Terima SK Kemkumham, Ketum DPP GMNI: GMNI Harus Berdiri Sebagai Intelectual Movement dan Jurubicara Zaman Baru
Jakarta, Suarakristen.com
Surat Keputusan (SK) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemkumham) Nomor AHU-0000510.AH.01.08 menetapkan kepengurusan DPP Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) periode 2019-2022. Berdasarkan SK tersebut Ketua Umum dijabat Arjuna Putra Aldino T dan Sekretaris Jenderal M Ageng Dendy Setiawan.
Menurut Arjuna Putra Aldino, dengan terbitnya SK (Kemkumham) merupakan sebuah bentuk kepastian dan ketegasan bahwa kepengurusan DPP GMNI hanya satu. Arjuna mengimbau semua pihak untuk tidak mengindahkan kabar burung tentang dualisme adanya GMNI. Arjuna juga berharap semua pihak menghormati keputusan Kemkumham.
Arjuna menegaskan, SK Kemkumham bersifat final dan mengikat seluruh DPC dan DPD yang berada di bawah naungan rumah besar GMNI. “Akan tetapi, SK bukan tolak ukur perjuangan. Masih banyak pekerjaan rumah yang mesti kita kerjakan,” ungkap Arjuna saat menyampaikan pidato politiknya bertajuk “Renungan Perjuangan Menyongsong Zaman Baru”, di Jakarta, Rabu (16/9/20).
Berikut kutipan lengkap pidato Arjuna:
Pidato Politik Ketua Umum DPP GMNI Arjuna Putra Aldino. T
“Renungan Perjuangan Menyongsong Zaman Baru”
Assalamualaikum Wr.Wb
Shalom
Om Swastiastu
Namo Budaya
Salam Kebajikan
Merdeka…!!!
GMNI.. Jaya..!!!
Marhaen.. Menang…!!!
Saudara-saudaraku seperjuangan..
Pertama-tama kita ucapkan Puji Syukur atas terbitnya SK Kemenkumham kepengurusan DPP GMNI. Dengan terbitnya SK ini, merupakan sebuah bentuk pernyataan yang jelas dan tegas bahwa kepengurusan DPP GMNI hanya ada satu kepengurusan. Kami menghimbau semua pihak untuk tidak mengindahkan kabar burung tentang dualisme GMNI. Kami berharap semua pihak menghormati keputusan resmi institusi negara, yakni Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagai pihak yang berwenang dan memiliki otoritas. Kami juga meminta kepada seluruh pihak untuk tidak membesar-besarkan dinamika kongres yang sudah terjadi. SK Kemenkumham bersifat final dan mengikat seluruh DPC dan DPD yang berada dibawah naungan rumah besar GMNI.
Akan tetapi, SK bukan tolak ukur perjuangan. Masih banyak pekerjaan rumah yang mesti kita kerjakan. Yang perlu kita renungkan dan pikirkan, saat ini kita bergerak dan mengelola organisasi di tengah situasi yang telah berubah. Yaitu dunia yang berada diambang Zaman Baru yang dimotori oleh kehadiran teknologi Revolusi Industri 4.0 yang bersifat exponential dan disruptive. Hampir semua ahli dan futuris memprediksi perubahan yang akan terjadi bersifat deep shift oleh karena itu juga perubahan tersebut menuntut pergeseran paradigmatik di hampir semua bidang kehidupan manusia.
Perubahan yang sedang berlangsung ini menempatkan bangsa-bangsa termasuk bangsa Indonesia berada di persimpangan jalan antara “kesadaran dunia lama” yang existing dan membangun “kesadaran baru” yang sangat berbeda dari yang sebelumnya. Pandemi global telah memicu perubahan besar-besaran dan sekaligus menjadi katalisator bagi berlangsungnya revolusi industri keempat. Namun yang tak kalah penting, kesadaran baru ini harus dibangun sedini mungkin tidak sekedar untuk menyambut manfaat dari kehadiran teknologi baru, tetapi yang lebih utama untuk kemaslahatan bangsa Indonesia. Karena bagi GMNI, apakah itu revolusi Industri, revolusi teknologi, revolusi digital, yang paling penting yakni berpusat pada manusia Indonesia, nilai-nilai, budaya dan tradisi “Ke-Indonesia-an sedapat mungkin tetap utuh.
