Kritik Terhadap LGBT: Menyoal Nihilnya Basis Moral dan Kebermanfaatan Penyimpangan Seksual
Oleh: Kenny Setya Abdiel
Penyalahgunaan fungsi seksual pada dasarnya mendatangkan kehancuran diri sendiri.
Sore itu, mahasiswa sosial-politik dari kampus negeri kenamaan menerima materi asing yang diberikan dua dosen berhaluan liberal-progresif. Dalam kelas “indoktrinasi” tersebut, mahasiswa diminta untuk mengakui bahwa jenis kelamin biologis yang didapat dari lahir bukanlah satu-satunya aspek yang membentuk identitas seksual manusia. Menurut kedua dosen tersebut, ada faktor lain yang bersifat lebih lentur yaitu gender.
Pemisahan antara jenis kelamin atau sex dengan gender ini menjadi salah satu strategi yang kerap digunakan gerakan Lesbian, Gay, Bisexual, & Transgender (LGBT). Strategi “convincing through complexity” ini bertujuan untuk membingungkan audiens mereka agar malas berpikir, lalu menganggap argumen mereka ilmiah, dan akhirnya mau menerima perilaku LGBT.
Dalam dunia LGBT atau queer, gender dianggap sebagai sebuah ekspresi seksual yang muncul secara natural dan tidak harus selaras dengan jenis kelamin biologis dari lahir. Dengan demikian, adalah wajar bagi laki-laki jika merasa dirinya adalah perempuan—atau sebaliknya—bahkan melakukan operasi untuk menghilangkan organ seksual yang melekat agar dapat menyerupai jenis kelamin lainnya.
Kenyataannya, perilaku LGBT tidak pernah dianggap normal sampai American Psychriatic Association mengeluarkannya dari daftar gangguan jiwa pada 1974 untuk homoseksualitas dan transgenderisme di tahun 2013. Keputusan ini tidak lain akibat tekanan politik gerakan LGBT. Namun klaim normal ini tetap tidak pernah dibuktikan secara ilmiah baik dari segi psikologi, biologi, dan sosial. Dengan kata lain, normalisasi didasarkan pada delusi saja dan kultur LGBT tetaplah rapuh.
Kelompok LGBT memiliki argumentasi yang cukup luas yang didesain untuk menyasar setiap segmen publik yang menolaknya. Di Indonesia, kelompok LGBT memang tidak menuntut diakui secara legal tetapi berusaha mempengaruhi persepsi publik misalnya dengan mengatakan bahwa perbuatan mereka tidak menyakiti dan merugikan siapapun sehingga masyarakat tidak perlu mencampuri perkara mereka. Sedangkan di negara yang cukup liberal, kelompok LGBT akan membingkai dirinya sebagai korban kekerasan sistemik masyarakat yang bigot sehingga kepentingan mereka adalah sebuah hak asasi manusia (HAM) termasuk tuntutan legalitas pernikahan sejenis.
Namun mari kita lihat apakah benar perilaku LGBT tidak menyakiti siapapun dan layakkah diklaim sebagai HAM?
Hak untuk menyakiti diri sendiri
Populasi LGBT di AS empat tahun ke belakang berjumlah 4,5 hingga 5,6 persen dari total penduduk. Namun di tahun 2019, angka tersebut menyumbang 69 persen keseluruhan infeksi baru dari HIV/AIDS di AS yang utamanya berasal dari hubungan seks sesama laki-laki. Artinya, laki-laki pelaku seks sejenis akan mengalami risiko terjangkit HIV/AIDS setidaknya 44 kali lipat lebih besar dibanding laki-laki heteroseksual.
Sedangkan tindakan untuk merekayasa organ seksual juga bukanlah hal yang bisa dianggap sehat. Sebuah pengangkatan organ seperti payudara maupun testis yang masih sehat dan fungsional tentunya tidak sesuai dengan etika medis dan justru dapat diartikan merusak tubuh.
