Oleh: Pdt. Pinehas Djendjengi
Imamat 23:26-32
(26) TUHAN berfirman kepada Musa: (27) “Akan tetapi pada tanggal sepuluh bulan yang ketujuh itu ada hari Pendamaian; kamu harus mengadakan pertemuan kudus dan harus merendahkan diri dengan berpuasa dan mempersembahkan korban api-apian kepada TUHAN. (28) Pada hari itu janganlah kamu melakukan sesuatu pekerjaan; itulah hari Pendamaian untuk mengadakan pendamaian bagimu di hadapan TUHAN, Allahmu. (29) Karena setiap orang yang pada hari itu tidak merendahkan diri dengan berpuasa, haruslah dilenyapkan dari antara orang-orang sebangsanya. (30) Setiap orang yang melakukan sesuatu pekerjaan pada hari itu, orang itu akan Kubinasakan dari tengah-tengah bangsanya. (31) Janganlah kamu melakukan sesuatu pekerjaan; itulah suatu ketetapan untuk selama-lamanya bagimu turun-temurun di segala tempat kediamanmu. (32) Itu harus menjadi suatu sabat, hari perhentian penuh bagimu, dan kamu harus merendahkan diri dengan berpuasa. Mulai pada malam tanggal sembilan bulan itu, dari matahari terbenam sampai matahari terbenam, kamu harus merayakan sabatmu.”
Damai itu indah, jika kita dapat mewujudkannya. Indah bagi diri sendiri, sesama dan, tentu juga, bagi Tuhan. Damai adalah situasi tanpa sengketa, konflik, iri hati dan kebencian. Hampir semua orang mendambakannya. Dan karena itu juga, hampir semua orang membicarakannya. Di sini kita tiba-tiba diperhadapkan dengan masalah yang muncul dari ‘penyakit’ kronis manusia. ‘Penyakit’ apakah itu? Penyakit apalagi kalau bukan penyakit ngomong doang. Damai tidak akan terwujud hanya dengan bicara, yang diperlukan adalah tindakan. Bertindak untuk perdamaian tidaklah mudah, bahkan kadang terasa sulit. Sebegitu sulitnya sehingga banyak orang yang membiarkan sengketanya tetap ada. Tidak ada keinginan untuk menyelesaikannya secara damai.
Allah melihat gejala itu dalam kehidupan umat Israel. Manusia tidak dapat menahan amarahnya ketika disakiti. Jika dilecehkan maka pembalasan harus dilakukan, yang kaya menindas yang miskin, dst. Hukum Tuhan selalu dilanggar. Keadaan seperti itu tidak disukai oleh Allah. Yang ia inginkan adalah hidup berkasih-kasihan dan ketaatan kepada-Nya, bukannya kekacauan. Itulah sebabnya Ia menetapkan Hari Pendamaian (yaitu hari ketujuh, bersamaan dengan hari sabat) bagi umat-Nya. Pada hari itu setiap orang Israel harus merendahkan diri di hadapan Tuhan dan tidak diperkenankan melakukan pekerjaan. Barangsiapa tidak mengindahkannya maka hukuman Tuhan akan ditimpakan atasnya. Ia akan dilenyapkan agar tidak mencemari umat yang lain. Begitu pentingnya pendamaian bagi Tuhan sehingga Ia harus menetapkan hari khusus untuk itu. Ia serius dengan hari itu, siapa yang melanggarnya dibinasakan.
Pada masa selanjutnya Allah masih serius dengan perdamaian. Sekalipun dosa manusia terus bertambah, Ia masih menghendaki perdamaian di antara manusia. Ia serius bahkan bertambah serius, di mana Ia sendiri harus datang mendamaikan manusia melalui anak-Nya Yesus Kristus. Dalam Yesus Ia ‘bergulat sekuat tenaga’ untuk melawan kejahatan. Pergulatan itu ia menangkan bersamaan dengan kebangkitan Yesus Kristus pada hari yang ketiga. Dan hari itu kita peringati sekarang sebagai Hari Minggu. Bagi kita, hari Minggu adalah hari pendamaian Allah, hari di mana kita merayakan penebusan dan kebangkitan Yesus. Kita harus datang dengan merendahkan diri di hadapan-Nya. Kita juga harus sanggup melepaskan pekerjaan kita sehingga dapat datang beribadah. Bukankah pekerjaan sering menghambat kita untuk datang beribadah pada hari Minggu? Lagi, bukankah karena pekerjaan sebagian orang malah mulai menyepelekan hari Minggu? Sadarilah bahwa Tuhan tetap serius dengan hari pendamaian-Nya. Keseriusan-Nya telah dinyatakan oleh Yesus sendiri, bahwa siapa tidak mengakui-Nya akan binasa. Mengakui Dia salah satunya adalah dengan datang merayakan tindakan penebusan-Nya pada hari Minggu.
Apakah dengan mengakui penebusan atau pendamaian Yesus kita lantas diselamatkan? Belum. Kita harus bertindak mewujudkan pendamaian itu dalam kehidupan kita sehari-hari. Kita harus mewujudkan damainya Kristus di tengah keluarga jika muncul sengketa atau apa pun yang menimbulkan perseteruan. Kita harus dapat mewujudkannya karena hanya dengan begitu kita betul-betul hidup sebagai orang yang menerima pendamaian Allah. apakah kita merasa sulit mewujudkannya? Datanglah kepada Tuhan dengan merendahkan diri. Berilah waktu kepada-Nya sehingga kita dapat datang beribadah dan menerima penguatan-Nya, maka kita akan dimampukan. Janganlah menjauhkan diri dari ibadah agar kita tidak menjadi serupa dengan dunia ini, lalu binasa. Datanglah kepada-Nya sebelum terlambat, terimalah pendamaian-Nya. Lalu, wujudkanlah itu dalam hidup bersama sebelum semuanya terlambat.