Oleh: Haris Rusly
Petisi 28 dan Kepala Pusat Kajian Nusantara-Pasifik (PKNP)
Seri 2
Untuk maksud apa Tuhan yang maha besar dan maha kuasa itu harus menempuh proses yang sangat panjang, berliku dan alamiah untuk meruntuhkan kekuasaan Firaun yang kecil dan menyimpang itu?
Bukankah dengan kekuasaan Allah yang maha besar dan maha agung itu, dengan “kun fayakun”, dalam sekejap saja kesombongan Firaun yang kecil dan hina itu dapat saja dibenamkan ke dalam perut bumi.
Bukankah kekuasaan Allah itu absolut yang berdiri di luar dari hukum keduniaan, hukum sebab-akibat, dll. yang dapat saja mewujudkan seluruh kehendaknya tanpa harus melalui proses, perantara atau kehadiran seorang nabi atau rasul sebagai utusan Tuhan.
Jika kita tarik ke dalam logika keyakinan Hindu, maka akan muncul pertanyaan, untuk apa dewa Wisnu bersusah payah melakukan reinkarnasi atau penjelmaan dalam berbagai wujud di setiap zaman, hadir ke dunia, untuk memimpin mengubah keadaan sebuah masyarakat yang menyimpang dan tidak beradab.
Bukankah cukup dengan kedipan mata saja dari dewa Wisnu yang maha kuasa itu, keadaan sebuah masyarakat pasti langsung berubah menjadi lebih baik sesuai dengan kehendak para dewata.
*Everything is by Design*
Dengan berguru kepada Allah melalui kitab-kitabnya yang tidak tertulis (ayat-ayat kauniyah) dan kitab-kitab tertulis (ayat-ayat qauliyah) yang diwahyukan kepada para nabi dan rasul (Quran, Injil, Taurat dan Zabur), kita dapat belajar tentang filosofi, design dan rekayasa sebuah perubahan sosial.
Kisah tentang Nabi Musa di dalam Quran misalnya, Allah SWT menggambarkan secara sangat detail tentang sebuah filosofi, design, rencana, tahapan dan program besar untuk melakukan sebuah rekayasa perubahan sosial (social engineering), mengubah keadaan sebuah bangsa, untuk mencapai “a better life” (kehidupan bersama yang makin baik).
Dimulai dari menciptakan terlebih dahulu sebab-sebab subjektif nya yang akan bertanggungjawab mengusung rekayasa perubahan sosial tersebut, yaitu menciptakan utusannya nabi Musa yang berlangsung secara alamiah, ibunya mengandung selama sembilan bulan, lalu lahir ke dunia sebagai bayi yang tak berdaya.
Ketika nabi Musa yang masih bayi dan tak berdaya itu terancam oleh keganasan tentara Firaun, maka Allah mem-back up nya melalui memberi ilham kepada ibunya Nabi Musa untuk menghanyutkan bayinya itu ke sungai. Sang bayi Musa terapung di dalam sebuah peti dan hanyut mengikuti arus sungai menuju kolam pemandian istana Firaun.
Peti yang berisi nabi Musa yang masih bayi itu lalu ditemukan oleh istrinya Firaun, Asiyah, yang kemudian dibawanya ke dalam Istana. Di dalam istana Firaun itu, Allah juga telah menyediakan “back up”-nya, baik “back up” secara lahiriah maupun batiniah, untuk keselamatan nabi Musa, sang pelopor perubahan.
Salah satu bentuk “back up” secara batiniah adalah ketika Allah menganugerahi rasa kasih sayang di dalam hati Asiyah kepada nabi Musa yang masih bayi itu. Nabi Musa yang masih bayi itu lalu diangkat oleh Asiyah menjadi anaknya.
Tahap awal dari design dan rencana besar Allah sebagai sang maha dalang untuk menenggelamkan kesombongan Firaun itu telah berhasil dilalui secara alamiah, yaitu disusupkannya nabi Musa masuk ke dalam lingkaran inti menjadi bagian dari keluarga Firaun.
