AMNESTY INTERNATIONAL INDONESIA: Jangan Lupakan Tragedi Penyerangan 27 Juli, Harus Diusut Tuntasj
Jakarta, Suarakristen.com
Memperingati Peristiwa Penyerangan Kantor PDI di Jakarta pada 27 Juli 1996, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan:
“Sudah 27 tahun berlalu namun masih banyak pertanyaan yang belum terjawab, siapa dalang penyerangannya, siapa yang harus bertanggung jawab, dan yang tidak kalah penting, mengapa tragedi ini belum juga diusut tuntas? Padahal sejak awal Reformasi negara telah memiliki sistem hukum untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat seperti penyerangan 27 Juli. Kalau tidak diungkap, maka peristiwa serupa bisa berulang.”
Kami mencermati pemerintah era awal Reformasi baru sebatas mengusut kasus ini melalui mekanisme hukum pidana biasa, bukan peradilan hak asasi manusia. Saat itu pemerintah sudah punya Undang-undang HAM dan UU Pengadilan HAM. Tapi jalan yang ditempuh malah peradilan koneksitas, dan aparat yang diperiksa hanyalah pelaksana lapangan, bukan pejabat-pejabat berwenang yang terlibat dalam rantai komando yang paling bertanggungjawab atas terjadinya penyerangan markas PDI itu. Itu pun berujung dengan vonis bebas.
Kami juga mencermati, Komnas HAM sendiri pernah menerbitkan laporan tak lama setelah peristiwa itu, yaitu 28 Juli dan 31 Agustus 1996. Itu adalah laporan awal yang penting karena secara jelas menyebutkan fakta-fakta korban tewas, luka, hilang dan yang ditangkap secara sewenang-wenang. Tapi sayangnya Komnas HAM belum menyelidiki peristiwa 27 Juli secara projustisia. Mungkin ini ikut berimplikasi pada tidak diakuinya peristiwa 27 Juli dalam pernyataan Presiden Joko Widodo terkait penyesalan negara atas 12 peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu.
Kenyataan itu menunjukkan bahwa upaya-upaya yang ada belum mampu menegakkan keadilan. Kasus ini masih jauh dari selesai. Maka negara tetap harus mengusut tuntas kasus tersebut demi mencegah berulangnya intervensi politik partai dengan cara kekerasan.”
*Latar belakang*
Peristiwa Penyerangan 27 Juli 1996 ditandai dengan penyerbuan kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia di Jalan Diponegoro Nomor 58, Jakarta. Saat itu, kantor DPP PDI yang dikendalikan oleh pendukung Megawati Soekarnoputri (Ketua Umum berdasarkan hasil Kongres Surabaya 1993), diserbu oleh kelompok pendukung Soerjadi (Ketua Umum berdasarkan hasil Kongres Medan 1996), yang didukung ratusan aparat kepolisian, demikian menurut dokumen laporan yang disusun Amnesty International.
Amnesty International pernah menerbitkan laporan atas penyerangan tersebut, hanya selang tiga hari setelah peristiwa, yaitu 30 Juli 1996. Dalam laporan awal itu, Amnesty International mengumpulkan data bahwa antara 206 hingga 241 orang ditangkap aparat keamanan setelah Penyerbuan 27 Juli. Lalu sedikitnya 90 orang luka-luka dan antara lima dan tujuh orang dilaporkan meninggal.
Setahun kemudian, pada Oktober 1997, Amnesty International kembali menerbitkan laporan terkait Penyerangan 27 Juli, kali ini menyoroti penangkapan para aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) maupun organisasi-organisasi afiliasinya, seperti Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI), Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) dan Serikat Tani Nasional (STN).
Mereka ditangkap dengan tuduhan terlibat dalam Peristiwa 27 Juli dan gerakan mereka juga dianggap menyerupai Partai Komunis Indonesia (PKI) yang terlarang, sehingga akhirnya mereka diadili dan dipenjara melalui Undang-undang Anti-Subversi dan pasal 154 KUHP tentang permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap Pemerintah. Menurut laporan media, sebelum 27 Juli, hampir selama sebulan para aktivis PRD turut dalam serangkaian orasi di halaman kantor PDI mengritik pemerintahan Orde Baru.
Berdasarkan hasil penyelidikan Komnas HAM yang diterbitkan pada 31 Agustus dan 12 Oktober 1996, tercatat lima orang tewas, 149 cedera (baik warga sipil dan aparat keamanan) serta sebanyak 136 orang ditahan (per 3 Agustus).
Komnas HAM juga menilai terjadi enam bentuk pelanggaran HAM dari kasus itu, yaitu pelanggaran asas kebebasan berkumpul dan berserikat, pelanggaran asas kebebasan dari rasa takut, pelanggaran asas kebebasan dari perlakuan keji dan tidak manusiawi, dan pelanggaran perlindungan terhadap jiwa manusia, juga pelanggaran asas perlindungan atas harta benda.
Sepanjang tahun 2002–2003, pemerintah menggelar pengadilan koneksitas untuk Kasus Kerusuhan 27 Juli. Namun pengadilan ini hanya menghadirkan para terdakwa yang bertanggungjawab di tingkat lapangan.
Menurut laporan media, pengadilan saat itu hanya mampu membuktikan seorang warga sipil bernama Jonathan Marpaung yang terbukti mengerahkan massa dan melempar batu ke kantor PDI. Ia dihukum dua bulan 10 hari. Sementara itu, dua perwira militer yang disidang, yaitu Budi Purnama dan Suharto, divonis bebas. (*)