LSM IAC Minta Negosiasi E-Katalog Obat ARV 2021-2022 Berjalan Transparan dan Akuntabel

0
486

LSM IAC Minta Negosiasi E-Katalog Obat ARV 2021-2022 Berjalan Transparan dan Akuntabel

 

Jakarta, Suarakristen.com

 

Pemilihan penyedia obat-obatan melalui jalur e-katalog seperti yang diumumkan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) diminta berjalan secara transparan dan akuntabel. Proses pengadaan obat-obatan tahun 2021-2022 dengan menggunakan dana pemerintah ini juga diharapkan menghasilkan harga obat yang paling rasional.

Hal ini disampaikan Aditya Wardhana, Direktur Eksekutif Indonesia AIDS Coalition (IAC), sebuah LSM yang bekerja untuk pemantauan akses obat esensial, di Jakarta, Selasa (17/12).

“Fokus kami saat ini mengawasi agar obat ARV jenis kombinasi dosis tetap TLE (Tenofovir, Lamivudine, Efavirenz) dan TLD (Tenofovir, Lamivudine, Dolutegravir) bisa terdaftar di e-katalog terbaru ini dengan harga yang paling rasional,” katanya.

Aditya menambahkan, dua jenis obat ARV kombinasi dosis tetap tersebut menjadi tulang punggung keberhasilan program penanggulangan AIDS di Indonesia. “Saat ini ada lebih dari 80 ribu orang dengan HIV-AIDS (ODHA) yang mengonsumsi obat ARV dengan jenis kombinasi ini,” jelasnya.

Seperti diketahui, sejak tahun 2016, rejimen obat ARV jenis TLE yang dibeli menggunakan dana APBN harganya mencapai Rp.405.000. Pada pengadaan tahun 2020, harganya turun menjadi Rp.204.000. Hal ini menurutnya menjadi berita yang menggembirakan. Dengan harga yang turun, maka alokasi anggaran yang tersedia dapat mencakup lebih banyak ODHA untuk diberikan pengobatan.

Namun demikian, di sisi lain ia mengakui informasi tersebut menimbulkan pertanyaan lain. “Mengapa selama ini harga yang digunakan begitu mahal, bahkan setelah harganya turun pun tetap berbeda jauh dari harga di pasaran internasional? Per Oktober 2020 harganya di pasaran internasional hanya 6 dolar Amerika perbotol atau setara dengan Rp.84.966,” lanjutnya.

Baca juga  Kemenpan RB Pastikan ASN IKN Perkuat Tata Kelola Birokrasi

Oleh karena itu, pihaknya meminta seluruh negosiasi yang berhubungan dengan pengadaan obat ARV lebih transparan sehingga masyarakat dapat memantau dan turut memastikan kelancaran prosesnya. Dengan demikian, tidak terjadi lagi negosiasi harga obat ARV yang terlalu tinggi seperti yang terjadi selama ini.

Hal itu patut diperhatikan karena saat ini sedang berlangsung negosiasi obat ARV jenis TLD yang merupakan angin segar bagi pengidap HIV. Obat ini memiliki tingkat toksisitas rendah dan tingkat keampuhan yang lebih tinggi. Selain itu, TLD juga lebih murah dengan harga internasional US$ 5,55 atau Rp.77.885 (kurs Rp.14.161), sehingga diharapkan harga yang dinegosiasikan tetap berada pada batasan yang rasional.

ARV kombinasi dosis tetap berjenis TLE dan TLD tersebut merupakan tulang punggung pengobatan bagi lebih dari 80 ribu pasien HIV. Sudah seharusnya pemerintah memperhatikan efektivitas, efikasi pengobatan, dan harga yang terjangkau sehingga dapat mencakup lebih banyak pasien.

Laporan Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan RI pada Triwulan II Tahun 2020 menunjukkan dari perkiraan jumlah ODHA di Indonesia yang mencapai 543.000 orang, baru ditemukan 398.784 orang. Dari jumlah itu, baru 135.403 orang yang mendapatkan pengobatan atau baru mencakup sekitar 34% dari target 90% yang seharusnya sudah tercapai pada akhir tahun 2020. Pengobatan ARV dibutuhkan bukan hanya untuk menyelamatkan nyawa pasien tapi juga dapat membantu mencegah angka penularan baru. Dengan rutin mengonsumsi ARV, jumlah virus dalam tubuh ODHA menjadi tidak terdeteksi dan tidak lagi berpotensi menularkan pada orang lainnya.

Informasi lebih lanjut:

Narahubung: Ferry, telp. 0856-9999-320

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here