Belajar Menaklukkan Amarah

0
1179

Oleh: Pdt. Pinehas Djendjengi

 

 

Mazmur 37:1-8

(1) Dari Daud. Jangan marah karena orang yang berbuat jahat, jangan iri hati kepada orang yang berbuat curang; (2) sebab mereka segera lisut seperti rumput dan layu seperti tumbuh-tumbuhan hijau. (3) Percayalah kepada TUHAN dan lakukanlah yang baik, diamlah di negeri dan berlakulah setia, (4) dan bergembiralah karena TUHAN; maka Ia akan memberikan kepadamu apa yang diinginkan hatimu. (5) Serahkanlah hidupmu kepada TUHAN dan percayalah kepada-Nya, dan Ia akan bertindak; (6) Ia akan memunculkan kebenaranmu seperti terang, dan hakmu seperti siang. (7) Berdiam dirilah di hadapan TUHAN dan nantikanlah Dia; jangan marah karena orang yang berhasil dalam hidupnya, karena orang yang melakukan tipu daya. (8) Berhentilah marah dan tinggalkanlah panas hati itu, jangan marah, itu hanya membawa kepada kejahatan.

 

Amarah adalah salah satu biang dosa yang dapat membuat hidup manusia porak poranda. Amarah telah menjadi akar dari sebagian besar ketidakbahagiaan manusia. Hubungan antar suami istri, sahabat, rekan kerja, dan lain-lain, menjadi rusak karena amarah. Kadangkala sulit diperbaiki lagi.

Sebenarnya, tidak semua amarah itu jahat. Ada amarah yang sehat dan bermanfaat. Amarah jenis ini amat penting peranannya dalam menggerakkan manusia melawan kejahatan. Jadi, amarah tetap mengandung nilai positif ketika itu bertujuan baik. Misalnya, kita marah karena anak mencuri. Dengan bersikap marah, si anak disadarkan bahwa perbuatannya tidak dapat dibenarkan. Tapi, awas, jangan sampai amarah orang tua tidak terkendalikan. Ini bisa berbahaya juga.

Yesus sendiri pernah marah. Ketika murid-murid menghalang-halangi para ibu-ibu yang mau membawa anak-anaknya kepada Yesus, maka “Ia marah dan berkata kepada mereka: “Biarkan anak-anak itu datang kepada-Ku, jangan menghalang-halangi mereka, sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Allah” (Mrk. 10:14). Perhatikan, amarah Yesus muncul ketika ada orang yang menghalangi sesamanya (apalagi anak-anak) untuk masuk dalam Kerajaan Allah (lewat pertemuan dengan Yesus). Demikian juga ketika Yesus melihat praktek yang tidak benar di sekita Bait Allah, Ia marah dan membalikkan meja-meja penukar uang dan bangku-bangku pedagang merpati dan berkata kepada mereka: “Ada tertulis: Rumah-Ku akan disebut rumah doa. Tetapi kamu menjadikannya sarang penyamun” (Mat. 21:12-13). Rumah ibadah bukan tempat mencari untung.

Di dalam Markus 3:5 juga dikatakan bahwa Yesus “…..berdukacita karena kedegilan mereka,dan dengan marah Ia memandang sekelilingnya…” (Mrk. 3:5). Yang perlu diperhatikan di sini adalah bagaimana, dalam diri Yesus, amarah itu berpadu dengan dukacita, dengan kesedihan yang mendalam, dengan kepahitan yang menyakitkan. Dari situ kita dapat membedakan amarah yang dapat dibenarkan dan amarah yang dapat menjerumuskan. Amarah yang lahir karena kepedihan moral adalah amarah yang positif. Sebaliknya, amarah yang muncul karena panas hati, iri hati, dan kebencian pribadi adalah destruktif. Kalau kita marah karena iri dan benci, pemazmur memberi peringatan, “Jangan marah karena orang yang berbuat jahat, jangan iri hati kepada orang yang berbuat curang, sebab mereka segera lisut seperti rumput yang layu dan seperti tumbuh-tumbuhan yang hijau” (Mzm. 37:1-2). Selanjutnya pemazmur pun mengatakan, “Percayalah kepada TUHAN dan lakukanlah yang baik, diamlah di negeri dan berlakulah setia, dan bergembiralah karena TUHAN; maka Ia akan memberikan kepadamu apa yang diinginkan hatimu. Serahkanlah hidupmu kepada TUHAN dan percayalah kepada-Nya, dan Ia akan bertindak” (Mzm. 37:3-5).

Juga, seandainya kita marah karena panas hati, pemazmur menghimbau, “Berhentilah marah dan tinggalkanlah panas hati itu, jangan marah, itu hanya membawa kepada kejahatan” (Mzm. 37:8). Marah karena panas hati hanya membuahkan perasaan puas sesaat, lalu selanjuntnya kita akan menuai hasilnya yang menghancurkan kehidupan kita.

Paulus juga pernah berpesan, “Apabila kamu menjadi marah, janganlah kamu berbuat dosa … dan janganlah beri kesempatan kepada Iblis” (Ef. 4:26-27). Boleh marah tapi jangan sampai berdosa. Mungkinkah? Ya, mungkin. Jalannya adalah: kita dapat marah tanpa berbuat dosa ketika kita hanya marah terhadap dosa. Termasuk dosa dalam diri kita sendiri. Inilah ukuran utama kita dalam mengendalikan diri terhadap amarah. Terhadap segala sesuatu yang mengarah kepada kepada dosa kita boleh marah. Yang lain dari itu, lebih baik kita mengendalikan diri, dan menaklukkan amarah kita.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here