Oleh: Pdt. Weinata Sairin
Dalam kehidupan keseharian kita “anak kecil” tidak selalu mendapat ruang, terutama dalam konteks sebuah komunitas yang terdiri dari orang-orang dewasa. Bahkan istilah “anak kecil” acap memiliki konotasi yang bernuansa merendahkan, untuk tidak mengatakan melecehkan. Acap kita dengar pernyataan : “Ah kau anak kecil, tahu apa dalam soal ini. Ayo cuci kaki dan pergi tidur”. Sering juga kita dengar pernyataan “Anak kecil duduk manis saja, tak usah macam-macam”. Pernyataan seperti itu mengekspresikan dengan jelas bahwa anak kecil itu adalah “sesuatu yang lain, yang memiliki dunia sendiri”. Hakikat anak kecil dengan pikiran-pikiran imajiner dan elaboratif tidak mendapat pengakuan dari orang dewasa. Itu gambaran umum dan acak seputar bagaimana posisi anak realitas keseharian kita. Bisa jadi hal yang diungkapkan diatas adalah sebuah kasus.
Dalam institusi keagamaan yang bernama Gereja, anak-anak mendapat perhatian yang khusus. Berbekal pemahaman teologi Kristen bahwa anak-anak adalah ‘pewaris kerajaan surga’ dan sebab itu punya makna strategis dalam komunitas, maka lembaga Gereja melakukan berbagai program bagi anak dan program tersebut secara struktural berada dalam kendali manajemen Gereja baik ditingkat lokal, regional dan nasional. Lembaga-lembaga keagamaan agaknya kesemuanya memiliki program ‘bina anak’ dengan menyadari bahwa anak adalah aset masa depan.
Kita bersyukur bahwa perhatian dan concern kepada anak makin menguat dalam beberapa waktu terakhir ini diberbagai level dengan didukung oleh adanya berbagai regulasi yang berfokus pada anak. Adanya perhatian serta regulasi yang terfokus pada anak dalam kenyataan empirik membuktikan bahwa anak memiliki posisi penting dan strategis.
Memang kita bersedih dan amat prihatin dengan berbagai kasus yang dialami anak-anak dalam beberapa tahun terakhir. Ada kasus penculikan, kejahatan seksual, eksploitasi dibidang ketenagakerjaan, dan berbagai kasus lainnya yang berdampak besar pada kepribadian dan masa depan anak. Kita apresiasi lembaga-lembaga yang peduli terhadap anak misalnya Komnas Anak yang tidak saja lantang menyuarakan hak-hak anak tetapi juga melakukan ikut serta turun tangan membantu mencari solusi terbaik terhadap berbagai kasus yang dialami anak. Kegigihan Kak Seto dan bang Ariest Merdeka Sirait dalam membela kepntingan anak sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan patut diacungi jempol. Lembaga-lembaga seperti KPAI, parlemen, LSM yang mengkhususkan diri dalam perlindungan dan pemajuan anak bersama seluruh potensi yang ada dalam masyarakat harus makin meningkatkan kemampuan bersinergi agar kasus-kasus yang berhubungan dengan anak dapat diperkecil jumlahnya.
Zaman ini tatkala kebenaran berharga mahal sekali, kejujuran makin langka dan ‘orang-orang baik’ dianggap ‘aneh’ maka pepatah yang dikutip dibagian awal tulisan ini menarik disimak bahkan membuat kita terhenyak. Mengapa *kebenaran* justru muncul dari anak-anak kecil? Dan bukan dari tokoh agama, politisi, aparat penegak hukum, budayawan, novelis tersohor, para filsuf…? Anak kecil adalah sosok yang lugu, mereka belum kenal eufemisme, belum kenal istilah ‘skenario’, ‘diplomatis’. Yang mereka lihat merah ya mereka katakan merah ; yang mereka lihat 6 ya mereka katakan 6. Takada manipulasi, mark up, mereka mengatakan sesuatu yang benar, yang apa adanya, apapun konsekuensinya.
Kita harus meneladani anak-anak dalam konteks ini, kita harus “dilahirkan kembali menjadi seperti anak-anak”. Mulut kita harus menyuarakan kebenaran, kita harus mengatakan ya diatas yang ya, dan tidak diatas yang tidak. Mari belajar tentang yang baik dari anak-anak; mari berjuang agar anak-anak kita hingga mereka dewasa tetap melakukan dan mengatakan kebenaran, tanpa takut.
Selamat berjuang. God bless.