1.095 Hari Berjuang, Masih Ada Rokok Seharga Rp 1.000/batang di
Masa Krisis Kesehatan
Tapak Tilas Advokasi Kebijakan Harga Rokok untuk Segera Menaikan Cukai Rokok
Jakarta, Suarakristen.com
Hari ini, Pusat Kajian Jaminan Sosial (PKJS) UI, Komite Nasional
Pengendalian Tembakau (Komnas PT), dan Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives
(CISDI), menyelenggarakan acara puncak kampanye #pulihkembali2.0 dengan judul “Tapak Tilas: 1.095
Hari Advokasi Harga Rokok di Indonesia.”
Tapak Tilas ini mengundang para pemangku kebijakan terkait kebijakan cukai rokok yang bertujuan untuk menyampaikan bunga rampai studi kebijakan cukai serta laporan donasi yang terkumpul selama kampanye #pulihkembali2.0 sebagai dukungan masyarakat terhadap kebijakan yang mampu memahalkan harga rokok terlebih di masa pandemi.
Meski dalam masa pandemi, 49,8% masyarakat mengaku tetap mengeluarkan uang belanja untuk
merokok seperti sebelum pandemi, bahkan 13,1% masyarakat naik belanja rokoknya (Survei Komnas PT,
2020).
Senada dengan survei ini, Fakultas Kedokteran UI juga menemukan 47,6% responden mempertahankan konsumsi rokoknya dan 20,1% responden justru meningkatkan konsumsi rokoknya pada saat pandemi.
Temuan lain dari CISDI tahun 2021 juga menunjukkan pola yang sama, bahwa nyatanya pandemi tidak mengubah perilaku merokok masyarakat, ada sekitar 60% responden dari studinya yang tetap mengeluarkan uang belanja untuk rokok. Serta dari perspektif istri dalam rumah tangga, tidak ada perubahan intensitas maupun kuantitas merokok suaminya saat pandemi (PKJS UI, 2021).
Kondisi harga rokok yang masih beragam dan sangat murah, terbukti menjadi peluang bagi perokok untuk tetap merokok meski dalam masa pandemi. Hasil riset dari CISDI juga menemukan bahwa 42% perokok persisten saat ini mengaku menurunkan pengeluaran rokok, namun 24%nya beralih ke rokok
murah (CISDI, 2021).
Pola merokok kelompok masyarakat berpenghasilan rendah perlu menjadi
perhatian karena kelompok rentan ini tetap merokok di masa pandemi meskipun ekonomi sulit dan cenderung beralih ke rokok yang lebih murah (PKJS UI, 2021).
Jumlah konsumsi rokok yang tinggi pada masyarakat ekonomi rendah tentu akan menjadi beban dalam kondisi yang sulit saat ini.
Selain menjadi beban bagi keluarga miskin, tingginya konsumsi rokok dalam jangka panjang akan menyebabkan penyakit kronis tidak menular yang membutuhkan biaya pengobatan yang tinggi. Seperti
hasil kajian CISDI pada 2019 (CISDI, Forthcoming), beban ekonomi merokok yang mencakup biaya langsung (direct cost) dan tidak langsung (indirect cost), mencapai 446.73 triliun rupiah atau sama dengan 2.9% pendapatan nasional bruto. Beban biaya ini diperkirakan akan terus meningkat jika prevalensi perokok saat ini tidak dikendalikan.
Salah satu faktor penyebab tingginya konsumsi rokok di Indonesia adalah tingkat keterjangkauan yang
tinggi. Rokok dapat dengan mudah diakses oleh siapa saja, bahkan oleh anak-anak dan remaja, serta
keluarga miskin, karena harga yang sangat murah. Dengan Rp1.000 saja per batang, rokok dapat dibeli secara eceran.
Sementara menurut hasil survei yang dilakukan oleh PKJS UI (2018), perokok berpikir
untuk berhenti merokok jika harga rokok dinaikan hingga Rp 70.000 per bungkus. Angka ini tentu masih jauh dari kenyataan.
Data di atas juga sudah sering disampaikan dalam berbagai forum, sayangnya pemerintah masih belum benar-benar berpihak pada kesehatan masyarakat. Maka dari itu, kegiatan Tapak Tilas hari ini mencoba untuk mengarsipkan riset-riset yang berhubungan dengan kebijakan cukai rokok agar dapat dijadikan sebagai bahan acuan bagi pemerintah dalam merumuskan kenaikan cukai tahun ini dan tahun-tahun mendatang melalui perencanaan kebijakan berkesinambungan.
