Oleh: Pdt. Weinata Sairin
Kata *saling*dalam bahasa Indonesia selalu dimaknai sebagai aktivitas yang dilakukan oleh dua pihak, secara timbal balik, berbalasan, ‘responsoria’. Pemaknaan itu terlihat jelas dalam kata-kata, contohnya a.l. : saling tolong menolong, saling memberi, saling mengasihi, saling menopang. Aktivitas itu tidak mungkin dilakukan hanya oleh satu pihak, satu orang saja. Makna yang terdapat pada kata *saling* tereduksi, bahkan terhilangkan apabila aktivitas yang disebutkan di atas tadi tdak dilakukan oleh dua pihak.
Banyak kata ‘ baku’ digunakan dalam kehidupan sehari-hari, misalnya ‘baku tembak’, ‘baku pukul’, ‘baku hantam’, ‘baku peluk’ dan sebagainya. Kata ‘saling’ dan ‘baku’ digunakan baik dalam konteks perbuatan negatif maupun perbuatan positif. Adalah sesuatu yang amat positif dan konstruktif apabila kosa kata ‘saling’ dan ‘baku’ digunakan lebih sering dalam sebuah komunitas, mulai dari keluarga hingga komunitas bangsa. Kesalingan dan kebakuan ini akan ikut mereduksi roh individualistis dan power egoistis yang acap menguasai kedirian manusia.
Relasi -relasi yang kita bina dalam institusi pernikahan akan makin hangat dan dilumuri cinta kasih sejati jika kesalingan dan kebakuan itu mrnjadi nafas dan spirit dari ikatan pernikahan kita. Demikian juga dalam merawat relasi harmonis pada komunitas besar, kesalingan dan kebakuan yang berdimensi positif akan sangat membantu memperkuat soliditas kita sebagai bangsa. Bukan saling hujat, saling hina, saling tuduh, saling nista, saling tuding yang dibutuhkan NKRI yang majemuk tetapi saling menghargai, saling menghormati, saling menolong, saling membantu, saling menopang, saling memahami kedirian masing-masing.
Agama-agama memberi imperatif yang jelas bagaimana manusia itu mesti hidup saling tolong menolong. Sejak awal penciptaan, ketunggalan manusia dirasakan kurang memadai, itulah sebabnya manusia kedua mesti diciptakan. Keduaan, bukan ketunggalan yang kemudian menjadi cikal bakal dari generasi umat manusia, yang hingga kini melewati masa ribuan tahun telah melahirkan sebuah mega peradaban.
Pepatah yang dikutip dibagian awal ini mengajak kita untuk hidup dengan saling mendoakan. Kosakata *doa* hanya dikenal dalam sebuah masyarakat yang beragama, masyarakat yang percaya kepada Tuhan, apapun agama mereka. Seorang yang ateis,yang menolak untuk percaya kepada Tuhan, secara teoretis tidak mengenal kosa kata *doa*. Doa adalah istilah agama, istilah teologi yang berdimensi sakral transendental.
Bangsa Indonesia selalu dinyatakan sebagai bangsa yang beragama dan para petinggi negeri selalu menyatakan bahwa 99 % lebih bangsa ini adalah para penganut agama. Itu berarti bangsa ini adalah bangsa yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, bukan bangsa *ateis*. Pepatah ini mengingatkan dan mengajak kita untuk saling mendoakan, sesuai dengan ketentuan agama kita masing-masing. Kita berdoa agar persaudaraan sejati diantara seluruh warga bangsa makin mewujud, kita berdoa agar para pemimpin kita dapat memimpin kita dengan semangat melayani dan mengayomi disertai sikap kenegarawanan yang tinggi, mendoakan seluruh elemen bangsa untuk bersama berkomitmen merawat NKRI yang majemuk berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945, mendoakan agar proses peradilan berjalan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan tidak tunduk pada intrvensi dalam bentuk apapun dan dari manapun. Mari saling mendoakan dan memberi yang terbaik bagi bangsa!
Selamat Berjuang. God Bless.