Said Iqbal (Presiden Partai Buruh): UU Cipta Kerja Omnibus Law Dikecam Pemerintah AS dan ILO

0
259

Said Iqbal (Presiden Partai Buruh): UU Cipta Kerja Omnibus Law Dikecam Pemerintah AS dan ILO

 

Jakarta, Suarakristen.com

 

 

Partai Buruh menggelar Konferensi Pers di Hotel Mega Proklamasi Cikini, Jakarta (Senin, 12 Juni 2023).

Dalam Konferensi Pers ini, Presiden Partai Buruh yang juga Presiden KSPI Said Iqbal  menyampaikan hal-hal sebagai berikut:

1. Penjelasan sikap pemerintah Amerika dan Serikat Pekerja Amerika yang menolak omnibus law UU Cipta Kerja dalam sidang ILO di Geneva, Swiss.

2. Penjelasan rencana akan dikirimnya Tim Pencari Fakta (direct contacts mission) dari ILO ke Indonesia terhadap omnibus law UU Cipta Kerja yang merugikan pekerja Indonesia

3. Rencana demonstrasi di KBRI di seluruh dunia menolak omnibus law UU Cipta Kerja yang diorganisir oleh Konfederasi Serikat Buruh Sedunia (ITUC)

4. Rencana audiensi Partai Buruh dan Organisasi Serikat Buruh ke Kedutaan Amerika di Indonesia perihal dukungan menolak omnibus law UU Cipta Kerja

5. Penjelasan rencana lanjutan gelombang aksi Partai Buruh dan organisasi Serikat Buruh di seluruh Indonesia untuk menolak omnibus law UU Cipta Kerja antara lain di Surabaya, Batam, Medan, Makassar, Banjarmasin, Mimika, dsb.

6. Penjelasan sikap Partai Buruh dan organisasi Serikat Buruh menolak RUU Kesehatan, PHK besar-besaran, judicial review UU Cipta Kerja, parliamentary threshol, dan presidential threshold.

Said Iqbal menyatakan masalah Omnibus Law ini sangat serius sekali, bisa berdampak pada sanksi ekonomi pada Indonesia, karena mendapat perhatian dari Pemerintah AS dan Uni Eropa. Karena itu Said Iqbal meminta Pemerintah Indonesia mencabut dan membatalkan UU Cipta Kerja Omnibus Law.

Berikut lampiran Pernyataan Sikap Anggota Pemerintah AS, Mr. Gertsen:

Anggota Pemerintah, USA (Mr. GERTSEN) – Kami berterima kasih kepada Pemerintah Indonesia atas penyediaan informasi tambahan kepada Komite ini mengenai pembaruan terkait

Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang juga dikenal sebagai Omnibus Law.

Pemerintah melaporkan berbagai langkah yang telah diambil untuk mengatasi kekhawatiran terkait undang-undang Cipta Kerja, termasuk upaya merevisi undang-undang Secara prosedural dan substantif melalui amendemen Undang-Undang No. 12 Tahun 2021 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan untuk mencakup ketentuan yang menjelaskan “model Omnibuslaw” dan proses partisipasi publik yang bermakna. Pemerintah juga mengindikasikan bahwa Undang-Undang No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menggantikan Undang-Undang No. 11 Tahun 2020. Kami juga mencatat bahwa undang-undang tersebut dikeluarkan melalui regulasi darurat, atau “Perppu”.

Kami mencatat adanya keprihatinan yang signifikan terkait proses pengembangan dan konsultasi, serta dampak terhadap hukum ketenagakerjaan yang ada. Kami juga mencatat laporan bahwa para pekerja terus menyuarakan kekhawatiran terkait perubahan dalam beberapa undang-undang.

Kami sangat prihatin bahwa perubahan hukum yang dilakukan oleh Omnibuslaw ini mengancam kebebasan berserikat pekerja Indonesia dan hak mereka untuk mengorganisir dan melakukan negosiasi secara kolektif.

Yaitu, kami mencatat bahwa peningkatan fleksibilitas bagi perusahaan untuk menggunakan kontrak kerja sementara untuk jangka waktu yang lebih lama sebagai pengganti mempekerjakan tenaga kerja tetap dan kemampuan yang diperluas bagi perusahaan untuk

mengalihdayakan pekerjaan tetap kepada perusahaan outsourcing khusus tenaga kerja swasta yang memasok pekerja sementara secara khusus mengancam hak hak ini.