Kegiatan Tapak Tilas juga mencoba memvisualisasikan data riset dengan video-video kreatif sebagai kumpulan aksi dan advokasi yang telah dilakukan oleh masyarakat sipil selama kurang lebih tiga tahun ke belakang.
Krisna Puji Rachmayanti, peneliti dari FIA UI menyatakan “3 studi yang telah dilakukan oleh Komnas PT, CISDI, dan PKJS UI menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara perilaku merokok dengan
pandemi COVID-19.
“Maka dari itu, masa-masa pandemi ini justru adalah masa krusial dan sangat tepat
untuk segera menaikan cukai rokok sekaligus harganya di pasaran. Hal ini untuk melindungi masyarakat kelompok rentan yang sensitif dengan kondisi ekonomi agar bisa segera berhenti dari adiksi merokok,”
jelasnya.
Turut hadir dalam tapak tilas para penanggap presentasi dan dokumen bunga rampai dari pemerintah, di antaranya Akbar Harfianto, dari DJBC, Kementerian Keuangan, yang menanggapi “Kami melihat bahwa
ada kenaikan yang sebenarnya cukup signifikan dan produksinya yang juga menurun beberapa waktu ini. Ada 4 pilar yang dipegang oleh Kementerian Keuangan dalam pembentukan kebijakan: pengendalian
konsumsi, industri, rokok ilegal, dan penerimaan negara.”
Sementara itu, Kementerian Kesehatan yang diwakili Ibu drg. Kartini Rustandi, M.Kes, menyatakan bahwa, “Buat kami tentunya harga rokok masih sangat murah juga masih bisa dibeli secara batangan. Tentu kita memang harus mempertimbangkan berbagai aspek dalam membuat kebijakannya. Tapi tugas
kami adalah untuk mempersiapkan generasi masa depan Indonesia, dan kita harus melindungi mereka
dari dampak buruk produk rokok. PR dari Pak Presiden dan amanah UU adalah kami harus
mempersiapkan generasi yang sehat. Pengendalian rokok memang harus komprehensif, tidak bisa hanya orang kesehatan saja yang teriak sendiri, tapi juga seluruh aspek.”
Adapun hal lain yang disampaikan oleh Asdep V, pengembangan industri, Kemenko Perekonomian, yaitu Bapak Atong Soekirman, menyampaikan “Ada 4 pilar dalam kebijakan kenaikan cukai rokok, yaitu: Penerimaan negara, kesehatan, industri dan rokok ilegal. Kita harus menemukan titik temu mengikuti kurva laffer agar kebijakan ini berada dalam titik keseimbangan.”
Merespon para penanggap sebelumnya, ekonom senior Faisal Basri menyatakan, “Kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah masih mandul. Kita mengakui memang sudah ada kebijakan yang dilakukan tapi kurang, tidak extraordinary. Jangan mengatakan harga sudah terlalu mahal, justru jauh
lebih murah, karena seharusnya sudah tidak ada rokok yang sebungkusnya berharga sepuluh ribu rupiah.”
Faisal Basri juga sangat menyayangkan tindakan pemerintah. Menurutnya, “Pemerintah masih bekerja
dengan mitos dalam menentukan kenaikan cukai rokok. Ingat, narasi Jokowi periode ke-2 adalah SDM. Paradigmanya harus diubah, pengarusutamaan kebijakan harus mementingkan kesehatan masyarakat. Selain itu, Indonesia sebagai Presidensi G20 adalah satu-satunya anggota yang belum meratifikasi FCTC, malu-maluin. Jangan sampai harus seorang Presiden yang menentukan harga rokoknya seperti saat kasus
PCR yang dikuasai oligarki.”
Pungkas Bahjuri Ali selaku direktur kesehatan dan gizi masyarakat, BAPPENAS menutup tanggapan dari pemerintah dengan menyampaikan, “Ide dari cukai adalah pengendalian konsumsi, karena itu apabila kita bicara harga rokok dari instrumen cukai, maka kebijakan saat ini masih belum ideal. Meski demikian, kami juga meyakini bahwa setiap kebijakan pasti punya dampaknya, yang harus kita siapkan sekarang ini adalah melakukan mitigasi dari kebijakan apa yang akan kita pilih.”
