Pdt. Weinata Sairin:”Gula plures interemit quam gladius: Kerakusan itu (dapat) membinasakan lebih banyak hal dibandingkan dengan pedang”.

0
1667

 

 

Kata “rakus” sudah sejak lama kita kenal dengan akrab. Pada masa kecil orangtua kita lebih banyak menggunakan kata itu untuk binatang. Misalnya ‘tikus itu amat rakus, semua yang ada di lumbung padi di makannya. Bukan hanya padi dengan bulir yang bernas tapi ada buah-buah yang disimpan disitu habis dimakan oleh tikus-tikus itu’. Pada perkembangan selanjutnya ternyata penggunaan kata “rakus” mengalami perubahan cukup besar. Kata itu digunakan juga untuk manusia. Seseorang yang melahap makanan apa saja dan dalam jumlah yang besar maka orang itu dikatakan “rakus”. Ketika perbuatan korupsi sudah merajalela maka seseorang yang sudah cukup kaya, berpenghasilan besar, tetapi tetap juga memiliki hasrat korupsi yang meluap-luap, maka orang itu disebut “rakus”. Apa sebenarnya makna kata “rakus” itu ?

 

Menurut buku “Logat Ketjil Bahasa Indonesia”, WJS Poerwadarminta, JB Wolters, Groningen, Djakarta, 1951, kata “rakus” diartikan dengan “suka makan apa djua”. Pada zaman itu kata “rakus” lebih dimaknai dalam konteks makanan, utamanya dihubungkan dengan sikap seseorang yang “suka makan apa saja”. Seorang yang rakus dalam kaitan ini tidak mempertimbangkan jenis makanan, kuliner dari daerah mana, menu yang spesial. Ia melahap makanan apa saja dan dalam ukuran yang amat bebas.

 

Dalam KBBI kata “rakus” diberi beberapa makna yaitu “suka makan banyak dengan tidak memilih; lahap; gelojoh;” dan arti yang lain “ingin memperoleh lebih banyak dari yang diperlukan; loba, tamak, serakah”. Dari beberapa definisi yang disebutkan diatas menjadi amat jelas bahwa seseorang yang rakus adalah seseorang yang tidak merasa puas dengan apa yang sudah ia miliki, sebab itu ia tergoda terus untuk menambah apa yang sudah ada itu tanpa batas dan dengan cara yang acap kali melawan hukum serta menafikan ajaran agama.

 

Sifat rakus memang punya dampak yang negatif dalam kehidupan dimanapun dan pada level apapun. Orang rakus selalu merasa tidak cukup dan tidak puas dengan apa yang sudah dimiliki. Bisa saja terjadi dalam sebuah komunitas orang yang rakus itu mengambil jatah orang lain di komunitas itu sehingga ada yang berlebihan sementara orang lain tidak mendapat sesuatu apapun. Orang yang berfikir tentang hidup yang ‘sederhana’ atau ‘ugahari’ tidak pernah berfikir tentang rakus, loba atau tamak. Orang seperti itu sudah bahagia dan bersyukur dengan apa yang ia miliki apalagi kesemuanya diperoleh dengan cara yang halal dan tidak menyalahi ketentuan perundangan. Pola pikir konsumtif dan tidak bersyukur terhadap apa yang telah Tuhan anugerahkan seringkali membawa orang pada sikap rakus, loba, tamak dan meningkatnya nafsu berkorupsi, bahkan mendorong lahirnya perilaku kriminalistik.

 

Menarik sekali bahwa pepatah yang dikutip diawal bagian ini membuat semacam “analogi” antara *kerakusan* dengan *pedang*. Bagaimana mungkin dua hal itu bisa dibuat semacam kesejajaran : kerakusan dan pedang ? Secara tekstual agak sukar difahami. Namun pepatah ini ingin mengingatkan kita bahwa dalam kasus tertentu dampak negatif dari sifat rakus itu bisa lebih besar dari sebuah pedang. Kerakusan adalah bagian dari kedirian manusia yang acap sukar dikendalikan, berbeda dengan pedang; setajam apapun ayunan sebilah pedang bisa dihentikan oleh sikap eling dan kecerdasan manusia! Kita semua umat beragama yang saleh dan memiliki energi devosi yang kuat kepada Tuhan adalah umat yang faham akan makna ugahari, makna pengendalian diri. Apalagi Saudara-saudara kita yang tengah menjakankan ibadah Puasa, mempraktekkan ugahari dan pengendalian diri itu secara nyata. Kita amat respek dengan hal itu. Mari terus kembangkan sikap ugahari dan jauhkan sifat rakus dari kehidupan kita.

 

Selamat Berjuang! God bless.

 

Oleh: Pdt. Weinata Sairin

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here