Agama dan Budaya Wayang

0
438

Agama dan Budaya Wayang

Penulis : Jeannie Latumahina
(Ketua Relawan Perempuan dan Anak Perindo)

Jakarta 15 Februari 2022

Untuk kesekian kalinya lagi-lagi kembali dikejutkan dengan pernyataan-pernyataan yang membuat kegaduhan terlebih lagi semakin sering pada akhir-akhir ini dikait-kaitkan dengan agama dan budaya.

Kalau belum lama ini saja kita dibuat heboh pernyataan yang terkait dengan Undang-Undang Ibu Kota baru, dan kemudian membangkitkan kemarahan masyarakat adat Dayak se Kalimantan oleh sebab adanya penghinaan juga penistaan terhadap suku dayak.

Kali ini kembali diwarnai kehebohan lagi karena seorang agamawan yang mengatakan salah satu bentuk taubat diantaranya dengan tidak lagi menekuni seni wayang, bahkan perlu dimusnahkan sebagai bentuk taubat.

Tentu saja hal demikian membangkitkan kemarahan terutama kalangan budayawan, dan pelaku seni pewayangan atau pedalangan. Karena jelas wayang tidak sekedar benda mati, melainkan memiliki filosofi luhur kebudayaan bangsa.

Bahkan pada awal mula kedatangan agama Islam di wilayah Indonesia, menggunakan wayang sebagai sarana syiar dan dakwah Islam kepada masyarakat yang belum mengenal Islam.

Seni wayang dengan tokoh-tokoh wayang yang sebelumnya adalah sarana dakwah agama Hindu, kemudian berubah sebagai sarana syiar dan dakwah Islam dengan menambahkan tokoh-tokoh baru, mitologi baru dan kisah baru dalam seni pewayangan.

Ada berbagai macam profile tokoh-tokoh wayang dengan filosofinya hidup dalam keseharian masyarakat Indonesia, sehingga sampai sekarang juga dipergunakan sebagai nama-nama orang seperti nama Gatot, Nawangwulan, Sri dsb.

Dunia wayang di Indonesia sangat kental dengan budaya di pulau Jawa, sehingga akhirnya digunakan sebagai alat syiar dan dakwah, melalui berbagai macam modifikasi kisahnya. Sebagai contoh kisah Punakawan, Jimat Jamus Kalimosodo dsb.

Hal demikian yang dilakukan oleh para Wali ketika melakukan syiar dan dakwah Islam di pulau Jawa, untuk dapat diterima oleh masyarakat di pulau Jawa. Apa yang dilakukan oleh para Wali dengan kata lain adalah bentuk dari inkulturasi budaya.

Baca juga  Diskusi RUKKI: Menyoal Merek, Golongan, dan Jumlah Rokok dalam Pengawasan Kemasan Rokok Standar/Polos: Benarkah perlu?

Yaitu kultur yang baru masuk kedalam kultur yang telah ada dan hidup dalam budaya masyarakat setempat. Sehingga secara perlahan menjadi bentuk kultur baru yang lebih baik dan memperkaya kultur yang sebelumnya.

Hal yang mungkin masih dapat di-ingat bagaimana pada awal mulanya pemerintah menggerakkan masyarakat Papua untuk terbiasa mengenakan pakaian. Tentu saja tidak dengan cara memaksakan, melainkan mengajarkan mengenai kesehatan yang pada akhirnya menyadarkan masyarakat Papua untuk mulai mengenakan pakaian sebagai bentuk menjaga kesehatan dari penyakit.

Lalu apakah kemudian Koteka, Noken harus dimusnahkan dari budaya Papua?…. Tentu saja tidak, Koteka dan Noken tetap ada sebagai ingatan akan sejarah budaya masyarakat Papua sebagai simbol identitas.

Demikian juga seharusnya yang dilakukan oleh para Dai dalam melakukan syiar dan dakwah Islam dalam hubungan dengan kebudayaan wayang. Tentunya bukan dengan cara dibenturkan nilai-nilai yang sudah ada hidup dengan nilai-nilai baru yaitu Islam.

Ketika bicara mengenai Wayang, artinya masuk dalam relung-relung budaya. Dan jika kemudian dihubungkan dengan Islam.

Bukan wayangnya yang harus dihilangkan, apalagi dimusnahkan, sebagai bentuk pertobatan. Namun sebaiknya adalah melakukan gerak inkulturasi budaya dalam pewayangan dengan menghilangkan hal-hal negative ketika adanya gelar acara wayang.

Apa saja yang disebut negative, yaitu kegiatan yang bisa jadi ada melekat pada budaya setempat seperti ritual bakar kemenyan, sabung ayam, minuman keras yang jelas dapat membuat tindakan atau berdampak menjadi ekses kejahatan.

Sama seperti budaya setempat yang baik yaitu puasa Senin, Kamis tentu saja tidak untuk dihilangkan dari budaya masyarakat, bahkan perlu untuk dimaknai dan ditambahkan lebih jauh sesuai dengan syiar dan dakwah kepada masyarakat.

Sungguh perlu disadari bahwa kebudayaan adalah bentuk dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, sebagai hasil daripada nilai “Kecerdasan dan Kesadaran” masyarakatnya.

Baca juga  Dewan Pengurus Kadin Indonesia: Pengumuman Kepengurusan Kadin Hasil Munaslub Langgar Kesepakatan

Dan Agama tentunya adalah keyakinan untuk membuat peradaban manusia menjadi lebih unggul, lebih cerdas atas dasar kesadaran yang ada di dalam agama. Dinamika peradaban manusia setiap saat tumbuh dan berkembang.

Sehingga dalam hal ini agama memiliki peranan besar dalam kehidupan umat manusia, yang tentu saja menjadi sebagai dasar keyakinan dalam berbangsa dan bernegara.

Tentu saja kita semua tidak menginginkan ada kegaduhan yang tidak mencerahkan, akibat ketidak pahaman dan ketidak mampuan dalam membangun kecerdasan dan kesadaran sebagai bentuk adanya iman. Kita semua tentu sangat mencitakan-citakan mampu menjadi manusia yang beriman melalui agama yang dianut masing-masing.

Menjadi sadar dan cerdas, adalah kesatuan yang tidak terpisahkan. Cerdas tanpa kesadaran adalah bencana, demikian juga sadar tetapi tidak cerdas juga berpotensi menjadi bencana untuk peradaban manusia, terlebih dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang terdiri atas masyarakat yang majemuk atau plural.

Jakarta 15 Februari 2022

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here