Koalisi Sipil Ungkapkan Situasi Krisis Demokrasi di Indonesia

0
255

Koalisi Sipil Ungkapkan Situasi Krisis Demokrasi di Indonesia

Jakarta, Suarakristen.com

 

Koalisi sipil yang terdiri atas Public Virtue Research Institute (PVRI), Centra Initiative, dan Transparency International Indonesia, dalam diskusi bersama Profesor Bidang Politik dan
Pembangunan dari Universitas Oslo, Ole Tornquist (11/04/2022) mengungkapkan bahwa Indonesia
tengah berada dalam krisis demokrasi.

Direktur Eksekutif PVRI Miya irawati menyampaikan bahwa krisis demokrasi Indonesia terjadi akibat
maraknya pengabaian pemerintah terhadap aspirasi masyarakat serta minimnya ruang dialog dalam
pengambilan kebijakan. “Kebijakan kerap dianggap sebagai kebijaksanaan, namun prakteknya jauh
panggang dari api. Dalam catatan kami, setidaknya ada beberapa fenomena yang menunjukkan
bahwa aspirasi masyarakat kerap dinomor duakan. Dalam pengesahan Undang-Undang No.11/2020
tentang Cipta Kerja, tidak ada ruang bagi masyarakat untuk menegosiasi peraturan ini meski
gelombang penolakan terjadi dengan sangat begitu besar” ujar Miya.

Selanjutnya, merebaknya serangan kepada pejuang HAM dan keadilan sosial seperti yang terjadi di
Wadas dan Wawonii beberapa waktu lalu semakin mempersempit ruang korektif terhadap kebijakan
pembangunan. “Demokrasi melibatkan pembangunan berdasarkan keadilan sosial dan dewasa ini
juga kesetaraan lingkungan. Maraknya kekerasan terhadap para pejuang keadilan telah berdampak
pada pembangunan yang absen terhadap keadilan sosio-ekologis serta mempersempit ruang aspirasi
dan justru menciptakan teror sehingga warga takut berpendapat.”

PVRI juga menyoroti revisi UU Otsus Papua dan rencana pemekaran wilayah semakin menegaskan
pengabaian terhadap aspirasi Orang Asli Papua dan pengembalian kekuasaan terpusat.

“Revisi UU Otsus di Papua dan rencana pemekaran wilayah yang baru saja disepakati oleh Baleg DPR
Ri menunjukkan bahwa kebijakan politik di Papua cenderung mengarah pada resentralisasi. Sudah ada 7 demonstrasi penolakan dan gugatan yang dilayangkan Majelis Rakyat Papua terhadap kebijakan Jakarta,” pungkasnya.

Baca juga  Gubernur Larang Mendaki Gunung di Bali, Yerry Tawalujan: Bertentangan dengan Prinsip Pariwisata Berkelanjutan

Senada dengan hal tersebut, Muhammad Hafiz Direktur Centra Initiative menyampaikan perlu
adanya langkah transformatif dalam pengambilan kebijakan. “Proses transformasi untuk mendorong
praktik demokratisasi di Indonesia membutuhkan partisipasi yang luas dengan elemen masyarakat.
Tidak adanya agenda bersama dalam pembangunan berdampak pada kebijakan satu arah yang
membuat Indonesia berada dalam pusaran krisis demokrasi,” imbuhnya.

Muhammad Hafiz juga menambahkan jika pengambilan kebijakan yang menguntungkan segelintir
orang menjadi salah satu penyebab tidak terwujudnya agenda pembangunan bersama. “Salah satu
potret ril dari situasi ini adalah standar ganda kebijakan pandemi. Meskipun menetapkan status
darurat COVID-19, pemerintah tidak menghentikan kegiatan ekspansi kapital yang menuai protes dari
masyarakat terdampak. Pembatasan ruang yang dialami masyarakat tidak selaras dengan ekspansi
bisnis oleh segelintir kelompok” tambahnya.

Danang Widoyoko Sekjen Transparency International fndonesia mengingatkan bahwa salah satu
kondisi dari praktik baik kebijakan dil Indonesia adalah langkah pengawasan keuangan melalut
pembentukan lembaga anti-rasuah KPK. Namun, proyek bersama tersebut dianggap menuju
temaram.

Polemik pelemahan KPK hingga saat ini masih terus terjadi. Sejak KPK didirikan tahun 2003 hingga
saat ini, upaya-upaya pelemahan KPK terus saja terjadi. Setelah revisi Uu KPK pada tahun 2019, KPK
kemball dilemahkan secara struktural dengan tidak lolosnya 75 pegawai KPK pada saat Tes Wawasan
Kebangsaan (TWK). Para pegawai tersebut merupakan pegawai yang tidak perlu diragukan lagi soal
wawasan kebangsaannya. Selain itu, sebagian diantaranya merupakan penyidik yang terlibat
langsung dalam perngusutan kasus-kasus besar, ungkapnya.

Praktik pelemahan ini berdampak pada berkurangnya harapan serta ruang partisipasi masyarakat
untuk percaya dan antusias mencegah praktik koruptif di Indonesia, tutup Danang Widoyoko.

Dua dekade setelah reformasi di tahun 1999, demokrasi di Indonesia mengalami kemerosotan dan
berujung pada krisis. Catatan Public Virtue dalam beberapa studi terbaru menunjukkan kemerosotan
dalam berbagai indikator demokrasi yaitu; mobilisasi populis, perkembangan intoleransi, dan
semakin dalamnya sektarianisme (Mietzner dkk., 2018; Warburton dan Aspinall, 2019); semakin
tidak berfungsinya lembaga pemilihan dan perwakilan (Aspinall dan Sukmajati 2016;Muhtadi 2019);
kemerosotan kebebasan sipil (Marta dkk. 2019); dan perluasan alat-alat otoriter oleh eksekutif untuk
menekan oposisi dan membatasi kritik (Mietzner, 2019; Power, 2018).

Baca juga  Sambut Hari Bhayangkara ke-77 Tahun 2023, Polda Metro Jaya Bersih-bersih di Lingkungan Kerja

(Hotben)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here