Kita Semua Bersaudara” dan “Pribumi”: Perbandingan Soni Sumarsono dan Anies Baswedan di hari Pertama Pimpin DKI*

0
1519

 

 

Oleh: Yerry Tawalujan

 

Setahun yang lalu, 28 Oktober 2016, Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri, Soni Sumarsono dilantik menjadi Plt. Gubernur DKI Jakarta. Selesai dilantik sebagai Plt. Gubernur Soni Sumarsono langsung

menggebrak dan memunculkan tag-line “Kita semua bersaudara”.

 

Dalam waktu singkat semboyan yang mengusung konsep persaudaraan antar seluruh warga DKI Jakarta itu menyebar dengan cepat. Langsung menjadi viral bukan hanya di media sosial tapi sampai ke seluruh pelosok Jakarta. Hampir di setiap sudut jalan terpampang baliho “Kita Semua Bersaudara” dengan background logo merah putih, tangan yang berjabat dan kumpulan orang dengan dengan aneka warna kulit.

 

“Setiap warga Jakarta, sekalipun berbeda suku, agama, latar belakang sosial dan pendidikan, bahkan perbedaan pandangan politik sekalipun semuanya adalah saudara. Kita bersaudara sebangsa dan setanah air”, jelas Soni Sumarsono saat membagi-bagikan pin, sticker dan baliho “Kita Semua Bersaudara”.

 

Ketika ditanya lebih jauh tentang alasannya memunculkan semboyan “Kita Semua Bersaudara”, Soni Sumarsono menjelaskan: “Saya prediksi Pilkada DKI nanti akan panas  dengan berbagai issue politik, termasuk issue SARA. Oleh karena itu kita, Pemerintah perlu mendinginkan suasananya. Ibarat kalau ruangan lagi panas, diperlukan air conditioning, AC, untuk menyejukkan ruangan. Tag-line “Kita Semua Bersaudara” itulah AC-nya, pendingin suasana menghadapi Pilkada”.

 

Gebrakan Soni Sumarsono itu terbukti cukup ampuh menyatukan warga Jakarta. Sekalipun akhirnya “dikalahkan” oleh gelombang demo berbau SARA yang ujungnya berhasil menjadikan Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI Jakarta.

 

*Antara Soni Sumarsono dan Anies Baswedan: Pernyataan mempersatukan Vs. Pernyataan dikotomi pribumi non pribumi*

 

Apa yang dilakukan Soni Sumarsono di hari pertamanya menjabat Plt. Gubernur DKI berbanding terbalik dengan Anies Baswedan.

 

Dalam pidato pada acara pelantikannya sebagai Gubernur DKI Jakarta, 16 Oktober 2017, Anies Baswedan menyinggung soal pribumi yang ditindas dan dikalahkan (pada zaman kolonial).

 

Sontak pidato Anies menuai protes. Penggunaan kata pribumi dikritik banyak pihak. Tak sedikit netizen di media sosial menyebut Anies sebagai Gubernur rasis yang memecah belah persatuan bangsa.

 

Sekalipun diucapkan dalam konteks era kolonial, penggunaan istilah pribumi tetaplah tidak elok. Sebab hal itu terkesan dikotomi, memisahkan antara pribumi dan non pribumi. Pertanyaannya adalah siapa yang pribumi dan siapa yang tidak pribumi?

 

Di zaman kolonial Belanda, sebagai salah satu cara memecah belah bangsa dengan politik *_devide et impera_* (memecah belah dan menguasai), Belanda memakai istilah pribumi kepada suku-suku asli nusantara untuk membedakan dengan keturunan Cina, India dan Arab yang telah lama bermukim di Indonesia.

 

Selanjutnya penyebutan kata pribumi (dan non pribumi) menjadi sangat sensitif karena berpotensi menciptakan konflik etnis. Itulah sebabnya Presiden Habibie lewat Inpres nomor 26 tahun 1998 melarang penggunaan istilah pribumi dan non pribumi dalam semua perumusan dan penyelenggaraan kebijakan, perencanaan program ataupun pelaksanaan kegiatan penyelenggaraan pemerintah. Pelarangan itu diambil karena Habibie menilai penggunaan istilah pribumi dan non pribumi menjadi salah satu penyebab konflik horisontal bernuansa SARA di tahun 1998.

 

Instruksi Presiden Habibie itu kemudian diperkuat dengan Undang-Undang nomor 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Dalam UU itu ditegaskan semua pejabat dan warga negara dilarang menggunakan istilah pribumi.

 

*Anies Baswedan memainkan politik devide at impera, pecah belah untuk menguasai?*

 

Penggunaan istilah pribumi yang dipakai Anies kemudian memunculkan pertanyaan, apakah Anies sedang memainkan politik “belah bambu” dengan mengangkat pribumi dan menginjak non pribumi? Politik Devide et Impera khas kolonial Belanda? Pecah belah antara kaum pribumi dan non pribumi untuk mengeruk popularitas dan dukungan warga yang merasa “paling pribumi”?

 

Anies berhasil memainkan issue SARA dalam perjalanannya menduduki kursi Gubernur DKI. Gelombang demo 411, 212 dan rentetan demo susulan lainnya jelas mengangkat issue pembelaan agama.

 

Seharusnya setelah duduk sebagai Gubernur, Anies bertindak sebagai negarawan yang merangkul semua warga DKI dengan tidak mendikotomikan pribumi dan non pribumi.

 

Apakah Anies melihat Gubernur DKI hanya sasaran antara untuk mengejar posisi yang lebih tinggi, sehingga “perjuangan politik mengusung issue SARA” tetap dipertahankan?

 

*Soni Sumarsono lebih layak (didukung) dibanding Anies Baswedan*

 

Sebagaimana Indonesia yang majemuk dengan kepelbagaian suku, agama, ras, budaya dan perbedaan preferensi politik, Indonesia juga memerlukan pemimpin yang menghargai kemajemukan itu.

 

Soni Sumarsono telah membuktikan dirinya sebagai pemimpin yang mengayomi perbedaan suku, agama dan ras itu. Ketika menjabat sebagai Pj. Gubernur Sulut 2015-2016, Soni begitu dicintai oleh masyarakat Sulawesi Utara yang mayoritas Kristen. Dirjen Otda itu dikenal sangat dekat bergaul dengan masyarakat yang berbeda agama dengannya dan dikagumi sebagai pemimpin pekerja keras dengan identitas tinggi.

 

Ketika menjabat sebagai Plt. Gubernur DKI, hal yang sama terjadi pula. Dengan cepat warga Betawi jatuh hati terhadap sosok Soni. Bahkan dalam beberapa kesempatan para tokoh Betawi berharap seandainya dimungkinkan oleh aturan, langsung lantik saja Soni Sumarsono sebagai Gubernur DKI definitif.

 

Untuk Pilpres 2019, dibanding Anies Baswedan, Soni Sumarsono jauh lebih layak dimunculkan sebagai tokoh alternatif. Tentu muluk kalau dicalonkan sebagai Capres. Tapi sebagai Cawapres bisa dipertimbangkan. Minimal sebagai Menteri Dalam Negeri yang nantinya bisa memperkuat kabinet Jokowi untuk periode 2019-2024.

 

Jakarta, 18 Oktober 2017

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here