GAMKI: Membangun Silaturahmi Walau Berbeda Pandangan Adalah Wujud Pancasila
Jakarta, Suarakristen.com
Di umur kemerdekaan Indonesia yang akan memasuki usia 75 tahun, elemen bangsa seharusnya membahas bagaimana membumikan dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila.
Demikian disampaikan Sekretaris Umum DPP Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia Sahat Martin Philip Sinurat saat menjadi narasumber Webinar tentang “Menjaga Pancasila dari Bahaya Propaganda Komunis, Orde Baru, dan Khilafah”, Kamis (16/7/2020).
Bahkan Sahat mengatakan perlu langkah lebih jauh untuk memperkenalkan dan mempromosikan ideologi Pancasila ke dunia internasional.
Menurut Sahat, Pancasila adalah dasar negara yang paling tepat di tengah bangsa yang majemuk.
“Saya tiga kali diundang ke luar negeri, yakni ke Sri Lanka, Mesir, dan China. Dalam tiga kesempatan ini, saya menjelaskan tentang Pancasila kepada para pemuda dari mancanegara. Mereka heran kenapa Indonesia yang majemuk dapat bersatu. Saya menjawabnya, karena Indonesia sepakat pada dasar negara yaitu Pancasila,” kata mantan Ketua Umum Pengurus Pusat GMKI ini.
Sayangnya, lanjut Sahat, isu Pancasila saat ini dijadikan sebagai komoditas politik saja di antara para elit-elit politik dan elemen lainnya. Padahal harusnya semua pihak membicarakan penerapan Pancasila, terkhusus kepada generasi milenial, generasi Z, dan generasi Alpha.
“Kita harus melihat bagaimana nasib peradaban bangsa Indonesia ke depannya. Kita harus menjadikan Indonesia sebagai negara semua untuk semua. Bahwa petani, nelayan, buruh, guru, pegawai, pengusaha, politisi, semuanya seharusnya sama-sama memiliki Indonesia, merasakan keadilan dan kesejahteraan,” tegasnya.
Terkait hubungan komunikasi antar elit politik, Sahat mengingatkan tentang para pendiri bangsa yang walau berbeda pendapat bahkan paham ideologi dapat tetap membangun komunikasi yang cair dan baik.
“Seharusnya para tokoh bangsa dan elit politik saat ini juga dapat menunjukkan komunikasi yang baik dan akrab. Sehingga rakyat tidak hanya dipertontonkan dengan tindakan yang saling mengecam tapi melihat bahwa para tokoh bangsa dan elit politik juga tetap membangun silaturahmi walaupun berbeda pandangan. Dengan ini, rakyat tidak ikut-ikutan membangun tembok permusuhan. Walaupun berbeda pandangan, kita tetap bersatu dan bersama-sama membangun bangsa. Inilah wujud Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika,” pungkasnya.
Senada dengan Sahat, Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah, Sunanto menyatakan, di usia Indonesia yang menginjak 75 tahun seharusnya elemen bangsa tidak perlu memperdebatkan Pancasila sebagai ideologi.
“Bagi kami Muhammadiyah, dasar negara sudah final. Namun tantangan kita saat ini bagaimana kita membangun Negara yang berkemajuan. Maka kita jangan menjebak Pancasila dalam birokrasi Pancasila,” katanya dalam acara Webinar yang digagas Forum Komunikasi Santri Indonesia ini.
Menurut Cak Nanto, sapaan akrabnya, Pancasila harus masuk dalam ruang budaya dan sosial di masyarakat. Dengan demikian, Pancasila akan menjadi karakter kebudayaan bangsa Indonesia.
“Pancasila harus masuk dalam karakter kebudayaan dan semua pembelajaran-pembelajaran di segala lini. Kita harus mulai melihat kedaulatan dan kemajuan serta sudahi segala diskursus tentang Pancasila, jika tidak kita akan terlena dan bangsa kita dikuasai oleh orang lain,” kata Cak Nanto.
Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, sebagai pembicara terakhir melihat adanya keresahan akibat kurangnya politik keterwakilan yang tidak representatif.
“Saat ini kita kehilangan semangat Pancasila dalam perbedaan pandangan. Padahal dulu para pendahulu kita telah mencontohkan implementasi Pancasila pada kehidupan nyata perpolitikan kita,” katanya.
Usman mengingatkan, di masa awal kemerdekaan, Soekarno dapat tetap berkomunikasi akrab dengan pendiri bangsa lainnya walaupun berbeda pandangan.
“Kita terbawa suasana masa lalu dimana dalam beberapa momen terjadi pertentangan di antara kelompok ataupun partai. Seharusnya saat ini kita mengupayakan, bagaimana mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” tegasnya.
Dalam Webinar itu, juga dihadiri oleh Ketua Umum Jamiyyah Qurro’wal Huffadh (JQH) Nahdlatul Ulama, Saifullah Maksum, Ketua Umum Perkumpulan Gerakan Kebangsaan Bursah Zarnubi, dan Bendahara Umum KNPI yang juga mantan Ketua Umum DPP GMNI, Twedy Noviady Ginting.