Oleh: Pdt. Pinehas Djendjengi
1 Korintus 9:19-23
(19) Sungguhpun aku bebas terhadap semua orang, aku menjadikan diriku hamba dari semua orang, supaya aku boleh memenangkan sebanyak mungkin orang. (20) Demikianlah bagi orang Yahudi aku menjadi seperti orang Yahudi, supaya aku memenangkan orang-orang Yahudi. Bagi orang-orang yang hidup di bawah hukum Taurat aku menjadi seperti orang yang hidup di bawah hukum Taurat, sekalipun aku sendiri tidak hidup di bawah hukum Taurat, supaya aku dapat memenangkan mereka yang hidup di bawah hukum Taurat. (21) Bagi orang-orang yang tidak hidup di bawah hukum Taurat aku menjadi seperti orang yang tidak hidup di bawah hukum Taurat, sekalipun aku tidak hidup di luar hukum Allah, karena aku hidup di bawah hukum Kristus, supaya aku dapat memenangkan mereka yang tidak hidup di bawah hukum Taurat. (22) Bagi orang-orang yang lemah aku menjadi seperti orang yang lemah, supaya aku dapat menyelamatkan mereka yang lemah. Bagi semua orang aku telah menjadi segala-galanya, supaya aku sedapat mungkin memenangkan beberapa orang dari antara mereka. (23) Segala sesuatu ini aku lakukan karena Injil, supaya aku mendapat bagian dalamnya.
Sebagai orang Kristen, kita adalah orang yang sudah dibenarkan dan karena itu kita terikat dan terarah kepada Kristus. Tetapi bersamaan dengan itu, kita adalah orang yang hidup dalam dunia di mana Iblis masih bekerja dan menggoda kita. Iblis masih berusaha menarik kita. Kita masih sering jatuh dalam dosa. Kita sudah dibenarkan, tapi masih sering jatuh dalam dosa.
Juga, sebagai orang Kristen kita adalah warga Kerajaan Allah dan sekaligus kita adalah warga kerajaan dunia (warga negara). Kita bukan cuma harus tunduk pada aturan Tuhan, tapi juga tunduk pada aturan negara. Bagaimana kita mewujudkan sikap kita dalam dua ‘dunia’ itu. Sikap primer kita adalah: percaya bahwa Injil telah memberi kita kehidupan baru, karena itu hidup kita di dunia ini diarahkan untuk Injil. Kita boleh menaati segala sesuatu di dunia ini, tapi semua itu kita lakukan dalam ketaatan kita pada Injil. Jika ketundukan kita pada “aturan dunia” mencemarkan Injil, kita harus berpaling. Memang, dalam situasi ini kadang kita harus menghadapi resiko yang berat. Karenanya kita harus siap menderita demi ketaatan kita kepada Tuhan.
Dari perspektif pembenaran Tuhan, kita adalah orang merdeka dan tidak terikat kepada dunia ini. Kita juga tidak terikat pada manusia yang ada dalam dunia. Tetapi ini tidak berarti kita tidak perlu lagi patuh kepada sesama. Paulus dalam ayat 19 berkata: “Sungguhpun aku bebas terhadap semua orang, aku menjadikan diriku hamba dari semua orang, supaya aku boleh memenangkan sebanyak mungkin orang.”
Bagi Paulus, orang Kristen adalah orang yang bebas, orang yang sudah dimerdekakan oleh Tuhan. Kita sudah dimerdekakan (dibebaskan). Benar. Tetapi masih banyak orang yang kembali ke kehidupannya yang lama. Mereka merasa lebih nyaman dengan kehidupannya yang lama. Kita harus bangkit, seperti kata Paulus dalam Galatia 5:1, “…berdirilah teguh dan jangan mau lagi dikenakan kuk perhambaan!” Kita harus meninggalkan apa yang ada di belakang kita.
Jadi, kembali kepada kehidupan lama tidak pantas lagi kita lakukan. Tapi itu bukan berarti kita bebas dari tanggung jawab di dunia ini. Sebagai warga negara kita masih punya tanggung jawab terhadap sesama. Kita juga mesti tunduk pada pemerintah. Kita masih hidup di bawah peraturan-peraturan yang penting untuk kita junjung dan jalankan demi kebaikan bersama. Namun perlu diingat bahwa ketundukan kita pada hal-hal itu didasarkan pada prinsip: Segala sesuatu ini aku lakukan karena Injil (ayat 23)! Bukan dengan tujuan supaya kita disenangi, tapi supaya Injil dapat disampaikan. Supaya Injil dapat diterima. Lagi pula ketundukan kita pada aturan-aturan yang ada dapat menjadi jalan bagi kita untuk mengasihi sesama, menghargai sesama dan memperhatikan perasaan dan cara berpikir orang lain.
Injil tetap harus diberitakan, sebab Injil membawa kita kepada keselamatan Tuhan. Injil ada supaya kita hidup. Kalau begitu, maka pada tempatnyalah kalau hidup kita diarahkan kepada Injil. Pada tempatnya juga kalau kalau kita mengajak orang lain untuk mengenal dan hidup seturut Injil. Dalam rangka itu, kita harus memperhatikan dan memperhitungkan konteks di mana kita berada. Kita harus mendengar dan menghargai pemikiran dari sesama kita. Dengan kata lain, kita yang harus memahami mereka terlebih dahulu, sebelum kita menuntun mereka kepada Injil. Kita harus menjadi hamba bagi mereka. Inilah maksud Paulus ketika ia berkata: “… aku menjadikan diriku hamba dari semua orang, supaya aku boleh memenangkan sebanyak mungkin orang!”