Pdt. Weinata Sairin: “Cari Deo nihilo carent: Yang mencintai Tuhan tidak akan kekurangan apapun”

0
2168

 

 

Negara Kesatuan Republik Indonesia(NKRI) adalah sebuah *negara beragama*. Ya negara beragama, dan _bukan negara agama_. Penggunaan awalan “ber” disini amat amat penting. Negara Beragama, adalah sebuah negara yang keseluruhan warganya menganut agama, percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian Negara Beragama adalah sebuah negara yang memberi tempat sentral bagi agama-agama, yang mengapresiasi agama-agama, yang memberi jaminan dan perlindungan bagi keseluruhan warganya untuk memeluk dan beribadah menurut ketentuan agamanya masing-masing. Sedangkan Negara Agama adalah sebuah negara yang diatur menurut ketentuan dan peraturan sesuatu agama, yang menempatkan warga negara yang berbeda agama dari agama yang menjadi dasar pengaturan negara tersebut, pada posisi warga negara kelas dua.

 

Tatkala para Bapak Bangsa menetapkan Pancasila sebagai dasar negara maka sejak itu pemikiran tentang Negara Agama dalam konteks NKRI yang majemuk berakhir dan Pancasila adalah sesuatu yang final dan definitif sebagai dasar dalam kehidupan kita membangsa dan menegara.

 

Dalam sebuah NKRI yang majemuk, yang berdasarkan Pancasila tidak dikenal istilah “agama resmi”, ” “agama yang diakui” atau “agama negara”. Agama-agama yang berjumlah enam yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Khonghucu selalu dikatakan oleh Menteri Agama adalah agama yang (bisa) dilayani oleh Pemerintah. Menarik oleh karena istilah yang dipilih oleh Pak Menag adalah “agama yang bisa dilayani oleh Pemerintah”. Secara sadar tidak digunakan istilah agama “yang diakui” atau istilah lain yang kandungan artinya setara dengan “diakui”.

 

Dari istilah yang digunakan Pak Menag secara implisit memang dikesankan bahwa sebenarnya di Indonesia tidak hanya ada enam agama itu saja. Dalam Penjelasan Penetapan Presiden RI Nomor 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama disebutkan sebagai berikut : “Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia : Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu (Confucius). Ini tidak berarti bahwa agama-agama lain, misalnya : Yahudi, Zarazustrian, Shinto, Thaoism dilarang di Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan oleh Pasal 29 ayat 2 dan mereka dibiarkan adanya asal tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan ini atau peraturan perundangan lain ”

 

Dokumen PNPS 1965 yang dikeluarkan di Jakarta tanggal 27 Januari 1965 ini menggambarkan bahwa ada kemajemukan agama di Indonesia yang merupakan ciri penting dari sebuah keindonesiaan. Dalam NKRI yang berdasarkan Pancasila yang sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa maka semua warga negara, terlepas dari agama apa pun yang dianut, adalah warga yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, bukan warga yang atheis.

 

Secara umum kita patut bersyukur karena Pemerintah memberikan pelayanan standar bagi agama-agama melalui Ditjen Agama yang ada di Kementerian Agama, menjadikan hari-hari raya keagamaan sebagai hari libur nasional dan berbagai bentuk pelayanan lainnya, yang memang memerlukan peningkatan dari waktu ke waktu. Lembaga-lembaga keagamaan di tingkat nasional : MUI, PGI, KWI, PHDI, WALUBI, MATAKIN selama ini cukup solid dalam melalukan program internal bagi agama-agama, demikian juga dalam upaya pemantapan kerukunan dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.

 

Pepatah yang dikutip diawal bagian ini menyebutkan bahwa orang yang mencintai Tuhan tidak akan kekurangan apapun. Mencintai Tuhan berarti menaati perintahNya, menjauhi laranganNya. Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang berTuhan semestinya adalah bangsa yang mencintai Tuhan, bangsa yang taat kepada perintahNya. Bangsa yang religius seperti ini sejatinya adalah bangsa yang tidak akan kekurangan apapun. Bangsa yang kuat, teguh, bersatu dan yang cukup. Mari wujudkan realitas itu dalam kenyataan praksis.

 

Selamat Berjuang. God Bless.

 

Weinata Sairin.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here