menangkap dengan tepat apa yang dikatakan lawan bicaranya. Dalam kasus ini sesekali terjadi kesalahfahaman dan berujung kegaduhan yang tidak perlu.
Dalam konteks suami-istri yang sudah dicekam keuzuran maka komunikasi disntara mereka tidak cukup hanya memperhatikan aspek mendengar saja tetapi juga pengertian, empati, kasih sayang sehingga cinta kasih mereka di usia senja tetap terjaga.
Apa sebenarnya yang dimaksud dengan “mendengar”. Mendengar adalah menangkap bunyi dengan telinga. Mendengar adalah juga memperhatikan dengan baik apa yang dikatakan orang lain, dengan melibatkan unsur kejiwaan, yang didalamnya aktivitas mental telah diikutsertakan, walau belum setinggi aktivitas menyimak.
Di zaman sebelum ada televisi dan medsos juga belum ramai seperti sekarang, maka radio memiliki peran signifikan.
Pada tahun-tahun pemerintahan Pak Harto ada acara Siaran Pedesaan RRI yang menggerakkan kegiatan Kelompencapir, Kelompok Pendengar, Pembaca, Pemirsa. Kelompok ini mengadakan pertemuan untuk petani dan nelayan berprestasi untuk adu kepandaian tentang hal-hal pertanian. Pada tahun 1987 kelompok ini sudah berjumlah 50 ribu kelompok di 66 ribu desa diseluruh Indonesia.
Program ini sebenarnya bergerak dari kemauan baik pimpinan RRI untuk memberikan pelayanan prima bagi para pendengar RRI terutama yang ada di pedesaan agar mereka mengalami pencerahan dan pencerdasan khususnya tentang pola-pola bercocoktanam secara baru dan modern. Bahwa kemudian ikatan emosional yang terbentuk kuat melalui Kelompencapir itu digunakan untuk memenangkan partai politik pada zaman itu, ya itu soal yang lain.
Mendengar (hearing) dan mendengarkan (listening) adalah 2 kosa kata penting dalam hidup kita. Memang dalam praktek, kata ‘mendengarkan’ jauh lebih dalam artinya ketimbang “mendengar”. Pada kata “mendengarkan” ada nuansa ‘ketekunan’, ‘terus menerus’, ‘empati’. Pada kata ‘mendengar’ ada nuansa cepat dan kilat.
Siapapun kita, wajib mendengar dan mendengarkan. Mendengarkan suara-suara anggota keluarga, mendengar orang yang kita pimpin, mendengar siapapun dan dalam kapasitas apapun. Bahkan mendengarkan suara-suara yang tak mampu terucapkan.
Sebagai umat beragama kita terpanggil terus menerus untuk mendengarkan suara orang orang yang mengalami penderitaan dalam hidupnya, mendengarkan suara mereka yang takut bersuara, atau yang tak mampu lagi bersuara, mereka yang terhempas dan terkandas.
Pepatah kita menyatakan siapa yang memiliki telinga untuk mendengar hendaknya ia juga mendengarkan. Tuhan menganugrahkan telinga kepada kita maka kita bisa mendengarkan suara orang lain.
Selamat berjuang. God bless.
Weinata Sairin.