Dengan kenyataan ini, klaim bahwa LGBT tidak menyakiti siapapun sudah terbantahkan. Kelompok LGBT mungkin merasa tidak menyakiti orang di sekitarnya tetapi setidaknya mereka perlu sadar bahwa mereka menyakiti diri sendiri.
Kalau demikian, maka perilaku LGBT sama sekali bukan HAM karena bagaimana bisa seseorang mempunyai hak untuk melakukan sesuatu yang jelas-jelas itu menyakiti diri sendiri? Membiarkan manusia menggunakan narkoba karena keinginannya bukanlah sebuah bentuk penegakan HAM.
Mengacaubalaukan tatanan sosial
Kultur LGBT akan merusak tatanan kehidupan normal manusia dengan istilah-istilah buatan yang tidak masuk akal mulai dari cisgender, agender, non-binary, gender-fluid, maupun queer. Menarik juga bahwa istilah ‘queer’ yang dibanggakan kelompok LGBT justru dibuat untuk menggantikan sebutan ’aneh’ atau ‘ganjil’ kepada orang yang mempunyai perilaku seksual menyimpang.
Seharusnya dengan logika ini, seorang pedofilia maupun yang melakukan hubungan seksual dengan non-manusia entah benda mati atau hewan di mata LGBT tentu juga layak menyandang predikat kebanggaan ‘queer’. Tidak ada yang salah kan di mata LGBT selama seseorang menganggap dorongan seksual semacam itu timbul secara natural dalam dirinya? Apakah bagi mereka penyimpangan semacam itu juga HAM?
Ada pula permainan pronouns yaitu bahwa he/him juga bisa dipakai seseorang yang secara biologis lahir sebagai perempuan dan sebaliknya atau bagi orang yang tidak mau masuk kategori laki-laki dan perempuan dapat menggunakan they/them. Semua hal ini terjadi utamanya di tengah masyarakat yang lebih liberal seperti di AS.
Gempuran istilah ini telah mengacaukan hubungan sosial dan komunikasi baik di lingkungan pendidikan, masyarakat, bahkan pemerintahan.
Sedangkan di Indonesia, masalah mungkin baru muncul ketika kita misalnya bertemu banci dan bingung harus memanggilnya ‘mas’ atau ‘mbak’. Jika memanggil banci tersebut dengan ‘mbak’, maka itu juga bukan sebuah bentuk penghormatan karena justru membiarkan si banci larut dalam delusi penyangkalan.
Imbas nyata lainnya dari penerimaan terhadap kultur LGBT yang bisa kita lihat adalah diperbolehkannya atlet laki-laki untuk berkompetisi di kelompok perempuan. Tahun 2021 lalu mungkin menjadi sedikit momen kemenangan LGBT karena untuk pertama kalinya terdapat biological male yang secara terbuka dapat berkompetisi pada kelompok perempuan di perhelatan Olimpiade.
Atlet laki-laki bernama Gavin “Laurel” Hubbard tersebut memang tidak mampu memenangi cabang olahraga angkat besi meski semua semua pesaingnya adalah perempuan. Namun fenomena ini tetap membuat kompetisi olahraga yang menerapkan penyimpangan serupa menjadi tidak adil.
Misalnya pada kompetisi Ivy’s League Swimming Championship di AS Februari 2022 lalu. Seorang atlet laki-laki lainnya bernama William “Lia” Thomas akhirnya berhasil memenangkan sebuah kompetisi renang perempuan setelah selama tiga tahun karir atletnya pada kelompok laki-laki hanya sebatas medioker. Masuknya atlet laki-laki ke kelompok perempuan, hanya karena mereka merasa dirinya perempuan, pada akhirnya juga memantik kecaman dari perempuan tulen yang tidak terima karena merusak esensi dari ajang olahraga yang fair. Beberapa bahkan membawa masalah ini ke ranah hukum.