Sistem sosial, politik dan ekonomi dunia hari ini yang telah membentuk kebijakan nasional dan global selama setengah abad yang telah mengangkat jutaan orang dari kemiskinan namun tetap saja mengecewakan. Manfaat ekonomi hanya dinikmati dan terkonsentrasi pada sebagian kecil populasi dunia. Ketidaksetaraan/kemiskinan dan ketidak-adilan justru meningkat. Eksternalitas negatif dari ekonomi global dan nasional secara bersamaan merugikan lingkungan alam dan populasi yang rentan; yakni mereka yang paling tidak mampu menyerap biaya kemajuan.
Manfaat ekonomi global dan kebijakan globalisasi keuangan yang didukung teknologi informasi dan komunikasi pada sisi ekstrimnya justru mengarah pada “sentralisasi kapital” pada level global dan nasional. Kekecewaan pada sistem sosial, politik dan ekonomi mengakibatkan kepercayaan publik terhadap institusi politik, bisnis, dan institusi internasional bahkan terhadap civil society telah jatuh pada titik terendah dimana lebih dari separuh populasi dunia merasa sistem yang berlangsung saat ini telah gagal. Kesenjangan yang melebar dalam “kepercayaan” diantara mereka penduduk yang berada di puncak pendapatan tertinggi dan penduduk berpenghasilan rendah telah menciptakan kohesi sosial yang sangat rapuh.
Rendahnya kepercayaan publik terhadap sistem yang berlangsung dan kehadiran teknologi disruptif yang semakin meminimalkan kesempatan meraih manfaat ekonomi, memunculkan “fenomena populisme” dengan berbagai variannya di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Di negeri ini, kepercayaan publik kepada institusi-institusi politik semakin parah karena politik yang seharusnya menjadi domain publik, justru di privatisasi atau mengalami privatisasi politik. Pembangunan demokrasi justru mengarah pada Polyarchy Electoralism.
Namun dengan segala tantangan yang ada, bukan berarti bangsa Indonesia tak punya peluang dan tak punya harapan. Dalam revolusi industri keempat, inovasi teknologi akan menghasilkan industri yang kecil, cerdas, banyak, murah, dan mudah direplikasi. Teknologi dengan ciri-ciri di atas akan mudah dipasarkan di pasar-pasar yang baru tumbuh.
Termasuk di negara-negara emerging market seperti Indonesia. Akan tetapi yang menjadi persoalan, meskipun perubahan- perubahan besar ini sudah banyak digambarkan oleh para ahli, para politisi belum ada tanda- tanda untuk merespons dan memprediksi masa depan yang akan dilaĺui. Para politisi itu juga belum memiliki narasi bersama untuk memetakan jalan menuju zaman baru itu.
Lantas pertanyaanya, What Is to Be Done?
GMNI sebagai “komunitas politik”, punya tugas untuk terus melakukan kegiatan yang dimaksudkan untuk membangun selapisan masyarakat yang sadar politik. Dalam arti masyarakat yang mampu memiliki cara pandang bahwa politik adalah sebuah proses bersama untuk menciptakan kesejahteraan bersama dalam sebuah wadah negara-bangsa dan membangun pula selapisan masyarakat yang memiliki perspektif global dalam melihat dinamika politik di tanah air.
GMNI harus berdiri sebagai intelectual movement yang tidak hanya tampil sebagai agitator lapangan menjadi juru pukul namun menjadi juru pikir, terutama menjadi juru bicara zaman baru. Hal ini semakin urgen ditengah kebuntuan ilmu-ilmu sosial dalam membedah permasalahan untuk mencari dan menemukan solusi jalan keluar. Untuk itu, tugas GMNI membentuk lapisan kekuatan intelektual dengan topangan pengetahuan yang memadai. Dengan kata lain, GMNI harus mengedepankan kekuatan pengetahuan (the power of knowledge) sebagai sumber daya politik dalam partisipasinya didalam ruang publik dan pengambilan keputusan politik negara. Seperti apa kata Michael Foucault, “Power is everywhere”, dalam tubuh intelektual terdapat kekuasaan untuk mengintervensi jalannya agenda-agenda politik dari negara.
Untuk itu, saya sebagai Ketua Umum DPP GMNI menghimbau kepada seluruh DPC dan DPD GMNI se-Indonesia agar dalam kerja-kerja organisasi dan kaderisasi berfokus pada penciptaan selapisan kelompok intelektual yang memandu, mengarahkan, serta mengonstruksi alam pikir masyarakat untuk menyongsong zaman baru.
Merdeka…!!!
***
(Ben)