Jakarta, Suarakristen.com
Jaringan Pemberdayaan Perempuan Untuk Pembangunan Bangsa (Jayaperbangsa) dan ARJ menggelar Diskusi “Krisis Keteladanam Menghambat Kemajuan Bangsa” di Hotel Mega Jl. Proklamasi, Jakarta. (4/9/19)
Diskusi ini bertema”Krisis Keteladanan Menghambat Kemajuan Bangsa
Sub Tema”Keteladanan Berbasis Pancasila Memberi Harapan Kerukunan di Antara Sesama Anak Bangsa
Tampil sebagai Pembicara adalah Ir. Haidir Alwi (Penanggung Jawab ARJ); Yesri Tandiseru (Ketua Umum Jayaperbangsa); Ir. Drs.Laksamana Pertama TNI (Purn); Bonar Simangunsong,SE,MM.; Aidil Fitri,SH.( Koordinator Umum ARJ).
Tokoh bangsa R.Haidar Alwi, memyatakam*Ada bagian yang memudar di tengah pancaran terang bangsa ini. Ada yang meredup di antara sinar cahaya yang selama ini membungkus negeri. Amat disayangkan, sesuatu yang memudar dan meredup itu justru merupakan bagian vital dari fondasi kebangsaan, yakni luruhnya karakter dan budi pekerti anak bangsa.
Sangat mudah kita menyebutkan contoh konkret lunturnya karakter bangsa itu di era kekinian. Meningkatnya radikalisme, intoleransi, penyebaran berita bohong (hoaks), demagogi kebencian SARA, kian redupnya integritas dan kesantunan, maraknya korupsi, termasuk pula aksi-aksi kejahatan yang kian bengis belakangan ini, semua menjadi tontonan gratis yang sungguh memilukan.
Padahal, kita punya Pancasila, sebuah ideologi yang telah menjadi kemufakatan bersama sejak negara ini didirikan, sebagai landasan, falsafah, serta nilai dalam kehidupan berbangsa. Suka atau tidak suka, negara ini berdiri dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai perekat. Sejarah membuktikan bahwa melalui Pancasila-Iah bangsa yang majemuk dan multikultur ini bisa direkatkan hingga kini.
Namun, barangkali, harus diakui juga bahwa nilai-nilai tersebut tak selalu mampu diterjemahkan dalam narasi dan konsep praktis yang mestinya mengikuti perkembangan zaman. Akibatnya, tak perlu heran bila perilaku penyimpangan nilai kian banyak terjadi karena Pancasila tidak dapat terimplementasikan dengan sebenar-benarnya. Itu sebetulnya merupakan bahasa halus untuk menyebut bahwa Pancasila telah dilupakan sebagian masyarakat Indonesia.
Namun, harus kita ingat pula bahwa upaya menggaungkan nilai-nilai luhur Pancasila itu dan kemudian mengimplementasikannya dalam kehidupan bernegara dan berbangsa tak cukup hanya dengan cara-cara formal. Sejatinya, bangsa ini juga membutuhkan keteladanan, contoh yang nyata dari para pemimpin dan elite, sekurang-kurangnya dalam hal perilaku, integritas, dan tentu saja kekuatan karakter. Tak dimungkiri, saat ini kita krisis pemimpin autentik yang menyatu antara kata dan perbuatan.
Keteladanan adalah contoh paling penting dalam peng-arus-utama-an Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Bila seorang pemimpin itu lakunya penuh noda, bagaimana anak muda bisa percaya tentang kebaikan Pancasila.
Dalam tataran yang Iebih praktis lagi, lnternalisasi nilai-nilai Pancasila bisa dilakukan dari lingkup keluarga, misalnya dengan cara melatih anak berterima kasih, meminta maaf, atau mengucapkan minta tolong dan mau memberi pertolongan kepada anggota keluarga, tetangga, dan orang lain. Apabila ketahanan keluarga itu berjalan, maka ketahanan nasional akan terbentuk. Kalau keluarga morat-marit, anak terkena narkoba, sudah mesti ketahanan nasional kita menjadi rawan.
Keteladanan keluarga menjalankan nilai luhur Pancasila akan Iebih efektif bagi generasi muda sekarang, ketimbang menggunakan pendekatan indoktrinasi. Sebab, mereka Iebih senang cara-cara yang komunikatif, partisipatif, dan interaktif.
Contoh pengamalan Pancasila yang paling relevan dalam kehidupan masyarakat Indonesia sehari-hari adalah menerima perbedaan dan saling menghargai. Bila tidak dikenalkan nilai Pancasila secara intens, maka otomatis pola pikir anak bangsa terutama generasi muda akan terpengaruh, termasuk dalam cara mereka menjalankan toIeransi bergama, antar suku, atau pemikiran tentang keadilan sosial.
Pemerintah diharapkan bisa mengawasi dan mengingatkan Iebih intens lagi mengenai pelajaran Pancasila di Iembaga pendidikan formal. Kalau kurikulum jelas, maka pelaksanaannya ini yang perlu diawasi lagi.
Jadi, alangkah naifnya ketika di usia dini anak-anak di sekolah diberikan pelajaran dan ilmu budi pekerti yang luhur ala Pancasila, tetapi di luarsana para pemimpin, elite, dan orangtua mereka justru terus mempertontonkan perilaku menyimpang dari nilai-nilai Pancasila. lni sebuah paradoks yang tak boleh dianggap remeh karena boleh jadi malah akan membuat generasi muda menjadi kian apatis terhadap segala hal berbau Pancasila.
Karena itu, langkah besar harus dimulai dengan memperkuat pilar kebangsaan, yakni Pancasila harus mampu dihadirkan secara nyata di tengah-tengah masyarakat. Bukan hanya lantang dalam pidato-pidato, bukan pula hanya dimasukkan kurikulum sebagai pelajaran moral di bangku-bangku sekolah. Sekali Iagi, negeri ini lebih membutuhkan teladan untuk membumikan Pancasila daripada sekadar memformalkannya dalam pendidikan moral Pancasila.”
Ketua Umum JAYAPERBANGSA (Jaringan Pemberdayaan Perempuan Untuk Pembangunan Bangsa), Yesri Tandiseru, memaparkan, ‘Kita harus meningkatkan peran perempuan dalam segala sektor pembangunan.Kaum perempuan adalah aset bangsa, potensi besar dan investasi yang penting bagi Indonesia, yang dapat berkontribusi besar bagi bangsa. Pemberdayaan perempuan berarti memperbaiki kualitas generasi berikutnya, karena perempuan merupakan tokoh sentral, pendidik utama di keluarga,”