Penggalang kisah nabi Musa di atas telah menjelaskan dan mengajarkan kepada kita tentang bagaimana Allah membuat design dan rencana yang berlangsung tahap demi tahap, berjalan sangat alamiah dan sempurna.
Di dalam filosofi British Intelligence disebut “everything is by design”, tak ada celah dari sebuah tindakan yang terjadi di luar dari sebuah perencanaan. Seluruh tahapan dan langkah yang terjadi adalah manifestasi dari sebuah design atau rancangan besar untuk mencapai tujuan dari sebuah perubahan.
Dalam bahasa Quran dikatakan “wa makaru wa makarallah wallahu khairul makirin” (mereka membuat rencana, Allah juga membuat rencana. Sesungguhnya rencana Allah adalah sebaik-baiknya rencana).
*Kapasitas dan Karakter Dibentuk Melalui Pertarungan dan Pengorbanan*
Kembali kepada pertanyaan di awal tulisan ini, kenapa dan untuk apa Allah harus mengutus para nabi dan rasul untuk berjuang, bertarung dan berkorban menghadapi berbagai resiko dan ancaman untuk mewujudkan misi Allah di muka bumi?
Demikian juga, jika menggunakan logika agama Hindu, untuk maksud apa dewa Wisnu yang maha kuasa itu harus melakukan reinkarnasi dalam berbagai wujud di setiap zaman, terutama ketika datang zaman kegelapan?
Salah satu maksudnya lantaran masalah yang diciptakan dan ditimbulkan oleh manusia harus dihadapi dan diselesaikan sendiri oleh manusia, dengan menggunakan logika, hukum dan cara-cara sebagai manusia. Masalah yang ditimbulkan dan dihadapi oleh manusia tak mungkin diatasi dengan logika, hukum dan cara-cara di alam malaikat dan atau alam dewata.
Tuhan yang maha bijaksana itu bermaksud mengutus para nabi dan rasul untuk mendidik, menggembleng dan menempa jiwa manusia yang bebal, kerdil dan berkarat tersebut melalui sebuah proses perjuangan, pertarungan dan pengorbanan.
“Sesungguhnya pengorbanan dan penderitaan adalah faktor terpenting yang membentuk pondasi peradaban umat manusia”.
Setiap pengorbanan dan penderitaan akan mengkristalkan nilai-nilai Ketuhanan, kemanusian dan keadilan di dalam jiwa manusia. Jiwa manusia akan merasakan langsung keterbatasannya sebagai makhluk ciptaannya ketika ditempa oleh penderitaan karena pengorbanan untuk mewujudkan nilai-nilai ilahiah.
Jika saja Tuhan Yang Maha Kuasa itu bertindak secara “instan” dan “kampungan”, tujuannya semata merubah keadaan sebuah masyarakat yang nista menjadi menjunjung tinggi nilai-nilai. Maka dengan sifatnya yang maha perkasa tersebut, dalam sekejap sebuah masyarakat dapat disulap berubah menjadi lebih baik dan beradab.
Namun tidak demikian, karena sesungguhnya jiwa manusia juga dalam kekosongan di saat penciptaan, seringkali berkarat, bebal dan kerdil seiring perubahan lingkungan zaman. Persis seperti batangan besi yang berkarat yang harus dibakar dan ditempa berulangkali untuk menghasilkan sebilah pedang atau keris yang tajam menghunus.
Tuhan yang maha bijaksana tak mendidik dan membentuk kapasitas dan karakter manusia melalui kemenangan dan kesenangan. Melalui proses pertarungan, pengorbanan, silih berganti kalah dan menang, silih berganti penderitaan dan kebahagian, setiap “up and down” kehidupan itu terkadung upaya sang maha pencipta untuk mendidik dan membentuk kapasitas dan karakter jiwa manusia, baik karakter sebagai individu maupun sebagai masyarakat.