Selanjutnya, pakerja kontrak dan outsourcing akan memiliki sedikit atau tidak ada jalan untuk mengatasi kondisi kerja di perusahaan pengguna dan berisiko kehilangan pekerjaan jika mereka mencoba mengangkat masalah kondisi kerja ke pengadilan hubungan industrial dan juga penggunaan pekerja dari beberapa perusahaan outsourcing di satu perusahaan pengguna dapat secara serius memecah-belah tenaga kerja, memungkinkan penggunaan beberapa pemberi erja oleh perusahaan kontraktor, yang akan mencegah pekerja untuk mengorganisir dan melakukan negosiasi secara kolektif.

Untuk itu kami mendesak Pemerintah untuk menghapus ketentuan terkait tenaga rerja dari Undang-Undang Cipta Kerja yang menghalangi hak-hak kebebasan berserikat dan negosiasi kolektif, dan kami meminta Pemerintah Indonesia untuk bekerja sama erat dengan ILO untuk memastikan semua reformasi hukum ketenagakerjaan di masa depan sesuai dengan standar ketenagakerjaan internasional.

Kami juga menyerukan kepada Pemerintah untuk segera melaksanakan rekomendasi dari Komite Pakar dan mengakhiri kewajiban arbitrase wajib dengan mengamandemen bagian 5, 14, dan 24 Undang-Undang Penyelesaian Sengketa Hubungan Industrial. Amerika Serikat tetap berkomitmen secara mendalam untuk berkolaoorasi dengan Pemerintah dalam mernajukan hak-hak pekerja di Indonesia.

Berikut pernyataan  Anggota Pekerja, United States of America (Mr GOTTWALD).

Saya ingin mengawali dengan mengulangi komentar dari rekan serikat pekerja Indonesia saya:

Penerapan Omnibuslaw Cipta Kerja olah Pemerintah Indonesia mewakili ancaman serius terhadap hak hak dasar pekerja untuk kebebasan berserikat dan perundingan kolektif.

Memang, meskipun putusan Mahkamah Konstitusi pada November 2021 yang memerintahkan Pemerintah untuk merumuskan ulang undang-undang dengan masukan penuh dan mitra sosial, Pemerintah justru memilih untuk terus melanjutkan serangkaian perubahan regulasi vang sangat tidak populer dalam upaya yang salah untuk menarik investasi langsung asing.

Mari fokus pada satu perubahan yang sangat problematis yang secara langsung mengancam hak serikat pekerja Indonesia untuk melakukan perundingan kolektif atas nama anggotanya

Baca juga  PEMERINTAH DUKUNG DAN DORONG MUSISI INDONESIA TERUS MEMAJUKAN EKOSISTEM MUSIK VIA AMI AWARDS 2024

Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021, Pemerintah Indonesia telah menghilangkan kemampuan serikat pekerja dan perusahaan untuk melakukan perundingan upah minimum sektoral yang dapat melebihi upah minimum yang berlaku.

Penghilangan perundingan sektoral dalam penetapan upah akan secara signifikan Mengurangi gaji pekerja di beberapa sektor, seperti pertambangan, konstruksi, dan pakaian. Hal ini juga melanggar hak serikat pekerja untuk menggunakan metode perundingan kolektif yang terbukti untuk meningkatkan upah bagi anggotanya dan pekerja secara umum.

Dalam pandangan kami serangan terhadap hak hak pekerja untuk bersenkat dan melakukan perundingan kolektif ini memiliki implikasi bagi upaya Indonesia dalam menjadikan dirinya sebagai sumber mineral penting yang berkelanjutan dalam Industri baterai kendaraan listrik yang semakin berkembang.

Saat ini, Pemerintah Indonesia sedang mengusulkan perjanjian perdagangan bebas untuk mineral penting kepada Amerika Serikat agar perusahaan yang menggunakan minerai Indonesia dapat memperoleh manfaat dari kredit pajak AS untuk kendaraan listrik.

Gerakan Buruh Amerika Serikat mengawasi hal ini dengan cermat dan akan menekan bahwa setiap perjanjian perdagangan harus berisi komitmen yang kuat untuk menjunjung tinggi hak-hak dasar pekerja dalam kebebasan berserikat dan perundingan kolektif.

