Jakarta, Suarakristen.com
‘Rehabilitasi merupakan suatu proses upaya pemulihan yang dilaksanakan dengan sasaran para pecandu, penyalahguna dan korban penyalahgunaan narkoba. program rehabilitasi idealnya merupakan sebuah program yang komprehensii yang dapat memfasilitasi proses pemulihan bagi setiap pasien/klien.
Indonesia sudah mengenal rehabilitasi sejak lama, bahkan sejak tahun 1976 UU Narkotika sudah mengatur mengenai rehabilitasi bagi pecandu narkoba.. Sayangnya, hal ini tidak diimbangi dengan peningkatan kompetensi dan kualitas program rehabilitasi yang ada saat itu. Pada masa itu. masyarakat ]auh lebih akrab dengan rehabilitasi berbasis pendekatan agama, supranatural atau cara militer.
Masih sangat banyak pihak yang melihat penggunaan narkoba dari perspektif moral dan hukum. Penyalahgunaan narkoba adalah tindakan yang tidak bermoral dan melanggar hukum, persepsi ini pula yang akhirnya menimbulkan stigma dan diskriminasi bukan hanya terhadap pengguna namun juga kepada orang-orang terdekatnya.” demikian disampaikan Subhan Panjaitan dari Rumah Cemara, dalam Media Briefing Narkotika Fidelis dan Perlindungan Pengguna Narkotika, di Restoran Bakoel Koffie, Cikini, Jakarta (2/8/17)
Tegas Subhan Panjaitan lebih lanjut,”Program rehabilitasi masih dianggap “penyembuh” pecandu narkoba, hal ini yang sebenarnya bertentangan dengan definisi dari adiksi itu sendiri yang merupakan gangguan otak kronis yang bersifat kambuhan. Mewajibkan lembaga rehabilitasi agar dapat membuat seorang pecandu berhenti total dari penggunaannya sama dengan memaksakan agar setiap dokter dan rumah sakit menyembuhkan penyakit yang diderita pasien. Fungsi lembaga rehabilitasi hanyalah memfasilitasi proses pemulihan yang dilakukan oleh setiap pasien/klien berdasarkan kebutuhannya masing-masing.
Kelemahan dari implementasi rehabilitasi yang ada saat ini adalah masih minimnya jumlah pemberi layanan yang berbasis bukti. Mayoritas penyedia layanan rehabilitasi yang ada menerapkan program pendekatan kelompok (therapeutic community) yang penulis nilai masih membutuhkan peningkatan di setiap lini. Perkembangan pasien yang tidak terukur, kompetensi SDM yang perlu ditingkatkan serta minim pendekatan individu.
Saat ini, dukungan atas program rehabilitasi di indonesia sangat besar. Tiga kementerian yang berwenang (Kemenkes, Kemensos dan BNN) turut bertindak selaku implementor dari program rehabilitasi yang dijalankan oleh Pemerintah dan Komponen
Masyarakat. Sayangnya, besarnya atensi pemerintah tidak diimbangi dengan optimalnya sinergi di antara instansi berwenang ditambah masih rancunya pengaturan mengenai pelaksanaan rehabilitasi.
Sementara itu, Dhira Narayana, Ketua Lingkar Ganja Nusantara, menyatakan,”Hari ini 2 Agustus 2017 di Pengadilan Negeri Sanggau, Kalimantan Barat. Fidelis akan mendengarkan putusan hakim. Tepat 1 minggu sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum menuntut pria yang menanam 39 pohon ganja untuk mengobati istrinya itu dengan tuntutan selama 5 bulan dan denda 800 juta rupiah subsider 1 bulan penjara. Tuntutan tersebut diluar dugaan banyak pihak mengingat UU Narkotika No 35 Tahun 2009 pasal 111 ayat 2 yang menyatakan bahwa menanam pohon ganja di atas 5 batang dikenakan hukuman pidana minimal 5 tahun dan maksimal seumur hidup.”
Lingkar Ganja Nusantara (LGN) merasa lega mendengar tuntutan tersebut. Inilah bukti nyata kekuatan cinta. Karena cinta seorang Fideiis terhadap almarhum istrinya, Yeni, hukum positif dapat diluluhkan. Walaupun vonis belum dibacakan, kami lega mendengar secercah harapan,” ungkap Dhira Narayana, Ketua LGN.
LGN berharap Fideiis mendapat keputusan yang adil dari hakim. “Kami berdoa agar Fideiis dibebaskan dari segala tuntutan hukum dan segera dikembalikan ke keluarganya. Apabila beliau masih mau menjadi PNS, dikembalikan haknya.’ tambah Dhira.
LGN juga berharap ada langkah nyata dari pemerintah untuk mengakomodir warga negaranya yang ingin menggunakan ganja sebagai terapi kesehatan, seperti yang dilakukan Fidelis terhadap almarhumah istrinya. Oleh karena itu, pemerintah harus memprioritaskan revisi UU Narkotika terutama yang mengatur ganja untuk pengobatan. Langkah sederhana yang paling mudah dan murah untuk dilakukan pemerintah pusat adalah menjalankan MoU riset ganja antara Yayasan Sativa Nusantara dengan Kemenkes Ri.’
”Terakhir, pintu LGN terbuka apabila Fidelis ingin ambil andil dalam perjuangan anak bangsa yang bercita-cita mengelola pohon ganja sesuai ajaran Pancasila. Kami tidak ingin pohon ganja selamanya dikuasai pasar gelap narkotika. Kami ingin pohon ganja dapat mengobati. Semoga Fidelis mau bergabung dengan tim kami,” tutup Dhlra Narayana
Tampil sebagai Pembicara yang lain adalah Dr. Asmin Fransiska dan Erasmus Napitupulu.
(Hotben)