Telluris inutile pondus: Beban yang tanpa guna didunia

0
1412

Oleh: Pdt. Weinata Sairin

 

 

Kata “beban” adalah sebuah kata yang amat populer dalam kehidupan kita sehari-hari. Kata itu acap kita jumpai dalam kalimat “Sesudah memasuki masa tua *beban hidup* orang itu bertambah besar. Atau pada kalimat “Sesudah ia terpilih menjadi pemimpin _beban_ yang ditanggungnya amat berat karena selain melaksanakan janji pada saat kampanye, ia juga harus memberi fasilitas dan kompensasi tertentu bagi para pendukung”.

 

“Beban” adalah barang yang berat yang dibawa, dipikul atau dijunjung. “Beban” biasanya adalah muatan yang ditaruh di punggung kuda atau keledai atau binatang lain. Dalam pengertian yang sedikit lebih menukik, *beban* adalah “sesuatu yang berat yang harus dilakukan atau ditanggung”. Kita mengenal juga istilah “kuda beban” yaitu “seseorang yang selalu mengusahakan sesuatu untuk orang lain”. ‘Sesuatu’ itu bisa dana segar, fasilitas, upaya lobby/mediasi dan bentuk-bentuk lain yang konkret atau agak abstrak yang bisa ikut membantu kepentingan orang/organisasi lain. Dalam konteks kalimat-kalimat yang diungkapkan tadi, kata “beban” memang memiliki konotasi  yang bernuansa negatif.

 

Dalam kasus-kasus tertentu kata “beban” bisa bermakna positif yang memotivasi seseorang untuk mendedikasikan dan atau mendukung kesulitan yang digumuli orang/institusi lain. Hal itu nyata misalnya pada kalimat berikut. “Kami merasakan keprihatinan mendalam atas bencana alam yang terjadi. Kami *terbeban* untuk memberikan bantuan.” Kata “terbeban” disini berarti derita yang dialami oleh saudara-saudara yang terkena gempa itu adalah juga derita seseorang yang merasa terbeban tadi.

 

Oleh karena itu ia merasa terpanggil dan ikut bertanggungjawab atas penderitaan yang dialami orang lain yang disebabkan bencana alam. Dalam kehidupan civil society istilah “terbeban” cukup sering digunakan. Hal itu bisa difahami sebab dalam aktivitas yang dilakukan Civil Society dukungan (dana) dari mereka yang terbeban dan concern pada suatu jenis kegiatan, amat signifikan. Pada  kata “terbeban” ada nuansa spiritualitas, tatkala derita dan kesulitan orang lain difahami juga sebagai derita dan kesulitan kita sendiri. Nuansa spiritualitas dan philantrofis mewarnai kata “terbeban” dengan latar belakang itu melalui pengalaman praktis diketahui mengapa kata itu cukup mendapat ruang dalam dunia civil society.

 

Kata “beban” bisa secara kuat dan definitif mengacu pada konotasi yang agak negatif. Misalnya terungkap pada kalimat “Sesudah ia diberhentikan dari pekerjaannya karena kasus korupsi maka ia menjadi *beban* seluruh keluarga besar”. Menjadi beban artinya orang itu tidak lagi produktif, bahkan tidak lagi bermakna. Hidupnya tergantung pada bantuan dan belas kasihan orang lain. Orang yang menjadi beban karena berbagai faktor, bisa menimbulkan stres berkepanjangan bagi orang itu bahkan bisa berujung pada depresi berat. Oleh karena itu selain dilakukan pendampingan dan pendekatan psikologis/atau juga pendekatan pastoral maka perlu dicari jalan keluar agar seseorang tidak selamanya menjadi beban ekonomis bagi keluarganya.

 

Pepatah yang dikutip diawal bagian ini menyatakan tentang beban yang tanpa guna di dunia. Kita harus mengupayakan agar kita dan banyak orang tidak menjadi “beban yang tanpa guna didunia. Kita harus menjadi orang/komunitas yang produktif, mandiri, profesional dan tidak boleh menjadi beban, menjadi tanggungan pihak lain. Untuk itu faktor pendidikan amat penting bagi masyarakat kita. Kualifikasi intelektual, ketrampilan perlu dijadikan agenda utama bagi masyarakat kita agar mereka bisa mandiri dan tidak menjadi beban bagi orang lain.

 

Selamat berjuang. God bless.

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here