*Nabi Diutus untuk Mendidik Jiwa Manusia Mengubah Sendiri Nasibnya*
Melalui diutusnya para nabi dan rasul atau melalui reinkarnasi dewa Wisnu dalam berbagai wujud di setiap zaman, jiwa manusia juga dididik dan ditempa untuk mengubah sendiri nasibnya, tidak bersikap fatalis, bertapa sambil menanti hadiah perubahan nasib yang turun dari langit, tanpa perjuangan, pertarungan dan pengorbanan.
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu sendiri mengubah apa yang ada pada diri mereka”.
Ratusan nabi dan rasul telah diutus membawa wahyu dari Allah, berjuang, bertarung dan berkorban melawan kedzaliman dan meluruskan arah sejarah yang menyimpang.
Perhatikan penggalangan kisah nabi Musa yang dikutip atas, walaupun pertolongan atau ‘back up” dari Allah senantiasa datang menyertai setiap kesulitan dan ancaman yang dihadapi.
Namun, sejak masih bayi, nabi Musa tetap menempuh perjuangan yang melewati tahap-tahap yang alamiah, penuh pertarungan yang beresiko, yang menuntut jiwa berkorban untuk mengubah sendiri nasib kaumnya, bani Israel, yang ditindas dan diperbudak oleh Firaun.
“Tak ada yang ‘instan’ untuk membentuk manusia dan bangsa yang berkarakter (nation character building). Tak ada yang ‘siap saji’ dalam mencapai sebuah masyarakat yang adil, makmur dan beradab”.
Pada suatu zaman ketika jiwa umat manusia telah berkarat, kerdil, lemah, diperbudak tak berdaya menghadapi raja setan Rahwana atau Prabu Dasamuka, maka dewa Wisnu melakukan reinkarnasi dalam wujud Rama. Reinkarnasi tersebut bermaksud mendidik dan membentuk karakter jiwa manusia untuk bekerjasama, bergotongroyong, bertarung dan berkorban mengubah sendiri nasibnya.
Demikian juga untuk tujuan menempa dan menggembleng jiwa manusia melalui perjuangan, pertarungan dan pengorbanan, maka dewa Wisnu melakukan reinkarnasi untuk kesekian kalinya dalam wujud Sre Kresna, yang sangat cerdik men-design, merancang dan menciptakan seluruh sebab dan syarat bagi terwujudnya sebuah perang saudara, bharatayudha, antara Pandawa versus Kurawa.
“…Manakala kebenaran merosot dan kejahatan merajalela, pada saat itu aku akan turun menjelma (reinkarnasi) ke dunia. Untuk menyelamatkan orang-orang baik yang ditindas dan membinasakan orang-orang jahat. Untuk menegakan kembali kebenaran, aku sendiri akan menjelma dalam berbagai wujud dari zaman ke zaman…” (Sre Kresna di dalam kitab Bhagawad Gita).
Karena itu, dalam suasana memperingati Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang ke-72, kita patut merenungkan terkait realitas musnahnya jiwa kejuangan para pendiri bangsa yang bertarung dan berkorban untuk mewujudkan kemerdekaan bangsa Indonesia.
Bangsa Indonesia, khususnya para pemuda, kini tak punya lagi kapasitas moral dan karakter kejuangan, tak sanggup lagi bangkit menghadapi predator zaman kegelapan yang sangat keji dan kejam dalam memangsa.
*Jiwa pemuda Indonesia harus kembali digembleng dan ditempa di dalam kawah candradimuka, agar lepas dari belenggu jiwa-jiwa budak dan bebal. Bangkitkan kembali jiwa yang berkobar-kobar berjuang, bertarung dan berkorban untuk terwujudnya bangsa yang berdaulat, mandiri dan berkepribadian, yang terbebas dari segala bentuk penjajahan asing.*