(Catatan Pertemun dengan Presiden RI)
Jakarta, 24 September 2019
*Aksi Hari Tani Nasional (HTN) 2019: “Bersatu Melawan Perampasan Tanah, Jalankan Reforma Agraria untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat”*
Tahun ini, genap 59 tahun UUPA 1960. Petani kembali memperingati Hati Tani Nasional (HTN) 2019, sekitar 5 ribu massa petani tumpah ke jalan, melakukan _longmarch_ dari Patung Kuda ke Depan Istana Negara.
Selain menyikapi situasi darurat agraria secara nasional, aksi KNPA juga menolak semua RUU dan revisi UU yang bersifat anti rakyat dan diskriminatif. Ada 7 (tujuh) tuntutan dan usulan di HTN 2019 – _lihat pernyataan sikap KNPA._
Ada 97 organisasi yang tergabung dalam Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA), terdiri dari organisasi petani, buruh, masyarakat adat, nelayan, perempuan, mahasiswa dan NGOs.
Delegasi massa aksi diterima Presiden Joko Widodo, didampingi Kastaf Moeldoko. Ada 6 pokok masalah yang disampaikan pada Presiden, sbb.:
1. Petani merayakan Hari Tani Nasional 2019 di Jakarta dan seluruh daerah, ingin mengingatkan bahwa pelaksanaan janji reforma agraria dengan target 9 juta hektar tanah tidak dijalankan. Dari kewajiban 4,1 juta hektar TORA yang berasal dari pelepasan kawasan hutan, capaiannya dalam 5 tahun adalah NOL hektar. Sisanya hanya melakukan sertifikasi tanah biasa, bukan redistribusi tanah, bukan mencabut konsesi-konsesi kebun dan hutan yang tumpang tindih dengan desa, tanah pertanian, kebun masyarakat dan wilayah adat.
2. Masyarakat petani, masyarakat adat, nelayan sesungguhnya sudah mengusulkan 528-an desa di 98 kabupaten, 20 provinsi sebagai lokasi prioritas reforma agraria seluas sekitar 700 ribu hektar untuk 134 ribu KK kepada Menko Perekonomian, Menteri ATR/BPN, Menteri LHK dan Kastaf KSP. Dari 528 desa, dalam 5 tahun baru 4 desa saja seluas total 700 an hektar yang diredistribusikan kepada rakyat, yang berasal dari HGU perkebunan swasta (expired HGU).
3. Konflik agraria masalah kronis lintas kementerian dan eksekusi penyelesaiannya tidak berjalan. Ada konflik masyarakat dengan HGU swata dan HGU negara (BUMN), Perhutani, Pertambangan, HTI, klaim hutan negara, taman nasional dan tanah negara. Termasuk konflik agraria di daerah transmigrasi, konflik akibat proyek strategis nasional dan pariwisata. Sifatnya yang lintas sektor dan kronis, menyebabkan 5 tahun ini masyarakat “dipimpong”, tak ada terobosan diambil oleh kementerian-kementerian terkait.
4. Akibat reforma agraria dan penyelesaikan konflik tidak dijalankan, maka tak ada kepastian hukum dan perlindungan bagi rakyat. Sehingga petani, masyarakat adat, buruh tani dan warga miskin banyak yang dikriminalisasi, ditangkap karena mempertahankan haknya atas tanah dan wilayah hidup mereka.
5. Kelembagaan pelaksana RA yang lemah. Telah ada Tim Refoma Agraria Pusat dan Gugus Tugas RA sesuai Perpres Reforma Agraria 86/2018. Ini tidak berjalan efektif dan masing-masing. Meminta badan pelaksana reforma agraria ke depan dipimpin langsung oleh Presiden RI.
6. KNPA menolak RUU Pertanahan dan RUU/revisi UU yang anti rakyat. Mengapresiasi langkah presiden menunda RUUP. Substansi RUUP membahayakan petani, kelompok rentan dan hak warga negara atas tanah. Ke depan RUU terkait agraria dan pertanahan haruslah sejalan dengan tujuan reforma agraria.
Terhadap masalah di atas di atas, terutama soal capaian RA, Presiden langsung menelpon Menteri LHK dan Menteri ATR/BPN untuk menanyakan dan mengklarifikasi capaian RA yang dilaporkan petani; capaian nol hektar dari pelepasan KH, kelambanan capaian redistribusi tanah, termasuk macetnya konflik dengan konsesi kebun.
Selanjutnya, dialog banyak membahas masalah pelaksanaan RA, tipologi konflik agraria, masalah kementerian, kebijakan dan kelembagaan RA.
Diskusi juga membahas kasus sebagai contoh perbaikan ke depan. Soal 103 konflik agraria di seluruh Jawa antara petani dengan Perhutani sekitar 10 ribu hektar, agar diselesaikan melalui redistribusi tanah dan pemilikan penuh bagi petani.
Menyoroti pula konflik terkait PTPN dan perkebunan swasta, bahwa pengalaman HGU swasta lebih mudah, dan justru konflik PTPN (milik BUMN) tidak ada terobosannya. Menyampaikan soal proyek strategis nasional yang menggusur dan mengancam masyarakat petani dan adat, seperti di Sigapiton, Danau Toba dan Pulau Komodo.
Menyampaikan masalah lainnya, soal puluhan ribu desa-desa dalam klaim kawasan, masalah desa transmigrasi yang tidak tuntas, seperti di Konawe Selatan. Menginformasikan juga contoh kasus salah sasaran RA, seperti pemberian SK pelepasan kawasan hutan kepada koperasi bentukan pejabat di Jambi, bukan kepada masyarakat desa yang sudah mengusulkan RA. Masalah HGU habis dan terlantar yang tidak kunjung ada eksekusinya dalam kerangka RA.
Dari sisi contoh proses, menyampaikan problem TORA yang bersifat top down oleh pemerintah. Akibatnya TORA lebih banyak yang tidak sesuai dengan masalah prioritas RA, rentan pula dibajak kepentingan birokrat. Sebaiknya bersifat buttom-up, yakni berbasis usulan-usulan masyarakat dari bawah sehingga sesuai situasi riil lapangan.
Terhadap usulan Badan Pelaksana Reforma Agraria yang dipimpin langsung oleh Presiden, Bapak Jokowi setuju memimpin langsung RA, dan untuk itu akan merubah Perpres 86/2018.
Demikian beberapa catatan pertemuan delegasi aksi HTN-KNPA dengan Presiden RI di Istana Negara.
Hormat kami,
Dewi Kartika
Koordinator Umum HTN-KNPA/
Sekjend Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)
_Bersama Ketua DN KPA, serta perwakilan serikat-serikat petani dan koalisi buruh_