Selanjutnya, kami mendesak Komite ini untuk mengeluarkan rekomendasi yang kuat kepada Indonesia untuk memperbaiki Omnibuslaw ini, dengan berdiskusi dengan mitra sosial, guna memastikan kepatuhan dengan Konvensi.

*Pernyataan ILO:

INDONESIA-Examination of ILO Convention No. 98 Intervensi oleh Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI)

Ketua yang Terhormat dan anggota Komite; terima kasih atas kesempatan ini. Saya berbicara atas nama pekerja Indonesia.

Pembahasan kasus ini oleh Komite adalah tepat waktu dan krusial.

Tidak ada keraguan, seperti yang diungkapkan dalam laporan Komite Ahli, implementasi Konvensi 98 di Indonesia memang sangat bermasalah. Undang- undang Cipta Kerja, yang dikenal sebagai “Omnibus Law”, beserta peraturan pelaksananya jelas merusak hak-hak buruh, menghilangkan banyak perlindungan, dan menciptakan hambatan signifikan dalam menjalankan hak-hak dasar ILO, terutama hak-hak yang dilindungi dalam Konvensi 98. Sebelum saya lebih mendalam mengenai isu utama terkait implementasi Konvensi ini, saya akan memberi informasi kepada sidang mengenai hal-hal yang terkait dengan Undang- Undang Cipta Kerja ini. Pada tanggal 2 November 2020, Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, menandatangani Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang dikenal sebagai Omnibus Law. Dikatakan bahwa Undang-undang ini diumumkan untuk mendukung “ekosistem investasi yang ramah guna menciptakan lebih banyak lapangan kerja. Undang-undang ini mengubah 79 undang-undang, menggantikan berbagai undang-undang yang ada terkait dengan ketenagakerjaan, investasi, imigrasi, standar lingkungan, izin usaha, dan izin bangunan. Serikat pekerja, organisasi hak asasi manusia dan adat, kelompok lingkungan, organisasi mahasiswa telah menentang Undang- undang Cipta Kerja karena dampak negatifnya terhadap promosi dan perlindungan hak-hak buruh serta kebebasan berserikat dan hak serikat pekerja untuk perundingan kolektif. Klaster ketenagakerjaan dalam Undang-undang Cipta Kerja secara signifikan merendahkan promosi dan perlindungan hak-hak buruh.

Ketua,

Dalam pengembangan undang-undang ini, pemerintah Indonesia gagal melakukan konsultasi yang memadai dengan serikat pekerja. Tidak ada konsultasi yang cukup dengan para pemangku kepentingan. Hanya pada bulan April 2020, pemerintah mengundang serikat pekerja dalam forum konsultasi tripartit, tetapi serikat pekerja merasa tindakan ini hanya bertujuan untuk menambah legitimasi daripada melakukan dialog yang tulus dengan itikad baik.

Serikat pekerja di Indonesia bersatu suara menentang dan mengambil tindakan massal di seluruh negara yang melibatkan jutaan pekerja untuk mencabut undang- undang Omnibus ini, termasuk mengajukan beberapa uji materi di Mahkamah Konstitusi. Sebagai hasilnya, pada tanggal 25 November 2021, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Omnibus Law) tidak konstitusional dan memerintahkan pemerintah untuk memperbaiki undang-undang tersebut dalam waktu dua tahun.

Alih-alih menjalankan keputusan Mahkamah Konstitusi untuk memperbaiki mekanisme partisipasi publik, Presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja pada tanggal 30 Desember 2022 sebagai jalan pintas untuk menerapkan penegakan Undang-Undang Omnibus ini.

Seperti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, ketentuan- ketentuan dalam Perppu yang mengatur masalah ketenagakerjaan secara keseluruhan menurunkan perlindungan, hak-hak dasar pekerja, dan kesejahteraan pekerja, terutama dalam pengaturan upah minimum, perpanjangan kontrak kerja jangka pendek, regulasi fleksibel mengenai outsourcing, lembur yang lebih lama. dan pengurangan pembayaran pesangon, dan lain sebagainya.

Pemerintah mengklaim Perppu Nomor 2 Tahun 2022 dikeluarkan dengan alasan keadaan darurat yang disebabkan oleh dampak ekonomi dari Perang Rusia/Ukraina. Penerapan peraturan ini merupakan kegagalan untuk melakukan konsultasi yang tepat dengan mitra sosial mengenai kebijakan tenaga kerja yang penting. Serikat pekerja dan organisasi masyarakat sipil menentang dengan melakukan mogok nasional karena tidak ada alasan darurat semacam itu.