Ismail Fahmi, PhD., seorang pengamat publik dari Drone Emprit menyampaikan perspektif lain yang membahas terkait perbincangan tentang rokok di di twitter, “Pembahasan rokok di Twitter lebih banyak
yang kontra dengan rokok secara umum. Dukungan organik dari netizen juga lebih banyak yang pro terhadap kenaikan harga rokok. Ada juga buzzer dan bot yang dioperasikan untuk menolak kenaikan cukai rokok yaitu saat ada berita akan adanya kenaikan cukai rokok.”
Acara tapak tilas ditutup dengan penyampaian langsung bunga rampai studi serta pesan dari kaum muda yang diwakili oleh Cikal Ardina dari Pemuda Penggerak Solo yang berharap bahwa, “Saya dan teman
teman, berusaha terus mengedukasi teman-teman sebaya kami, melalui kampanye digital, mencoba menyederhanakan bahasa-bahasa kajian, menjadi visual kreatif yang lebih membumi agar lebih mudah
dipahami sebagai sedikit upaya yang bisa kami lakukan. Semoga pemerintah juga dapat mengambil
perannya untuk melindungi kami, kaum muda, dan masyarakat Indonesia seluruhnya.”
Selain itu, hasil dari kampanye #pulihkembali2.0 selama lebih dari dua bulan ini juga mengumpulkan donasi melalui situs https://saweria.co/pulihkembali2021 yang terkumpul sebesar Rp 14.675.839 dari
individu yang ingin berhenti merokok di masa pandemi, masyarakat umum, komunitas kaum muda, hingga jaringan ibu-ibu PKK di RW 6, Kelurahan Sewu, Jebres, dan TP PKK Kecamatan Jebres, Solo.
Para ibu ini menyampaikan bahwa jika suami berhenti merokok, uang rokoknya dapat menjadi uang tambahan dapur mereka, bahkan bisa mengalokasikan pada donasi ini untuk mereka yang terdampak
akibat COVID-19. Donasi #pulihkembali2.0 disalurkan melalui Dompet Dhuafa untuk diberikan kepada
anak-anak yang harus kehilangan orang tuanya saat pandemi dalam membiayai kebutuhan sehari-hari
dan pendidikan mereka.
Gerakan ini pun juga didukung oleh organisasi-organisasi pemuda yang juga turut berdonasi, di
antaranya Ikatan Senat Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Indonesia (ISMKMI), Aksi Kebaikan, Pemuda Penggerak Solo, TenD for youth, Tata Muda, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, North Sumatera YouthTobacco Control Movement, 9CM, Smoke Free Agents (SFA), Ikatan Lembaga Mahasiswa Kebidanan Indonesia(IKAMABI), Forum Indonesia Muda Regional Bogor (FIM Bogor), dan Forum Anak Banjarmasin.
Organisasi pemuda juga mendorong agar pemerintah dapat membuat kebijakan pengendalian konsumsi
rokok yang lebih kuat.
Kegiatan puncak kampanye #pulihkembali2.0 diharapkan menjadi pemantik agar Pemerintah yang dalam
waktu dekat mengumumkan Putusan Menteri Keuangan tentang Cukai pada 2022 benar-benar mempertimbangkan kebijakan yang pro-kesehatan dan kesejahteraan masyarakat, dengan dasar berbagai bukti riset yang disajikan.
***
Tentang Komite Nasional Pengendalian Tembakau (Komnas PT):
Merupakan organisasi koalisi kemasyarakatan yang bergerak
dalam bidang penanggulangan masalah konsumsi produk tembakau, didirikan pada 27 Juli 1998 di Jakarta, beranggotakan 23
organisasi dan perorangan, terdiri dari organisasi profesi kesehatan, organisasi masyarakat, dan kelompok peduli akan bahaya
produk tembakau bagi kehidupan, khususnya bagi generasi muda dan keluarga miskin. Info: https://komnaspt.or.id/
Tentang Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI): Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives
(CISDI) adalah think tank yang mendorong kebijakan kesehatan berbasis bukti untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang
berdaya, sehat, dan sejahtera dengan menerapkan paradigma sehat. CISDI melaksanakan riset dan manajemen program serta
advokasi kebijakan untuk mewujudkan tata kelola, pembiayaan, sumber daya manusia, dan layanan kesehatan yang
transparan, adekuat, dan merata. Info: https://cisdi.org/id/
Tentang Pusat Kajian Jaminan Sosial, Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia (PKJS-UI):
Institusi yang bergerak
pada pelatihan, konsultasi, dan penelitian seputar Jaminan Sosial secara luas termasuk menangani isu ekonomi dan kesehatan,
untuk berkontribusi pada kesejahteraan rakyat. Info: https://pkjsui.org/
(Hotben)