LBH PERS:  RUU KUHP MENGANCAM KEBEBASAN PERS

0
1148
Jakarta, Suarakristen.com
Jurnalis akan dikenakan pidana 5 tahun penjara jika melakuan ini …

JAKARTA- Pembahasan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) yang dibahas oleh Panitia Kerja RUU KUHP Komisi III DPR RI telah berlangsung setidaknya lebih dari 2 tahun. Sebagian besar Buku I dan II telah selesai dibahas pada Oktober 2017 ini.

Tim pemerintah sedang menelaah kembali pasal-pasal RUU KUHP melalui proofreader  yang terdiri dari beberapa akademisi ahli hukum pidana dan rencananya hari ini, Senin, 9 Oktober 2017, tim pemerintah akan menyampaikan hasil proofreadnya kepada Timus (Tim Perumus) dan Timsin (Tim Sinkronisasi) pilihan anggota Panja RUU KUHP Komisi III.

Dari pasal-pasal yang sudah selesai dibahas, terdapat di dalamnya pasal mengenai Tindak Pidana Terhadap Proses Peradilan atau contempt of court Pasal 328 dan 329 RUU KUHP yang kami anggap berpotensi mengancam kebebasan pers dan berekspresi yang sudah dijamin oleh konstitusi Indonesia.

Over Kriminalisasi
Pemerintah menyatakan bahwa Pasal 328 RUU KUHP diadopsi dari Pasal 217 KUHP. Namun, di saat yang sama, pemerintah justru tidak konsisten karena kemudian menyebutkan bahwa Pasal 328 tidak hanya ditujukan untuk kondisi dalam ruang sidang sebagaimana pengaturan Pasal 217, melainkan juga berlaku dalam seluruh proses peradilan dari penyidikan sampai dengan pengadilan. 

Di lain hal pemerintah dan DPR tidak menyadari atau tidak sama sekali membahas mengenai perbedaan ancaman pidana yang sangat jauh, yaitu tiga minggu dalam Pasal 217 menjadi 5 tahun dalam Pasal 328. 

Pasal 329 RUU KUHP
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV bagi setiap orang yang secara melawan  hukum:
c. Menghina hakim atau menyerang integritas atau sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan; atau
d. Mempublikasikan atau membolehkan untuk dipubli¬kasikan segala sesuatu yang menimbulkan akibat yang dapat mempengaruhi sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan.

Baca juga  Kemenpan RB Pastikan ASN IKN Perkuat Tata Kelola Birokrasi

Pasal RUU KUHP di atas bertentangan dengan UU Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers

Pasal 4 UU Pers
1. Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara.
2. Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau
pelarangan penyiaran.
3. Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak
mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.

Dalam Pasal 329 huruf c, diatur mengenai penghinaan terhadap hakim dan integritas hakim. Frasa integritas hakim kemungkinan besar akan menimbulkan multitafsir dan menjadi “pasal karet” sehingga berpotensi menyasar siapa saja yang mencoba mengkritisi hakim. 

Pasal 329 huruf d pasal ini sangat bersinggungan dengan kebebasan berpendapat, hak atas informasi dan kemerdekaan pers. Pasal ini seakan-akan hakim yang memihak ke salah satu pihak karena dipengaruhi oleh masyarakat atau media atau menyalahkan masyarakat yang mencoba kritis. Padahal jauh lebih dari itu sejatinya, hakim dan pengadilan justru harus mampu menerapakan prinsip independensi yang tidak bisa dipengaruhi oleh hal apapun.  

Kami melihat pengaturan secara khusus mengenai Tindak Pidana Terhadap Proses Peradilan atau contempt of court dalam RUU KUHP seharusnya tidak diperlukan. Hal ini disebabkan karena dalam sistem peradilan yang dianut di Indonesia, hakim memiliki kekuasaan yang sangat besar dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara. Sehingga apabila terdapat ketentuan mengenai tindak pidana terhadap proses peradilan (contempt of court) dalam RUU KUHP, dikhawatirkan akan semakin memperkuat kedudukan hakim dalam proses peradilan. Akibatnya, tidak ada satu lembaga atau kekuasaan pun yang dapat melakukan kontrol terhadap kinerja para hakim dalam menjalankan tugasnya. 

Pers akan menjadi sasaran “empuk”

Selain itu juga kami menilai bahwa kondisi ini bisa sangat berbahaya karena pasal-pasal yang ada dalam contempt of court  sangat sangat berpotensi melanggar kemerdekaan pers dan hak asasi manusia. Misalnya saja jurnalis dilarang untuk mempublikasikan segala sesuatu yang menimbulkan akibat yang dapat mempengaruhi sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan. Tidak ada ukuran yang jelas dan indikator bagaimana hakim bisa terpengaruhi dengan publikasi yang dimaksud, pun begitu sesungguhnya sudah ada pranata Dewan Pers yang bisa mengadili masalah pers sehingga tidak perlu ada hukum pidana.

Baca juga  Forum Penyelamat Demokrasi dan Reformasi (F-PDR) Meyakini Hakim MK Gunakan Hati Nurani dan Akal Sehat

Atas ancaman demokrasi di atas, kami sangat prihatin dan menyerukan kepada masyarakat khususnya kepada insan pers untuk memantau aktif dan memberikan masukan kepada Timus (Tim Perumus) dan Timsin (Tim Sinkronisasi) atau meminta DPR RI dan pemerintah mempertimbangkan ulang ketentuan-ketantuan yang berpotensi melanggar hak asasi manusia khususnya hak berekspresi dan kemerdekaan pers.

Jakarta, 09 Oktober 2017

Lembaga Bantuan Hukum Pers, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Federasi Serikat Pekerja Media Indonesia (FSPMI), dan AJI Jakarta
 
Narahubung:

Nawawi Bahrudin (Direktur Eksekutif LBH Pers) : 08159613469
Iman D nugroho (Ketua Bidang Advokasi AJI Indonesia): 08165443718
Samsmito M (Ketua FSPMI): 085283060088
Ahmad Nurhasim (Ketua AJI Jakarta): 081283949524​


— 

Ade Wahyudin SHI

Advocate / Staff of Research and Networking

Legal Aid Center for the Press (LBH Pers)

Jl. Kalibata Timur IV G, No. 10, Kalibata, Pancoran, Jakarta Selatan.

Telp. +6221-79183485

Email:adewahyudin901@gmail.com 

          adewkompaker@gmail.com

Mobile phone: +6285773238190

Skype: ade.wahyudin09

Website:www.lbhpers.org  

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here