Jika kultur LGBT ini ternyata dapat dimanfaatkan untuk kepentingan politik agar seorang laki-laki bisa memenangkan pertandingan dengan alibi inklusivitas, tidak mustahil juga jika ada laki-laki sakit mental lainnya yang ingin menjadi perempuan hanya agar dapat masuk toilet atau ruang ganti perempuan dan memuaskan hasratnya.
Bukankah semuanya ini justru merendahkan martabat perempuan dan dapat dilabeli sebagai kekerasan terhadap perempuan? Perempuan normal yang jujur tentu tidak akan merasa aman jika ada seorang laki-laki berada di toilet atau ruang ganti mereka meskipun ia seorang banci.
Pentingnya fakta di atas perasaan
Saya di sini sama sekali tidak melakukan dehumanisasi terhadap LGBT dan tidak mengajak siapapun untuk membenci dan menghindari mereka.
Justru saya berusaha mempertahankan martabat manusia mereka dengan memberi fakta ini. LGBT harus sadar bahwa mereka tidak akan pernah mempunyai argumentasi yang valid dan dapat diterima.
LGBT bukanlah sesuatu yang natural meskipun yang mengalami masalah mental ini menganggapnya demikian. Kenyataannya, teman-teman LGBT yang saya temui selalu berangkat dari cerita yang sama bahwa mereka justru baru merasakan dorongan penyimpangan seksual ini ketika remaja bukan dari kanak-kanak. Beberapa bahkan menyebut bahwa mereka dulunya korban kekerasan seksual dari pelaku homoseksual yang lebih tua.
Artinya, selalu ada kaitan antara seseorang menjadi LGBT dengan kekerasan baik seksual, sosial, emosional, maupun paparan informasi ngawur yang selalu membenarkan dorongan penyimpangan seksual. Tidak sedikit propaganda dari gerakan LGBT yang membangun narasi bahwa depresi, anxiety, maupun mental health conditions yang populer di kalangan muda adalah imbas dari penyimpangan seksual mereka yang dipendam dan solusinya adalah “coming out as queer!”.
Konstruksi sosial semacam ini berbahaya jika terdapat orang yang tidak stabil mentalnya lalu menelan mentah-mentah dan beralih menjadi LGBT setelah seumur hidupnya tidak pernah merasakan dorongan penyimpangan seksual. Kelompok liberal-progresif selalu menggaungkan pentingnya menyadari masalah mental health tetapi menolak diagnosis sakit mental terhadap seseorang yang bingung akan dirinya sehingga melahirkan keputusan untuk melakukan penyimpangan seksual.
Tidak harus beragama dan bertuhan untuk melihat kerapuhan kultur LGBT. Mau tidak mau, LGBT tetaplah sebuah anomali di tengah masyarakat bahkan yang non-religius sekalipun. Kultur dan perilaku LGBT bukanlah sebuah variasi dalam aktivitas seksual. Tidak ada landasan moral yang dapat menjustifikasi LGBT.
Secara biologis reproduksi manusia, LGBT tidak fungsional, bahkan cenderung destruktif. Sedangkan dalam aspek sosial, LGBT akan mengacaukan tatanan normal kehidupan manusia dalam hal komunikasi, privasi, maupun lainnya.
Setiap orang yang berperilaku LGBT selalu lahir dari hubungan heteroseksual. Jadi dalam dunia seksual, LGBT bukanlah first cause karena ia selalu dependen terhadap keberadaan relasi seksual yang normal dalam hubungan heteroseksual.
Untuk itu, saya mengajak teman-teman LGBT untuk sekali lagi mempertanyakan posisi kalian. Setelah menerima fakta pahit ini, masihkah kebebasan semu yang kalian kira memberi kepuasan itu perlu dipertahankan? Bukankah kalian justru tidak bebas karena berada dalam perjalanan pasti menuju kehancuran diri sendiri?