Kosa kata amat penting dalam dunia manusia adalah *hidup* dan *mati*. Kedua kata itu seakan dua tonggak yang menghunjam di pelataran sejarah manusia, dan diantara kedua tonggak itulah manusia mengukir karya terbaiknya. Durasi atau jarak perjalanan dari tonggak H ke tonggak M itu amat relatif dan tak ada rumus baku tentang itu yang mampu dibuat manusia. Durasi itu tidak terukur atau terstandar, tidak karena prestasi, amal, kebajikan, suku, agama, ras, antar golongan, afiliasi politik, strata sosial dan atau apapun juga. Umat beragama memahami bahwa durasi kehidupan manusia itu menjadi ranah Sang Maha Pencipta, hal itu menjadi hak prerogatif Tuhan Yang Maha Esa.
Dengan memahami dan menyadari dengan baik bahwa durasi hidup manusia berada dalam ranah Sang Maha Pencipta dan tidak berada dalam kompetensi manusia, maka manusia seharusnya hidup dalam ketaatan yang penuh kepada Kuasa Transensenden, Sang Maha Pencipta. Manusia harus makin memahami kediriannya, bahwa ia manusia fana dan terbatas, manusia yang digelimangi berbagai kelemahan, manusia yang _rapuh_ dan _fragile_ dalam hal-hal tertentu; manusia yang tak mampu mewujud karakter khalifah Allah dan imago Dei.
Realitas manusia yang lemah, rapuh dan fragile terlepas dari kemampuan intelektual serta harta kekayaan yang mereka miliki, membutuhkan adanya ‘nilai-nilai unggulan’ dalam kedirian manusia. Dalam diri manusia harus ada nilai-nilai Kasih, Sukacita, Damai-Sejahtera, Kesabaran, Kemurahan, Kebaikan, Kesetiaan, Kelemahlembutan, Penguasaan diri.
Dalam menyusuri perjalanan dari tonggak H menuju tonggak M itu manusia menabur kebajikan, beramal saleh, melakukan hal-hal yang positif demi kemaslahatan orang banyak. Kesembilan nilai unggul sebagaimana disebutkan diatas harus benar-benar menjadi habitus umat sehingga melaluinya kedirian manusia mampu menjadi teladan dan bisa menjadi ‘investasi’ untuk memasuki tonggak M. Persoalannya adalah bahwa manusia hidup dalam sebuah komunitas dan berinteraksi dengan banyak orang dari beragam karakter dikomunitas itu. Nilai unggul yang 9 butir itu(bahkan bisa lebih) memang tidak terlalu mudah untuk mengimplementasikannya apalagi dalam sebuah masyarakat yang makin *sangar* dan kasar yang melahirkan berbagai kekerasan.
Para tokoh masyarakat, pendidik, politisi, pejabat publik kita harapkan dapat memberikan keteladanan hidup yang signifkan utamanya bagi generasi muda kita, yang secara teoritik, durasi hidupnya relatif lebih lama ketimbang para warga berusia lanjut. Kejujuran, kebaikan hati, apresiasi terhadap keberagaman harus bisa kita wujudkan dalam kenyataan praktis. Cerita-cerita tentang kebaikan hati dan kejujuran bisa kita gali dari banyak pengalaman diberbagai tempat.
Kisah tentang kejujuran dari zaman baheula berikut ini bisa menjadi inspirasi untuk kita di abad modern sekarang. Adalah Dr Smollet yang tergerak memberikan sedekah kepada pengemis yang menemuinya di restoran. Oleh karena tak fokus maka yang diberikan pak Smollet kepada pengemis bukanlah uang tapi sebutir mutiara. Ia memang keliru karena kondisinya terburu-buru. Pengemis miskin itu baru sadar ketika kemudian melihat bahwa benda itu amat mahal dan ia merasa tak layak menerimanya. Ia kemudian berupaya mencari Dr Smollet untuk mengembalikan benda itu. Untunglah ia masih berhasil bertemu Dr Smollet. Dr Smollet ternyata bukan hanya menolak pengembalian mutiara itu tetapi malahan memberikan lagi sebutir mutiara kepada sang pengemis sambil berkata : “Betapa jujurnya orang ini!”
Pepatah yang kita kutip diawal bagian ini mengingatkan agar kita hidup dengan selalu *waspada akan kematian* ! Waspada artinya siuman, sadar, dalam kondisi siaga, stand by. Tidak tenggelam dalam kerutinan dan kekinian, eling dan ingat bahwa hidup ini temporer dan kematian dipastikan akan datang. Waspada tidak hanya menghitung waktu, menjaga kesehatan. Waspada artinya juga _memelihara iman_, menjauhkan diri berbagai perbuatan melawan hukum, dan melanggar ajaran agama. Tidak melakukan perbuatan suap, korupsi, mendiskriminasi, melanggar HAM, teror, membunuh, cyber crime, dan berbagai tindak kejahatan lainnya. Berbuat baiklah, bertobatlah, lakukanlah *metanoia*!
Selamat Berjuang. God bless.
Weinata Sairin.