Pdt. Weinata Sairin: “It is not the magnitude of our actions but the amount of love that is put into them that matters” (Bunda Theresa)

0
1270

 

 

 

Ciri penting dari manusia adalah bahwa ia sosok yang bertindak. Sosok yang bergerak. Sosok yang dinamik dan merespons. Bukan sosok yang diam, duduk manis dan apatis terhadap dunia sekitar. Dulu di zaman agraris, masih kuat berlaku “alon-alon asal kelakon”. Ya sabarlah menunggu musim penghujan, baru menebar bibit, dan menunggu beberapa lama untuk jenis tanaman tertentu, sudah bisa memanen hasilnya. Di zaman modern, di era serba digital, berlaku pemeo “siapa cepat, ia dapat” atau lebih tegas lagi “siapa yang datang terlambat, hanya mendapat tulang-tulang”. Zaman modern, peradaban makin maju, dunia mengalami percepatan teknologi, ada banyak kosa kata baru yang diperkenalkan kepada masyarakat. Di era reformasi misalnya media cetak memperkenalkan istilah “genocide” atau “genocida”, “religious cleansing”.

 

*Genocide* atau genosida adalah “pembantaian besar-besaran secara sistematis terhadap satu suku bangsa atau kelompok dengan maksud untuk membuat punah bangsa tersebut”. Istilah tersebut baru mulai dikenal sejak tahun 1944 tatkala Raphael Lemkin (1900-1959) pengacara Yahudi Polandia mencoba mnggambarkan kebijakan pembantaian sistematis oleh Nazi termasuk pembinasaan kaum Yahudi Eropa. Istilah “genocide” bermula dari kata Yunani : _geno_ yang berarti ras, suku dan kata Latin _sida_ yang berarti pembantaian.

 

Pada saat reformasi itu istilah genocide, religious cleansing diperkenalkan dan dicoba untuk memberi peringatan agar tak ada upaya genocide/religious cleansing di negeri ini. Pada saat audiensi pimpinan PGI kepada Panglima TNI di Cilangkap 7 Januari 2000 pimpinan PGI memberi masukan agar istilah-istilah yang tidak dikenal dalam tradisi kehidupan bangsa, tidak dipopulerkan; dan Panglima menyambut baik masukan itu. Kondisi pada saat itu juga tidak kondusif bagi NKRI yang majemuk sebab dalam aksi demo di Jakarta ditemukan selebaran ajakan untuk lakukan _sweeping_ terhadap etnik dan agama tertentu di sekitar Jakarta sebagai dampak dari “kerusuhan Ambon”.

 

Pada kesempatan bertemu Panglima itu juga pimpinan PGI memberi masukan agar sweeping berdasarkan agama tidak dilakukan karena akan membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa. Sweeping seperti itu ikut dimudahkan karena KTP mencantumkan kolom agama! Audiensi itu ditindaklanjuti dengan surat MPH PGI kepada Panglima No. 0060/PGI-XII/2000 tanggal 21 Januari 2000. Dalam beberapa minggu ini ada istilah baru yang populer di media sosial yaitu _persekusi_. Istilah ini berasal dari kata Inggris _persecution_ yang diterjemahkan ‘penyiksaan, penganiayaan, penghambatan’. Dalam media sosial istilah “persekusi” dimaknai “perburuan manusia untuk dihakimi semena-mena”.

 

Ada perbedaan signifikan antara terjemahan “persecution” dengan pemaknaan kata “persekusi”. Bagi mereka yang mempelajari sejarah perkembangan agama Kristen amat jelas bahwa pada abad-abad pertama para penginjil/evangelis mengalami *persecution*, mereka mengalami penganiayaan hebat bahkan hingga mengalami kematian dan mereka semua disebut “martir”.

 

Kata “martir” berasal dari kata “martyr” bahasa Yunani yang berarti saksi. Istilah “martir” kemudian dimaknai sebagai “orang yang mati/dibunuh dalam menyaksikan iman Kristen”. Ada baiknya para ahli bahasa kita merumuskan lebih kuat dan tajam makna kata ‘persekusi’ dengan tetap mempertimbangkan terjemahan kata “persecution” yang sudah begitu lama digunakan dalam literatur bahasa  Inggris.

 

Menarik sekali untuk menghayati pemikiran Bunda Theresa sebagaimana dikutip dibagian awal tulisan ini. Bagi Bunda yang penting manusia itu melakukan tindakan/action dengan *the amount of love* dengan sejumlah energi cinta, roh dan nafas cinta kasih yang kuat. Bukan besarnya tindakan yang menjadi ukuran tetapi dalam tindakan yang kecil ada cinta kasih yang besar. Dalam sebuah dunia yang makin gaduh oleh banyak hal yang sebenarnya merendahkan hakikat manusia dan mereduksi kemajuan peradaban, menyalakan dan mengobarkan api cinta kasih menjadi amat penting untuk dilakukan. Sikap arkhaistis, barbar, genocide, persecution telah menjadi bagian dari the dark ages di zaman baheula. Kita hidup dalam zaman cinta kasih sekarang ini menyongsong akhir sejarah.

 

Selamat Berjuang! God Bless.

 

Oleh: Pdt. Weinata Sairin

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here