* OVO yang digandeng Grab banyak digunakan sebagai metode pembayaran berbagai layanan online dan offline, sedangkan Go-Pay lebih banyak dimanfaatkan untuk futur-fitur Go-Jek
* Go-Food memimpin industri online food delivery, sedangkan GrabFood berusaha menyusul dengan cepat
* Kecurangan (fraud) menjadi ‘isu besar dalam industri ini karena menyebabkan kerugian besar. Berdasarkan studi yang dilakukan Spire Indonesia, diperkirakan 30% dari order Go-Jek terindikasi fraud, sementara Grab sekitar 5%
Jakarta, Suarakristen.com
Jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 265 juta jiwa pada 2018 berdasarkan perhitungan Badan Pusat Statistik tentu menjadi daya tarik tersendiri bagi pebisnis, terutama di industri transportasi. Sebab, populasi yang sangat besar itu jelas diiringi dengan angka kebutuhan konsumsi dan mobilitas yang tinggi pula.
Itu sebabnya, industri transportasi online (ride-hailing) tumbuh subur akhir-akhir ini. Banyak pemain bermunculan, meskipun saat ini hanya dua yang bertahan, yakni Go-Jek, start-up unicorn asal Indonesia dan Grab, perusahaan penyedia layanan ride-hailing terbesar di Asia Tenggara.
Seiring berjalannya waktu, persaingan antara Go-Jek dan Grab semakin sengit. Keduanya saling salip dalam mengembangkan Iayanan dan meningkatkan kualitasnya. Harapannya, tentu saja ingin memperoleh jumlah pengguna yang lebih banyak daripada pesaing. Namun, pada akhirnya konsumen yang menjadi penentu.
Spire Research and Consulting, salah satu perusahaan riset terkemuka global yang berpusat di Tokyo, Jepang, belum lama ini melakukan studi terhadap pengemudi dan konsumen untuk mencari tahu preferensi terhadap penyedia layanan transportasi online dari berbagai aspek, seperti consumer awareness, frekuensi penggunaan, dan preferensi dalam menggunakan layanan e-money1.
“Temuan paling menarik dari studi kami adalah adanya kecurangan (fraud) yang cukup besar dan bagaimana pandangan para pengemudi (driver) terhadap hal tersebut,” ungkap Jeffrey Bahar, Group Deputy CEO Spire Research and Consuiting, di Jakarta, Selasa (29/1).
Berdasarkan hasil survei “Consumers’ Awareness” yang dilakukan Spire Research and Consulting, 75% dan 61% responden menyebutkan bahwa Grab merupakan merek (brand) yang mereka gunakan dalam 6 dan 3 bulan terakhir. Sementara itu, 62% dan 58% responden memilih menggunakan Go-Jek untuk kategori yang sama dalam 6 dan 3 bulan terakhir.
Melihat data tersebut, konsumen lebih banyak menggunakan Grab, setidaknya hingga kuartal 4/2018. Sebanyak 34% pengguna GrabCar, salah satu layanan dari Grab, menyebutkan bahwa mereka menggunakan layanan itu sebanyak 3-4 kali per minggu. Sementara itu, 25% pengguna Go-Car cenderung hanya menggunakan layanan sebanyak 1-2 kali dalam seminggu.
Di kategori roda dua, Go-Ride masih menjadi pilihan utama pengguna transportasi online. Dari total responden yang memilih Go-Ride, sebanyak 64% menggunakannya hingga 1-2 kali sehari sedangkan pemilih GrabBike yang menggunakan 1-2 kali dalam sehari ada 58%.
Untuk layanan online food delivery, Go-Food masih memimpin. Sebanyak 35% responden menyebutkan bahwa Go-Food merupakan Iayanan yang paling sering mereka gunakan_ Sementara 27% responden menyatakan memilih GrabFood.
Tumbuhnya permintaan online food delivery tak lepas dari gencarnya promosi yang dilakukan oleh para penyedia platform pembayaran. Merujuk pada hasil survei, rupanya OVO, apiikasi pembayaran yang digandeng Grab, unggul dalam pembayaran online to offline (020), seperti untuk membeli pulsa dan pembayaran di gerai-gerai non-makanan.
Berbeda dengan OVO. Go-Pay, platform pembayaran milik Go-Jek, lebih sering digunakan di pembayaran kedai-kedai makanan-minuman (Go-Food) dan untuk membayar tagihan listrik melalui aplikasi Go-Jek.
Sayangnya, di tengah “gegap-gempitanya” bisnis transportasi online, tindak kecurangan (fraud) pun terjadi. Bahkan, dalam studi yang dilakukan Spire Research and Consulting, fraud di kalangan pengemudi (driver) sudah menjadi rahasia umum.
Fraud menjadi isu tersendiri. Di satu sisi, fraud dapat menyebabkan kerugian bagi penyedia platform transportasi online, di sisi lain juga menjadi koreksi atas lemahnya sistem yang mereka miliki.
Spire Research and Consulting memperkirakan sebanyak 30% dari order yang diterima Go-Jek terindikasi fraud. Angka itu cukup tinggi jika dibandingkan dengan persentase fraud Grab yang diperkirakan hanya 5%. Angka tersebut berdasarkan estimasi jumlah order fraud dibandingkan jum|ah total order yang diterima. ini merupakan masalah sistematis bagi kedua perusahaan dan terutama, permasalahan yang Go-Jek harus segera atasi.
“Perkiraan ini masuk akal karena kami juga melakukan survei terhadap para pengemudi transportasi online,” ungkap Jeffrey. “Di 2018, dari para pengemudi Go-Jek sendiri yang kami survei. 60% di antaranya mengaku pernah melakukan fraud untuk meningkatkan jumlah order mereka yang akan berpengaruh pada bonus dan pendapatan harian yang mereka terima.”
Para pengemudi Go-Jek yang pernah melakukan fraud itu mengatakan melakukannya karena menemukan celah yang dapat ditembus dalam sistem Go-Jek. Caranya, dengan menggunakan aplikasi yang dapat memodifikasi lokasi (mod). Di sisi lain, meski pengemudi Grab tak terbebas dari praktik fraud, namun jumlahnya lebih sedikit, yakni kurang dari 10%.
Para pengemudi Grab mengatakan ketatnya sistem keamanan di aplikasi Grab dapat mendeteksi adanya praktik nakal para pengemudi dan tegasnya sanksi yang dberikan oleh manajemen ditengarai mampu menjadi penghalau niat para pengemudi Grab untuk melakukan tunda kecurangan. Para pengemudi juga menyatakan bahwa kedua perusahaan berusaha untuk memperbaiki sistem mereka dalam mendeteksi fraud.
Saat ini, Grab dan Go-Jek sama-sama berkembang pesat, baik di ranah transportasi online maupun online food delivery, Tanah Air. Akan tetapi, perhatian khusus harus diberikan terhadap aspek fraud demi menjamin perkembangan teknologi dan industri yang sehat.
” Survei dilakukan terhadap 40 pengemudi dan 280 konsumen atau pengguna yang dipilih secara acak dalam skala nasional.