Pada tanggal 20 Maret 2023, Direktur Jenderal ILO melalui Direktur Departemen Standar Kerja Internasional mengirimkan surat kepada Pemerintah Indonesia untuk menyampaikan kekhawatiran yang diajukan oleh tiga serikat pekerja terbesar (KSPI, KSBSI, dan KSPSI) agar tidak mengesahkan regulasi darurat ini menjadi undang-undang. Namun, seperti yang dikhawatirkan, regulasi ini disahkan dan menjadi Undang-Undang No. 6/2023 pada tanggal 21 Maret 2023 dengan dukungan dari ketujuh partai dalam koalisi pemerintahan Presiden Joko Widodo. Sementara itu, dua partai oposisi menolak pengesahan tersebut.

Baca juga  Ravelware Technology; Satu-Satunya Startup Deep Tech Indonesia di Top-100 Most Innovative Companies Entrepreneurship World Cup 2024

Protes terhadap berlakunya Undang-Undang No. 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja terus berlanjut, dan serikat pekerja, organisasi hak asasi manusia, dan masyarakat sipil juga telah mengajukan sejumlah uji materi ke Mahkamah Konstitusi untuk mencabut undang-undang ini.

Ketua, Di tengah kekhawatiran dan protes ini, Undang-Undang No. 6 Tahun 2023 telah disahkan oleh parlemen Indonesia pada tanggal 31 Maret 2023. Dengan berlakunya undang-undang baru ini, undang-undang sebelumnya yaitu Undang- Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja secara resmi tidak berlaku lagi. Terdapat keambiguan dalam hal ini. Di satu sisi, undang-undang baru sudah diundangkan dan berlaku, namun saat ini terdapat setidaknya 49 peraturan pelaksana yang masih berlaku berasal dari Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 yang dianulir.

Namun demikian, pemeriksaan terhadap Konvensi No. 98 dalam Komite ini sangat tepat dan relevan karena undang-undang tersebut jelas merusak prinsip-prinsip Konvensi No. 98.

Untuk memfasilitasi implementasi Undang-Undang Cipta Kerja, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan beberapa peraturan pelaksana, antara lain: (1) Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2021 tentang pekerjaan berjangka waktu tertentu, outsourcing, jam kerja, dan pemutusan hubungan kerja; (2) Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2021 tentang upah; dan (3) Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 5 Tahun 2023 tentang penyesuaian waktu kerja dan upah di perusahaan-perusahaan industri padat karya yang berorientasi ekspor dan terdampak perubahan ekonomi global.

Intervensi saya akan difokuskan pada bagaimana peraturan pelaksana yang krusial ini telah merusak dan membatasi cakupan Konvensi ILO No. 98 sebagaimana yang disampaikan dalam laporan komite ahli.

Pertama, Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2021 tentang pekerjaan berjangka waktu tertentu, outsourcing, jam kerja, dan pemutusan hubungan kerja telah melemahkan kekuatan serikat pekerja untuk melakukan negosiasi secara kolektif.

Kontrak kerja waktu tertentu. Berdasarkan Undang-Undang Cipta Kerja, semua pembatasan mengenai durasi awal, perpanjangan, dan pembaruan kontrak telah dihapus. Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2021 tidak membatasi jumlah pembaruan selama total masa kerja, termasuk pembaruan, tidak melebihi lima tahun. Hal ini memberikan fleksibilitas bagi pengusaha, karena tidak ada lagi pembatasan pada masa awal, perpanjangan, dan pembaruan kontrak, kecuali total durasi kontrak berjangka waktu tertentu tidak melebihi lima tahun. Dan secara otomatis, karena perusahaan cenderung memberikan kontrak dengan durasi yang lebih pendek, situasi ini akan melemahkan kekuatan kolektif serikat pekerja.

Relaksasi kontrak kerja berjangka pendek juga telah melemahkan promosi kesetaraan gender di tempat kerja. Data aktual menunjukkan bahwa kontrak kerja berjangka pendek dapat mengarah pada praktik kekerasan dan pelecehan berbasis gender di tempat kerja. Sebagai contoh, baru-baru ini beredar di media ketika seorang pekerja perempuan mengungkap praktik “staycation” di Bekasi, Jawa Barat. Staycation merupakan praktik di mana pekerja perempuan diminta untuk menginap dengan atasan sebagai persyaratan untuk memperpanjang kontrak kerja berjangka pendek.

