Oleh: Pdt. Weinata Sairin
Dalam sebuah pertandingan, kita mengenal ada garis Start dan Finish. Start adalah lokasi pada saat pertandingan itu dimulai. Misalnya pada lomba lari, biasanya di lokasi Start itu semua peserta lomba bersiap untuk berlari dan ketika aba-aba diberikan oleh ketua panitia lomba atau orang yang ditetapkan untuk itu, maka seluruh peserta memulai lomba itu dengan berlari. Dalam berbagai kasus ada juga peserta yang ‘nakal’ dengan mencuri start! Para peserta menyiasati pengaturan nafas dengan baik agar bisa menang dan tiba di garis Finish. Finish adalah lokasi yang menunjuk batas akhir dari lomba lari tersebut. Seseorang yang berhasil mencapai garis finish tercepat, maka dialah yang dinobatkan sebagai pemenang.
Dari pengalaman, tidaklah mudah bagi seserorang untuk mencapai garis finish. Hal itu banyak tergantung pada pribadi tiap-tiap orang, faktor stamina, kondisi fisik tubuh, persiapan dan latihan, serta aspek-aspek lainnya. Selain faktor internal, faktor eksternal juga turut menentukan misalnya faktor supporter, kondisi jalan dan lain sebagainya.
Apabila kita menggunakan metafora *pertandingan* untuk menggambarkan sebuah kehidupan, maka kita kini berada ditengah jalan sesudah melewati garis Start dan menuju garis Finish. Ada banyak hambatan, tantangan, ancaman dan gangguan (HTAG) sebagai kendala yang secara konkret kita hadapi dalam menyusuri perjalanan menuju garis Finish. Bentuk dan bobot HTAG begitu bervariasi, tergantung pada zaman, tempat, konteks kesejarahan.
Setiap orang juga memberi respons yang beragam terhadap HTAG itu ; ada yang menganggapnya sebagai hal yang biasa dan dihadapi secara standar. Namun ada juga yang amat terpukul dengan apa yang ia hadapi sehingga membuat panik, stres bahkan depresi berat. Keragaman sikap dalam menghadapi HTAG ini memang ikut ditentukan oleh sikap mental tiap-tiap pribadi.
Tatkala kita sudah melewati garis Start maka sebenarnya kita sedang menuju garis Finish, yang dalam konteks kehidupan garis Finish itu sejatinya ditetapkan oleh Kuasa Yang Diatas. Oleh karena garis Finish itu ditetapkan oleh Kuasa Yang Diatas maka garis itu bisa saja *dekat* atau *jauh*; garis itu menjadi relatif bagi manusia dan juga rahasia namun definitif bagi Tuhan, Kuasa Yang Diatas. Walaupun usia harapan hidup orang Indonesia makin tinggi karena faktor ekonomi dan gizi yang makin baik, namun orang yang meninggal itu terjadi setiap saat dan tidak secara otomatis berkaitan dengan usia tua.
Acapkali terjadi, orang dalam usia muda dan produktif meninggal dengan mendadak. Sementara seorang yang sudah sepuh, uzur bahkan koma belum dipanggil oleh Tuhan. Untuk kasus seperti ini ada saja orang yang memberi tafsir simplistis bahwa orang muda yang meninggal karena dianggap sudah merampungkan tugas dengan baik sedangkan yang sepuh belum mendapat panggilan Tuhan karena ia dianggap belum sepenuhnya melakukan _taubat_ atau belum sungguh-sungguh melakukan _metanoia_ (pertobatan). Tapi itu semua tafsir simplisistis yang terkadang muncul dari lingkup grassroot.
Dalam perspektif agama-agama sudah amat jelas bahwa manusia adalah makhluk fana yang terikat dunia kematian, dan yang sesudah melewati fase kematian itu, seseorang memasuki dunia baru, yang dalam bahasa agama disebut *surga, nirwana*. Dan dalam era baru itu, manusia yang percaya kepada Allah akan memasuki fase kehidupan abadi. Pepatah kita memberi pengingatan bahwa kematian adalah batas akhir segalanya.
Pada saat kita hidup kita wajib berbuat kebajikan, memberi yang terbaik, menjauhkan hal-hal yang dilarang agama. Kematian adalah terminal yang penghabisan tatkala kita takbisa lagi berbuat apapun. Mari merajut karya terbaik selama ada nafas hidup.
Selamat Berjuang. God bless.