Oleh: Pdt. Weinata Sairin
Kehidupan manusia sebagai makhluk ciptaan Allah berada dalam dua kutub : kehidupan dan kematian. Manusia merajut karya terbaiknya diantara dua kutub itu, dengan berbagaj dinamika di dalamnya. Berapa jauh jarak yang mesti ditempuh dari kutub pertama ke kutub kedua itu, amat relatif. Semuanya tergantung kepada apa rencana Allah, Sang Khalik bagi setiap orang. Kita manusia tidak dalam posisi untuk mengetahui kepastian waktu tentang kapan dan berapa lama kita mesti tiba dipenghujung jalan, kapan kita *arrive*, kapan kita memasuki terminal yang penghabisan.
Kematian sejak awal adalah sebuah misteri yang tiada pernah terpecahkan dalam kalkulasi dan prediksi otak manusia yang serba terbatas. Seorang penyair, Isma Sawitri menulis tahun 1988 dengan cukup jernih tentang kematian dalam puisinya berjudul “Percakapan Tentang Mati”. “Hidup ini melesat,tapi bukan anak panah yang dihunjamkan/mati itu selesai, tapi bukan akhir dengan peluit panjang/antara banting tulang, berita perang dan gunjing ringan seharian/ kita terempas dan kita bercumbu/ dan kita berkemas-kemas menyongsong ketidakpastian baru…”
Puisi Isma Sawitri memberi perspektif baru bagi kita dari angle seorang penyair. Pandangannya tentang kematian tidak boleh dilihat dalam bingkai teologi, frame agama walaupun mungkin Isma secara implisit sudah menyertakannya. Ia memaknai ‘hidup’ sebagai sesuatu yang dinamik. Kata ‘melesat’ yang ia gunakan amat penting digarisbawahi. Bagi Isma “mati itu selesai” namun keselesaiannya itu belum penuh, karena takada peluit panjang.
Ada banyak aktivitas menyongsong kematian itu, banting tulang-bekerja keras, menikmati berita perang dan menggosip ringan. Isma mengingatkan adanya situasi berkemas-kemas menyongsong ‘kematian’ dan periode pasca kematian, yang ia sebut dengan ketidakpastian baru!
Dalam perspektif agama-agama, kematian itu jelas merupakan sebuah kepastian, sesuatu yang definitif. Aspek waktunya, yang relatif, sesuai dengan rencana dan ‘kairos’ Allah ( the time of God). Episode pasca kematian dari perspektif agama-agama juga sudah amat jelas, dan setiap orang sudah memahaminya melalui para pempimpin agama di berbagai level.
Sebagai umat beragama kita selalu dalam kondisi berkemas-kemas, siap siaga menanti waktu Allah, kapan Ia berkenan memanggil kita. Sementara nenanti panggilan itu kita diperintahkan agama untuk melakukan perbuatan baik, berbuat kebajikan, melakukan amal saleh, mewujudkan diakonia, dan bentuk-bentuk lain sesuai dengan agama kita. Kematian itu tidak memandang muka; kematian tidak mengenal SARA,; tidak mengenal pangkat, golongan, eselon; tidak mengenal darah : darah biru, darah muda, darah kaum uzur; tidak mengenal dinasti atau fraksi; tidak mengenal mayoritas-minoritas; tidak mempersoalkan agama, atheis, kafir; kematian akan datang tepat pada waktunya.
Pepatah yang kita kutip diawal bagian ini memberikan penegasan bahwa kematian itu memandang sama tongkat kekuasaan atau cangkul. Manusia yang sedang berada pada tampuk kekuasaan atau yang sedang bertani di ladang itu sama akan berhadapan dengan kematian. Urutan kematian tidak tergantung pada latarbelakang apapun, kompetensi, profesionalisme dsb tetapi sepenuhnya berada pada kuasa Allah, Khalik, Maha Pencipta. Mari kita menanti panggilanNya dengan menebar cinta kasih, mewujudkan
persaudaraan sejati, damai dengan semua orang.
Selamat Berjuang. God bless.