Outsourcing. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 memiliki persyaratan yang luas mengenai outsourcing dan memberlakukan batasan yang ketat terhadap penggunaan pekerja outsourcing. Namun, Undang-Undang Cipta Kerja memperbolehkan outsourcing baik untuk aktivitas inti maupun non-inti. Akibatnya, perusahaan dapat dengan mudah mengabaikan keberadaan serikat pekerja yang dipekerjakan secara langsung untuk melakukan fungsi inti dengan hanya merekrut pekerja baru melalui agen tenaga kerja. Pekerja yang dipekerjakan melalui agen tidak dapat membentuk atau bergabung dengan serikat pekerja di perusahaan pengguna, tetapi hanya dapat membentuk serikat pekerja dengan pekerja lain dari agen tenaga kerja yang sama. Hal ini tanpa diragukan lagi akan menyebabkan tempat kerja yang semakin terfragmentasi. Diferensiasi semacam itu pada akhirnya akan melemahkan hak negosiasi kolektif para pekerja. Setiap negosiasi juga hanya akan dilakukan dengan agen tenaga kerja, bukan dengan perusahaan pengguna.

Jam kerja dan lembur. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2021, jumlah maksimum jam lembur yang diizinkan telah dinaikkan dari tiga menjadi empat jam per hari dan dari 14 menjadi 18 jam per minggu. Ketentuan ini lebih lunak dibandingkan dengan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003. Perpanjangan jam lembur yang berlaku tersebut mengakibatkan pekerja terpapar risiko kesehatan dan keselamatan serta penyalahgunaan pengaturan waktu kerja dengan konsekuensi sosial dan budaya lainnya. Kami khawatir bahwa sebelum menginisiasi proposal-proposal ini, pemerintah tidak melakukan penilaian dampak untuk membenarkan atau menunjukkan implikasi dari perpanjangan tersebut. Pasal ini harus diamendemen agar membatasi kerja lembur dan memberikan perlindungan yang diperlukan terhadap pengaturan waktu kerja guna melindungi pekerja dari penyalahgunaan waktu kerja.

Baca juga  Ardelya Craft Resmikan Butik Pertama di Bandung, Rayakan 15 Tahun Dedikasi dalam Seni Kriya Indonesia

Pemutusan hubungan kerja. Undang-Undang Cipta Kerja menghilangkan

perlindungan penting terkait pemutusan hubungan kerja. Undang-Undang Cipta Kerja tidak lagi secara tegas mengharuskan pekerja untuk memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian sengketa hubungan industrial sebelum melakukan pemutusan hubungan kerja. Relaksasi proses pemutusan hubungan kerja ini membuat pekerja kontrak berjangka lebih enggan untuk bergabung dengan serikat pekerja dan berjuang untuk mempertahankan hak-hak dan kepentingan mereka, sehingga berdampak pada melemahkan fungsi dan peran serikat pekerja.

Pembayaran pesangon. Dalam Undang-Undang Cipta Kerja, komponen pembayaran pesangon dan pencairan hak telah dikurangi.

Kedua, Undang-Undang Cipta Kerja membatasi hak serikat pekerja dalam negosiasi kolektif dan menyebabkan kerusakan yang signifikan pada sistem pengupahan yang ada.

Negosiasi tripartit dan bipartit telah menjadi kunci dalam proses dialog sosial di Indonesia, mencapai hasil yang cukup baik dalam beberapa tahun terakhir. Namun, ‘Undang-Undang Omnibus’ telah menyebabkan kerusakan yang signifikan pada hak serikat pekerja dalam negosiasi kolektif. Undang-Undang Omnibus secara signifikan mengurangi peran negosiasi dewan upah tripartit dalam menentukan upah minimum di tingkat nasional dan provinsi/kabupaten. Undang- Undang Omnibus juga memberikan batasan bagi serikat pekerja untuk mewakili anggotanya dalam proses negosiasi kolektif di tingkat perusahaan.

Pembatasan hak negosiasi kolektif ini terlihat jelas melalui diterbitkannya Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2021 tentang upah. Berdasarkan Undang- Undang Ketenagakerjaan No. 13/2003, upah minimum ditentukan berdasarkan tiga komponen, yaitu keranjang barang (terdiri dari 60 harga komoditas),
produktivitas, dan pertumbuhan ekonomi. Sementara itu, Undang-Undang Omnibus memperkenalkan rumus baru di mana upah minimum hanya ditetapkan berdasarkan data yang disediakan oleh Badan Pusat Statistik, termasuk daya beli, pertumbuhan ekonomi, dan upah median. Faktanya, melalui sistem ini, serikat pekerja tidak lagi memiliki ruang untuk bernegosiasi tentang harga komoditas sebagai salah satu elemen penting dalam menentukan upah minimum. Olah karena itu, perubahan ini memengaruhi kapasitas serikat pekerja untuk secara efektif bernegosiasi tentang upah.

Undang-Undang Cipta Kerja juga telah menghapus upah sektoral.

Selain itu, Undang-Undang juga membebaskan usaha mikro dan kecil dari kewajiban membayar upah minimum. Aturan pembebasan upah ini merupakan pelanggaran nyata terhadap hak universal atas upah, yang menyatakan bahwa setiap orang berhak mendapatkan upah yang adil dan layak tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun.

Ketiga, pelanggaran terhadap hak-hak serikat pekerja dalam implementasi Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 5 Tahun 2023.

Pada Maret 2023, sebagai bagian dari peraturan pelaksana Undang-Undang No. 6/2023, Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 5 Tahun 2023 telah diberlakukan. Peraturan ini berkaitan dengan penyesuaian waktu kerja dan upah dalam 5 sektor manufaktur yang berorientasi ekspor (yaitu tekstil, garmen, alas kaki, mainan, dan mebel). Pasal 8 peraturan ini menyatakan bahwa perusahaan di sektor-sektor tersebut dapat menyesuaikan dan mengurangi jam kerja dan upah pekerja hingga 75%.

Meskipun pemotongan upah harus dilakukan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan pekerja (individu). serikat pekerja sangat khawatir bahwa peraturan ini meniadakan keberadaan perwakilan serikat pekerja di tingkat perusahaan dan dengan demikian melanggar proses negosiasi kolektif. Peraturan ini jelas melanggar fakta bahwa upah adalah isu penting bagi pekerja dan pemotongannya tidak boleh diputuskan tanpa informasi transparan yang disajikan dalam dialog yang setara sebelum mencapai konsensus yang didasarkan pada kepercayaan saling menguntungkan. Peraturan ini jelas mengabaikan kewajiban pengusaha untuk memberikan data yang memadai kepada serikat pekerja mengenai penyebab pemotongan upah. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa sejumlah perusahaan di sektor-sektor tersebut telah memutuskan tindakan pemotongan upah dan jam kerja tanpa adanya dialog sebelumnya dengan serikat pekerja yang ada. Ketika pekerja diminta untuk menandatangani persetujuan terhadap pemotongan upah, tanpa kesempatan untuk berkonsultasi dengan perwakilan serikat pekerja, mereka tentu tidak akan dapat menantang pengusaha dan cenderung mematuhi apa yang diinginkan oleh pengusaha.

Ketua,

Seperti yang diungkapkan dalam laporan, kami mendukung pandangan Komite Ahli bahwa Pemerintah harus mengambil langkah-langkah untuk memperbaiki Undang-Undang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UUPPHI) atau Undang-Undang No. 2 tahun 2004 untuk memastikan bahwa prinsip negosiasi kolektif yang bebas dan sukarela sepenuhnya dihormati dalam layanan publik yang melibatkan pegawai negeri yang terlibat dalam administrasi negara.

Penjelasan di atas dengan jelas menggambarkan bagaimana Undang-Undang Cipta Kerja dan peraturan pelaksanaannya melanggar prinsip-prinsip dasar yang diatur dalam Konvensi No. 98. Oleh karena itu, melalui komite ini, kami mendesak Pemerintah Indonesia untuk segera mengambil langkah-langkah berikut:

1. Mengubah Undang-Undang Cipta Kerja beserta peraturan pelaksanaannya, dengan berkonsultasi dengan mitra sosial, untuk memastikan kepatuhan terhadap Konvensi tersebut;

2. Menangguhkan operasional regulasi, terutama Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 5 Tahun 2023;

3. Memastikan bahwa pegawai negeri dapat melakukan negosiasi kolektif sesuai dengan ketentuan Konvensi No. 98.

Dalam keadaan seperti ini, kami meminta bantuan dari ILO untuk memastikan amendemen yang diusulkan sesuai dengan Konvensi No. 98 melalui Misi Kontak Langsung.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here